Mubadalah.id – Baas, adalah seorang pengusaha kaya raya. Bisnisnya sudah mencakar skala nasional yang bekerjasama dengan influencer ternama. Dia yang dahulu serba kekurangan, kini bisa membeli apapun yang dia mau. Sesekali terlintas dalam benaknya, masa-masa di pesantren dulu, saat dia harus menelan ludah ketika anak-anak lain disambangi dengan makanan-makanan dan bekal yang enak.
Tentang Baas
Namun masa-masa menyedihkan itu sudah berhasil ia lewati. Sesudah boyong di tahun ketujuh, dia berkuliah sambil bekerja. Mati-matian 10 tahun bekerja, akhirnya dia bisa menikmati hasilnya. Kesuksesan ini dia nikmati dengan segala hal; rumah, mobil, undangan pesta, sanjungan, kehormatan, dan kemasyhuran sebagai pebisnis muda yang sukses.
Kegemilangan itu rupanya agak menakutkan. Membuat Baas ikut dalam pergaulan yang cukup terlarang; minum-minuman keras. Meski, tak pernah sekalipun dia bermain perempuan karena merasa masih ada sisi baik dalam dirinya, tetap saja, kecanduan mabuk itu rupanya menjadikan Baas terlampau jauh dari mata air agama yang dulu pernah dipelajarinya di Pesantren. Salat sudah jarang ia lakukan, puasa kadang-kadang, ke masjid dan sedekahpun, sudah jauh dia tinggalkan. Baas yang semula rajin dan dermawan, hilang terbawa arus pergaulan.
Perihal Jodoh
Baas belum menikah. Sudah hampir 6 kali dia berganti pasangan yang hampir saja dia nikahi. Kesemuanya dia merasa kurang cocok. Satu perempuan mengincar hartanya, satu lagi seakan alim namun sangat fanatik. Lainnya, sudah dirasa cocok, namun ternyata keluarganya sangat kolot sekali sehingga mematok dan mengatur berbagai hal yang menurutnya sudah ketinggalan zaman. Selebihnya, membuatnya menganggap bahwa semua wanita sama saja.
Sementara itu, ibunya di rumah mengabarkan hendak menjodohkan Baas dengan perempuan di desa, seorang putri Kiai kampung. Dengan tegas Baas menolak. Bilang bahwa gadis seperti yang disebutkan pada umumnya sangat lugu dan dianggap kurang cocok dengan reputasi dirinya sebagai pebisnis Ibukota yang sukses.
Ibunya tak henti membujuk. Mengatakan bahwa gadis itu tidaklah seperti yang Baas pikirkan. Dia gadis baik yang mengerti keadaan dan situasi masa kini, salehah, cerdas, mandiri, juga pandai bergaul.
“Sama-sama lulusan pesantren, Baas. Sekarang jadi guru madrasah di Desa sambil berjualan gamis hasil jahitannya,” kata Ibunya di ujung telepon.
Tak menyerah sampai di situ, Ibunya mengirimkan foto. Seorang gadis hitam manis dengan kerudung pashmina mocca yang menghias di wajah proposionalnya terlihat anggun. Namun Baas tetap menolak.
“Pulang barang sebentar, Nak, menjenguk Bapak,” pinta ibunya terakhir kali. Tak lagi membahas perjodohan. Akan tetapi sampai kini dirinya belum juga pulang.
Tak ada waktu lagi untuk kasmaran, Baas fokus pada karirnya. Hingga bisnis itu berhasil menggandeng perusahaan Tiongkok dan dia harus bolak-balik untuk mengurus kerjasama tersebut. Selang 4 bulan setelah pulang-pergi dari luar negeri dan didera kepadatan jadwal rapat hingga pertemuan-pertemuan, dia mulai merasa hampa.
Proposal Pengajuan Dana
Pada kursi kerjanya dia duduk sembari menatap kopi yang sudah dingin. Diraihnya berbagai pengajuan proposal.
