Mubadalah.id – Ada satu nama perempuan keramat yang amat membekas dalam memori kolektif orang Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara. Sosok perempuan itu adalah Inde Dou’. Masyarakat mengenangnya sebagai sosok bogani yang menguasai pesisir selatan.
Siapa sebenarnya Inde Dou’ ini? Mengapa dirinya begitu membekas dalam memori kolektif orang Bolaang Mongondow?
Sebelum menjawab pertanyaan itu, atau sebelum membahas lebih jauh sosok Inde Dou’, baiknya kita tahu dulu term bogani dalam masyarakat setempat. Hal ini sebab Inde Dou’ merupakan salah seorang bogani dari kalangan perempuan, sehingga membahas sosoknya akan lebih baik jika kita mulai dengan mengetahui istilah bogani.
Sosok Bogani di Bolaang Mongondow
Kata bogani dalam penggunaannya merujuk pada sosok leluhur orang Bolaang Mongondow. Namun bukan sekadar orang yang hidup di masa lalu, melainkan leluhur yang keramat. Kekeramatan itu tidak lepas dari peran mereka sebagai pemimpin kelompok, panglima pasukan, maupun pahlawan dalam masyarakat.
W. Dunnebier dalam Spraakkunst van het Bolaang Mongondowsch (1930), menggunakan redaksi helden (pahlawan) untuk memaknai kata bogani. Agaknya setara makna pahlawan yang menurut Dunnebier mendekati pemaknaan bogani.
Ya, tidak salah, sebab para bogani pada dasarnya adalah sosok-sosok luar biasa yang punya dedikasi dalam masyarakatnya. Sehingga, dapat kita katakan mereka adalah leluhur yang merupakan pahlawan orang Bolaang Mongondow.
Dalam sejarahnya, sebagaimana Amabom (Aliansi Masyarakat Ada Bolaang Mongondow) dalam buku Mengenal Bolaang Mongondow, ada masa peradaban di Bolaang Mongondow terorganisir menjadi kelompok-kelompok masyarakat. Pemimpin setiap kelompok itu adalah bogani. Masa ini dikenal sebagai era kepemimpinan para bogani.
Para bogani kemudian sepakat menghimpun satu masyarakat di bawah kepemimpinan seorang punu’ (setara makna raja). Berdasarkan Hamri Manoppo, dkk., dalam Dinamika Islamisasi di Bolaang Mongondow Raya, Sulawesi Utara, Abad ke-17-20, era ke-punu’-an berlangsung sejak permulaan abad 15 M hingga 17 M. Dan, setelahnya berlanjut masa Bolaang Mongondow dipimpin oleh para raja.
Pada masa kepemimpinan para punu’ (bahkan raja) bukan berarti sudah tidak ada lagi bogani. Cerita-cerita rakyat tentang sosok bogani masih terbilang banyak pada masa ke-punu’-an hingga kerajaan. Seperti cerita Bantong dan Oyotang, bogani yang merupakan panglima Raja Bolaang Mongondow.
Ada lagi cerita Mogidang dan Korempeyan yang mempertahankan pesisir selatan Bolaang Mongondow. Aki Bandang, sosok abad 19 M yang jauh dari era kepemimpinan para bogani, oleh masyarakat Desa Kombot, Bolaang Mongondow Selatan, juga dikenang sebagai sosok bogani yang keramat.
Pada dasarnya penggunaan kata bogani dalam masyarakat Bolaang Mongondow, sebenarnya tidak terbatas untuk sosok pemimpin di era bogani. Term ini juga merujuk pada para panglima, pahlawan, atau leluhur yang orang Bolaang Mongondow keramatkan. Satu dari sosok keramat itu adalah Inde Dou’, bogani yang eksis pada era Ke-punu’-an (Tompunu’an) Bolaang Mongondow.
Bogani Perempuan yang Keramat
Inde Dou’ (atau Dow) merupakan sosok bogani dari kalangan perempuan. Dia adalah bogani perempuan yang pada masanya menguasai wilayah pesisir selatan Bolaang Mongondow.
Jika mendasari pada beberapa sumber tentang masa ke-punu’-an dan cerita tentangnya, dapat kita perkirakan perempuan keramat ini hidup pada masa Punu’ Mokodompit hingga Punu’ Tadohe’ (boleh jadi masa sebelum hingga sesudah itu). Itu artinya antara sekitar abad 16 dan 17 M. Sejauh ini, memang tidak ada sumber jelas terkait kapan Inde Dou’ lahir dan meninggal. Meski begitu seharusnya kiprah perempuan ini tidak jauh dari perkiraan periode tersebut.
Bogani perempuan ini adalah salah satu sosok keramat dalam alam memori kolektif orang Bolaang Mongondow. Saya punya pengalaman mendapat teguran dari nenek karena keliru menyebutkan nama Inde Dou’. Yang seharusnya Dou’, ucap saya malah Do’u. Entah teguran itu sebatas meluruskan pelafalan, atau memang menegur karena salah mengucapkan nama sosok yang keramat bagi masyarakat itu.
Di Kotabunan, Bolaang Mongondow Timur, ada lesung yang oleh masyarakat terpandang keramat, sebab mereka meyakini itu milik Inde Dou’. Konon, pemanfaatan lesung itu untuk menumbuk biji-bijian. Boleh jadi adalah padi dan jagung.
Mengingat menurut Dunnebier, dalam Over de Vorsten van Bolaang Mongondow, bahwa padi dan jagung sudah ada di Bolaang Mongondow sejak masa Punu’ Mokoagow (sebelum era Punu’ Tadohe). Orang-orang Spanyol yang mengunjungi Bolaang Mongondow, pada waktu itu, meninggalkan beras dan jagung untuk dapat masyarakat semai.
Lesung untuk mengolah makanan menjadi salah satu tanda keramat Inde Dou’. Benda yang pemanfaatannya berhubungan dengan hajat hidup orang banyak pada waktu itu.
Hal itu menggambarkan betapa Inde Dou’ amat berperan dalam menyejahterakan masyarakatnya. Tidak heran jika dalam memori kolektif orang Bolaang Mongondow, Inde Dou’ adalah sosok keramat, sebab dirinya mampu menjaga dan menyejahterakan masyarakatnya. (bersambung)