Dalam sepak terjang perjuangan kemerdekaan Indonesia, perempuan turut andil memberikan kontribusinya di berbagai daerah. Banyak tokoh perempuan yang bisa diteladani perjuangannya untuk masa kini. Mereka berjuang dari berbagai sudut tempat melawan penjajah untuk masyarakat di sekitar. Hal tersebut salah satunya dilakukan oleh Laksamana Keumala Hayati atau yang lebih dikenal dengan Malahayati.
Tokoh yang berasal dari Aceh ini bisa dikatakan dengan sebutan “ perempuan laut” serta menjelma sebagai perempuan yang berbeda pada zamannya. Perjuangannya dalam bidang kelautan serta kecerdasan ilmunya untuk mengusir penjajah begitu luar biasa untuk diapresiasi.
Sebagai bentuk penghargaan, ia mendapat gelar pahlawan pada peringatan hari pahlawan 10 November 2017 oleh Presiden Joko Widodo. Malahayati adalah puteri Laksamana Mahmud Syah, kakeknya bernama Said Syah, seorang laksamana pada angkatan laut kerajaan Aceh. Ia lahir pada tahun 1560, pada masa Sultan Alaudin Riayat Syah Al Qahar memerintah kerajaan Aceh. Tidak hanya itu, dalam lingkungan keluarga ia dididik dengan ilmu keagamaan yang kuat serta belajar fiqih, akidah, dan bahasa arab sejak kecil.
Kedalaman ilmu pengetahuannya membuat ia dipercaya oleh kerajaan Aceh untuk mengurus persoalan kenegaraan. Dalam buku yang ditulis oleh Adi Pwara yang berjudul “Malahayati”, selain ahli mengatur siasat dalam bertempur, Malahayati juga seorang ahli kenegaraan. Ia menguasai bahasa Inggris, Perancis, Belanda dan juga bahasa Spanyol.
Oleh karena itulah Sultan Aceh mengangkatnya pula sebagai pejabat yang mengurus perutusan-perutusan baik di dalam negeri maupun yang keluar negeri. Berkenaan dengan tugas itulah, maka jika ada utusan dari negeri lain yang datang ke Aceh, maka sebelum menghadap Sultan Aceh utusan itu harus terlebih dahulu menemui Malahayati. Sultan Aceh bahkan sering meminta pendapat Malahayati sebelum mengambil suatu keputusan yang berkaitan dengan hubungan negeri lain.
Kejadian yang menimpa Cornelis de Houtman beserta anak buahnya di Aceh, amat menggemparkan kerajaan Belanda. Prins Mauris, raja kerajaan Belanda pada masa itu langsung mengadakan sidang kerajaan untuk membicarakan peristiwa tersebut. Dalam sidang kerajaan yang dilaksanakan itu, sedikit terjadi silang pendapat. Ada pihak yang mengusulkan agar kerajaan mengirimkan prajurit dan armadanya untuk menggempur Aceh. Namun di pihak lain, menyatakan ketidaksetujuannya.
Alasannya, jika Belanda menyerang Aceh, pastilah pihak Aceh akan menutup perairan Selat Malaka bagi pelayaran kapal-kapal Belanda. Jika hal itu terjadi, kerajaan Belanda akan menanggung kerugian yang besar. Akhirnya diputuskan, bahwa satu-satunya jalan yang terbaik ialah meminta maaf kepada kerajaan Aceh di samping memohon agar para tawanan yang telah dihukum di Aceh dapat dibebaskan dari hukuman.
Prins Mauris segera mengutus Laksamana Laurens Bicker ke Aceh. Utusan itu membawa surat khusus dari raja Belanda untuk Sultan Aceh. Di samping itu utusan itu juga membawa hadiah-hadiah untuk kerajaan Aceh sebagai tanda persahabatan. Ketika utusan Belanda yang terdiri dari empat kapal itu sampai di perairan Aceh, kapal-kapal itu segera saja dikepung oleh armada Aceh. Armada Aceh tidak menginginkan kejadian yang menimpa
Cornelis de Houtman terulang lagi.
Oleh karena itu setiap kapal Belanda yang datang, perlu dicurigai. Laksamana Lauren Bicker beserta lima pembantunya terpaksa turun ke darat dengan pengawalan yang ketat. Mereka dibawa menghadap Laksamana Malahayati. Tamu asing itu diterima dengan senang hati oleh Malahayati. Apalagi ketika tamu asing itu menyatakan maksud damai dan melupakan kejadian yang dialami Cornelis de Houtman. Atas saran Laksamana Malahayati, Sultan Aceh bersedia menerima ajakan damai kerajaan Belanda. Di samping itu, kapal-kapal Belanda diperbolehkan pula berdagang dengan orang-orang Aceh.
Pengikut Cornelis de Houtman yang dihukum di Aceh juga diberikan keringanan dengan membebaskan mereka dari hukuman. Dengan demikian, mereka dapat ikut kembali ke negeri Belanda bersama Laksamana Lauren Bicker. Ketika itu, di samping menjalin kerjasama dan persahabatan dengan kerajaan Belanda, Aceh juga menjalin hal yang sama dengan negara lain seperti Inggris yang ketika itu diperintah oleh Ratu Elizabeth I.
Demikian pula halnya dengan negeri Cina, Burma, Siam, Jepang, India serta Turki, kerajaan Aceh menjalin persahabatan yang saling menguntungkan. Dalam hal-hal seperti itulah, peranan Laksamana Malahayati amat besar dan menentukan. Di bidang kelautan, namanya diabadikan sebagai nama kapal perang jajaran angkatan laut Republik Indonesia yaitu KRI Malahayati.
Perjuangan Malahayati menjadi titik tolak besar bagi perempuan untuk menjadikan sosok perempuan sebagai manusia yang sempurna. Menjadi perempuan bukanlah sebuah alasan untuk melakukan yang biasa dilakukan oleh laki-laki. Bahkan sejauh ini, perjuangan Malahayati bisa dikatakan sebagai arah gerak juang laki-laki. Akan tetapi, berkat kegigihan dan semangat belajar, ia bisa melakukan hal tersebut dengan menorehkan catatan sejarah yang begitu luar biasa. []