Proposal pengajuan dana bantuan untuk korban kekerasan seksual, atau dana bantuan lansia, atau dana bantuan yayasan ini, itu, dan lain sebagainya.
Entah mengapa dia merasa muak dengan proposal-proposal itu. Perasaan semangat di awal-awal ketika menyetujuinya, kini seperti lenyap. Berganti prasangka-prasangka.
“Sebetulnya, mereka yang mengajukan itu, benarkah untuk membantu para korban atau mengatasi problemnya dalam seminar dan penyuluhan? Kalau iya, mengapa masih saja ada kasus-kasus seperti itu?” tanyanya pada seorang karyawan.
“Juga pengajuan untuk acara, karnaval dan semacamnya, itu hanya untuk foya-foya saja, kan, Dan?”
Aidan, karyawan yang kebetulan tengah ada keperluan dengan bosnya itu, jelas kebingungan saat tiba-tiba ditanya demikian.
“Eeeh, maaf, Pak?”
Tak ada jawaban. Bosnya malah berdiri, lalu pergi tanpa sepatah kata.
Baas pergi tak peduli dengan kebingungan karyawannya. Dia menuju lobi, mengambil mobilnya, dan dengan malas mengendarai roda empat keluaran terbaru itu di tengah macetnya jalanan Ibukota.
Sepanjang jalan, dia temui baliho-baliho besar, ucapan-ucapan pada layar 2 dimensi, bertuliskan:
“Selamat memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW.”
Oh, sudah Mulud? Batinnya.
Baliho besar bertuliskan serupa hampir ia temui di sepanjang jalan. Dengan bermacam-macam design dan beberapa diwarnai foto-foto pejabat daerah.
Meski sambil memperhatikan baliho itu, dia masih fokus menyetir, bahkan saat ponselnya berbunyi, menandakan notifikasi pesan masuk. Seorang rekannya, dari grup angkatan saat mesantren dulu membagikan pamflet design dari Pesantren. Pamflet dengan ucapan serupa, Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW.
“Seberapa berpengaruhnya Muhammad itu? Sampai kehidupannya jadi panutan, inspirasi, dan diikuti banyak orang di muka bumi?”
Hampa
Di kamar, pertanyaan dirinya sendiri soal nama Muhammad tadi malah membuatnya hampa. Terlebih suasana hati dan keadaan, yang entah mengapa menjadikan kehampaan semakin kentara. Dia merasa kemewahan ini tidak sepenuhnya menyenangkan hatinya.
Dia sadar sudah terlalu jauh meninggalkan salat. Begitu jauhnya sampai sajadah tertumpuk paling bawah di lemari. Terkenang dalam benaknya masa-masa saat mesantren dulu. Ketika dia begitu rajin berjamaah dan mengaji, juga ketaatan dan kepatuhannya pada peraturan pesantren. Seketika, dia merindukan kenangan itu.
Ting!
Ponselnya berbunyi. Dari grup kuliahnya dulu, juga mengirimkan pamflet Peringatan Maulid Nabi beserta undangan pertemuan untuk merayakannya bersama-sama di Masjid Agung Ibukota.
Baas menghela nafas. Dulu dia adalah orang yang berteriak paling kencang saat mahallul qiyam. Namun euforia itu sudah terlupakan sehingga tak tersisa sedikitpun kesan pada Peringatan Maulid Nabi ini.
Dan Muhammad itu, mengapa kehadirannya begitu simpang siur di hatinya. Bahkan mungkin saking bebalnya dia, Muhammad tak berkenan menetap sehingga tak memberi cahaya di hatinya agar tetap pada keimanan yang kokoh. Atau mengikuti suri tauladan yang mempesona. Atau seperti dirinya yang teguh mengimani Tuhan.
Mengapa, setelah wahyu kenabian itu, yang katanya membawa umat pada zaman terang benderang, justru masih ada orang-orang lemah, terkhusus lemah iman, yakni orang sepertinya, teman-temannya, yang menurutnya cukup gila dalam mengejar kehidupan duniawi. Begitu angkuh, begitu terlena.
Mengapa dia meluapkan masa lalu dengan pesta pora yang merupakan kebahagiaan sesaat ini? Mengapa hatinya tak kunjung berlabuh pada seseorang sehingga dia menyadari, apakah dia tak pantas untuk menjadi seorang suami?
Baas menatap lamat pamflet ucapan itu sambil memikirkan satu rencana, yang mengendap ke alam bawah sadar, lalu terlempar pada mimpi di keheningan malam.
Faaz
Sementara itu, Faaz, adalah yang meneruskan pamflet ucapan itu. Yang dia dapat dari grup media pondok.
Dia memang sering sekali membagikan pamflet-pamlet dari Pondok. Namun, kiriman kali ini rupanya menarik perhatian seseorang, hingga suatu hari, Faaz, diminta temannya yang tertarik itu untuk bertemu di kafe dekat wilayah pondok.
“Sudah lama kita tidak bertemu, Baas,” sapa Faaz, kepada rekannya itu. “Ada apa? Sampai jauh-jauh dari Ibukota?”
Baas menyodorkan buku menu kepada Faaz, mengisyaratkan bahwa dia akan mentraktir.
“Kau, kan, sekarang sudah menjadi seorang Ustadz. Kebetulan, aku ingin bertanya,” ucap rekannya yang sudah kaya raya dan menjadi pebisnis sukses itu.
“Setelah zaman jahliyah itu, benarkah orang-orang muslim sudah tercerahkan?”
Faaz masih mencerna ucapan Baas.
“Buktinya, masih ada orang-orang yang tersiksa menjalani kehidupan ini,” ujar Baas seakan menuntut.
“Aku ingin mencari lebih banyak, seberapa kuat pengaruh Muhammad itu,” lanjutnya.
Faaz belum mengerti arah pembicaraan Baas, namun mencoba menyelaraskan perbincangan.
“Soal itu, aku ingin tahu, seberapa kau mengenal Muhammad?”
Baas tergagap, “Akuuu… akan mencoba mengenalnya. Aku akan mencarinya,” jawab Baas.
“Kemana kau ingin mencari, Baas?” cecar Faaz.
“Ke tempat-tempat perayaan Maulid Nabi.”
Maka, mulailah Baas mendatangi berbagai macam perayaan Maulid Nabi ke perayaan Maulid Nabi lainnya.
Pencarian
Namun, hampir setiap perayaan Maulid Nabi sama saja. Tahlil, marhabanan, ceramah, dan bagi-bagi bingkisan kepada para hadirin atau warga yang datang. Baas mulai merasa jenuh. Tak dia temui sisi Muhammad di sana.
Faaz akhirnya turut membantu, mengajak Baas berkeliling jalanan. Dan banyak yang mereka temui.
Baas melihat pengemis, penjual tua, anak-anak jalanan, mereka yang sangat berjuang untuk menyambung kehidupan. Menjelang malam hari, orang-orang itu kelelahan, tertidur di trotoar, di pinggir jalan, penjual yang penat menunggu pembeli, jenuh, putus asa, menyedihkan, mengenaskan, hingga sampai jam 3 pagi, mereka semakin terlihat. Pengepul, tukang rongsok, dan perempuan-perempuan malam.
Namun Baas tidak mengerti mengapa Faaz membawanya untuk melihat hal-hal yang sudah sering ia lihat di Ibukota? Sayangnya ia seakan tak kuasa untuk menanyakan itu. Dan Faaz pun diam saja, seolah tidak ingin menjelaskan sekarang.
Dalam perjalanan pulang, Baas melihat sosok yang sepertinya dia kenal. Pria tua usia 40-an, membawa kotak besar dari kardus bertuliskan: Hasil Penjualan Sapu Tangan Akan Disumbangkan Untuk Korban Kekerasan Seksual dan Femisida.
Tiba-tiba saja hadir dalam ingatannya, Founder Lembaga yang mendatangi langsung kantornya, untuk mengajukan proposal bantuan kepada anak-anak korban kekerasan seksual dan femisida. Barulah dia sadar bahwa orang itu adalah bapak tersebut.
“Lembaga kecil, Pak. Kebetulan anggota saya sedang disebar di lembaga-lembaga kota lain sehingga saya sendirian di kota ini.” Begitu yang Baas ingat akan cerita Bapak itu terkait lembaganya.
Baas tersadar bahwa Bapak itu memiliki semangat juang yang kokoh dan rasa kepedulian yang tinggi. Dia pantang menyerah, inspiratif, dan seorang aktivis sejati.
“Aku akan memborong sapu tangan itu,” ujar Baas kemudian sambil membuka pintu mobil.
“Jangan!” Faaz keburu mencegah.
“Jika kau memborong semuanya, kau tidak memberi kesempatan pada orang lain untuk turut serta membantu dan beramal.” jelasnya.
Baas menatap sebentar, sampai kemudian menyepakati ucapan kawannya.
Seorang Aktivis Tua
Baas turun. Mendekati Bapak itu. “Berapa harga sapu tangannya, Pak?”
Bapak itu menyebutkan harga, yang ternyata dijual sangat murah dari harga pasar.
“Biar saya beli 10, ya?” kata Baas.
Bapak itu mengangguk, dengan pandangan yang tak terlepas dari Baas. Sampai dia ingat bahwa pria di depannya adalah salah satu pemilik perusahaan yang pernah ia datangi untuk dimintai sumbangan.
“Pak Baas? Senang sekali bisa bertemu kembali di sini,” binarnya. Terlihat Bapak itu dengan senang membungkus 10 sapu tangan yang dibeli Baas.
“Silakan, Pak,” katanya sambil menyodorkan sapu tangan kepada Baas. “Terima kasih sudah berkenan membeli.”
Baas membayar sapu tangan itu yang diterima dengan binar syukur dari Bapak itu. Ketika Baas sudah hampir balik badan, dia teringat sesuatu, “Nomor Bapak masih yang dulu, kan?” tanyanya kepada sang Bapak.
“Masih, Pak.”
Baas tersenyum sopan dan mengangguk, kemudian pamit permisi.
Sisi Muhammad
Mereka menepi di samping gang yang akan menuju rumah Faaz.
“Baas…,” panggil Faaz lembut. Menatap kawannya itu.
“Jika kau ingin mencari Muhammad dalam hubungannya dengan Tuhan-Nya, maka carilah di masjid dan majelis-majelis, Baas. Tapi jika kau ingin mencari Muhammad dalam hubungannya dengan manusia, maka, lihatlah mereka, Baas, para gelandangan itu, penjual-penjual tua, pejuang nafkah, fakir miskin, yatim piatu, dan perempuan-perempuan yang seringkali dilemahkan. Lihatlah pada diri mereka. Dalam penderitaan mereka, pasti ada sisi Muhammad. Dan mereka yang menyantuni atau membantu orang-orang itu, pastilah juga ada sisi Muhammad.”
“Kalau kau mencarinya di acara-acara atau peringatan Maulid, hanya sekilas saja yang kau temui. Ingatlah bahwa itu adalah peringatan. Yakni bentuk rasa syukur atas lahirnya Nabi. Sehingga, tak heran jika kita hanya melihat sedikit saja sisi tersebut.”
“Kenapa saat itu kau tak mencegahku?” tanya Baas.
“Karena aku ingin tahu langkahmu dulu. Itu pun tak salah, sebab telah kau temukan, mereka yang mencintai Muhammad, dengan memperingati kelahirannya, menyanjungnya, memujinya,” jawab Faaz.
“Baiklah. Lalu, kalau benar pengaruh itu sudah benar-benar sampai, mengapa mereka masih ada?” tanya Baas.
“Mereka ada, karena kamu ada.”
“Maksudmu?”
Mencoba Menemukan Muhammad
“Allah menciptakan kamu, Baas, untuk menolong mereka. Karena itu kamu ada. Allah sudah menakar rezeki manusia seakurat dan sebaik mungkin. Kemiskinan mereka mungkin ujian bagi mereka, tapi ingat, Baas, kekayaanmu, juga ujian bagimu,” pungkasnya.
Pagi hari menjelang Subuh itu, Faaz mengajak Baas pulang ke rumahnya.
Baas istirahat sebentar. Menjelang pagi Faaz mengajaknya duduk-duduk di ruang keluarga. Di samping ruang keluarga itu, ada meja makan panjang dengan roti, susu dan nasi goreng yang sudah tertata rapih.
Banyak sekali, batin Baas.
“Silahkan, Baas, seadanya,” Faaz menyodorkan kopi, pisang goreng dan ubi rebus yang baru saja di bawa istrinya.
Demi tata krama dan menghormati temannya, Baas mengambil kopi tersebut lalu meneguknya perlahan.
Tak lama kemudian terengar suara-suara gaduh dari lantai atas. Mulanya pelan, namun lama-kelamaan semakin keras. Sampai kemudian anak-anak kecil berlarian dari tangga atas ke lantai bawah, sembari diteriaki istri Faaz agar berhati-hati.
Anak-anak Surga
Anak-anak itu, yang paling besar sekitar berusia 7 tahunan dan yang terkecil ada dalam gendongan istri Faaz. Dari semuanya, ada beberapa yang berkebutuhan khusus. Mereka berlari menuju meja makan. Yang berkebutuhan khusus itu, dibantu temannya yang normal. Wajah mereka bahagia. Tatapannya begitu suci dan teduh. Tak sabar menyantap sarapan yang sudah tersedia di meja makan. Seketika Baas terenyuh.
“Mereka…”
“Mereka yatim piatu, dan karena itu, Allah menciptakan aku dan istriku,” jawab Faaz.
Baas terhenyak. Anak-anak itu, belum sepenuhnya mengerti akan kekejaman hidup yang tengah menimpa mereka. Anak-anak yang kehadirannya tak diharapkan orang tuanya. Kelak jika kehidupan mereka baik, maka amal-amalnya akan menjadikan mereka anak-anak surga.
“Biar kuulangi, Baas. Muhammad ada pada diri siapapun yang menyantuni fakir miskin, menyayangi anak yatim, dan melindungi perempuan. Tak hanya itu, dia juga ada pada mereka yang memiliki akhlakul karimah.”
Tanpa sadar air mata Baas berlinangan.
“Muhammad tidak di mana pun, Baas. Dia ada di sini,” kata Faaz lagi sambil menunjuk dadanya sendiri.
“Mereka, orang-orang lemah itu, bisa saja ada diri Muhammad, engkaupun juga, bisa saja mengandung diri Muhammad.”
Muhammad, ya, Muhammad
“Kita tidak bisa menuntut agar pengaruh Muhammad bisa sempurna. Ingatlah bahwa Muhammad juga manusia. Setidaknya, pengaruh utamanya sudah sampai, yakni mewujudkan Islam yang rahmah dan menjunjung tinggi akhlakul karimah. Itu tidak mengacu pada dia yang kaya atau yang miskin, sebab itu Kehendak-Nya, tapi pengaruhnya itu mengacu, kepada siapa saja, dia yang menebar kasih sayang paling banyak di muka bumi, dan mewujudkan misi Khalifah fil-Ardh.”
Baas merasa dadanya terhantam godam yang sangat besar. Mencoba menelisik, mungkinkah dia sudah kehilangan sisi Muhammad?
Sepertinya benar, sebab dia sudah terlalu jauh melangkah, dan ada baiknya dia pulang ke rumah. Menemui Ibu, menjenguk Bapak, juga mempertimbangkan perjodohan dengan gadis desa putri Kiai Kampung itu. Barangkali, ada banyak serpihan Muhammad di sana.
“Selalu ada serpihan Muhammad, pada diri mereka yang berbudi luhur, Baas.”
Ah, seketika ia teringat serpihan Muhammad yang lain, yakni proposal-proposal pengajuan dana, yang ingin segera ia tanda tangani. []