Mubadalah.id – Kekerasan yang menjarah dunia pendidikan telah menjadi fenomena gunung es akibat dehumanisasi dalam pendidikan kita. Kasus kekerasan yang belum lama terjadi pada santri Madrasah Tsanawiyah (MTs) Plus Al Mahmud Blitar dan siswa SMP Negeri 1 STM Hilir di Deli Serdang, Sumatera Utara.
Dugaan penyebabnya adalah “mental feodal” praktik pengajaran dan relasi kuasa yang berangkat dari pemikiran dan keyakinan bahwa semua baik sebab dilakukan “atas nama Tuhan dan agama”. Dua penyebab ini masih langgeng terjadi sehingga mencipta kultur buruk. Sebab pemahaman dan pelaksanaan implementasi pendidikan masih banyak noda di lapangan.
Para pendidik seharusnya perlu memahami bahwa kultur tersebut sudah tak lagi cocok untuk pelajar saat ini. Selain itu, hanya menimbulkan dampak buruk untuk agenda ke depan. Menjadi alarm keras di lingkup pendidikan perlunya evaluasi dan kesadaran.
Santri MTs Plus Al Mahmud mengalami kecelakaan akibat pengurus santri melempar kayu yang tertancap paku yang akhirnya mengenai kepala santri. Menurut pengakuan pelaku, ia membuang balok kayu berpaku dari lantai atas karena sedang bersih-bersih yang tak sengaja menimpa kepala Keisa, si korban.
Sedangkan hasil temuan lain mengatakan bahwa pelaku melempar kayu untuk membuyarkan santri yang sedang main bola untuk cepat mandi karena akan ada kunjungan keluarga setelah pelaksanaan salat Dhuha. Namun, salah satu keluarga korban tak ambil pusing karena percaya bahwa sang ustaz tidak mungkin sengaja melakukannya.
Kasus berikutnya menimpa siswa SMP Negeri 1 STM Hilir di Deli Serdang, Sumatera Utara yang mengeluhkan sakit kaki hingga mengalami pembengkakan akibat hukuman squat jump 100 kali oleh guru agama kristen di sekolahnya. Sempat dirujuk ke rumah sakit sebab sebelumnya juga mengalami demam. Namun, beberapa hari setelah demam pelajar tersebut meninggal dunia.
Melihat data kasus di lapangan, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menerima 329 laporan pengajuan kekerasan di lingkungan satuan pendidikan sepanjang tahun 2023 terdiri dari perundungan, kekerasan seksual, fisik, dan psikis.
Sedangkan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) dari Januari hingga September 2024 mencatat ada 36 kasus kekerasan “kategori berat” di berbagai satuan pendidikan. Dari 36 kasus itu, ada 48 pelaku dan 144 korban anak. Tujuh di antaranya menurut laporan meninggal dunia.
Mental Feodal Praktik Pengajaran
Kenyataan hari ini dunia pendidikan kita adalah praktik guru Indonesia yang belum memahami bagaimana perkembangan yang sesuai pola siswa zaman sekarang. Kita bisa melihat banyak kasus kekerasan guru terhadap murid terjadi. Masih banyak guru yang memegang teguh model mental feodal.
Model mental dalam konteks ini adalah merujuk pada kerangka kerja berpikir individu dalam memahami dan menyikapi dunia sekitarnya. Di ranah pendidikan, mental feodal bisa menjadi praktik pengajaran guru terhadap siswa. Relasi yang tercipta antara guru dan siswa seakan seperti atasan dan bawahan. Sehingga dengan perilaku sewenang-wenang itu guru bisa menghukum siswa dengan sewenang-wenang. Siswa sebagai bawahan harus taat dan patuh.
Ironinya, masalah yang bisa saja timbul adalah siswa cenderung mengikuti arahan tanpa mampu mempertanyakan atau mempertimbangkan hukuman yang mereka terima apakah layak untuk mereka melakukannya.
Michel Foucault, filsuf Prancis, mengeskplorasi hubungan antara pengetahuan, kekuasaan, dan institusi dalam masyarakat menunjukkan bagaimana kultur feodal dalam dunia akademik dapat menjadi kontrol dan dominasi.
Pola pikir feodal ini sebisa mungkin harus hilang dalam pola pengajaran guru. Dengan berbekal kesadaran bahwa kita harus siap menghadapi dan beradaptasi dengan dunia yang berubah. Hukuman fisik tidak selalu dapat memecahkan masalah, justru sebaliknya dapat menumbuhkan kebencian dan rasa sakit hati siswa serta timbul kekerasan baru.
Menegakkan disiplin positif untuk siswa bisa menjadi alternatif untuk mengalihkan penggunaan hukuman yang sifatnya fisik maupun psikis yang kurang layak. Tujuannya adalah untuk menumbuhkan kemampuan mengendalikan diri, menyesuaikan perilaku sesuai norma, dan mengembangkan tanggung jawab pribadi. Pelaksanaan disiplin positif pun perlu menyasar pada guru sehingga timbul rasa adil dari semua pihak sekolah.
Kita bisa mengaca dari salah satu tokoh pendidikan Indonesia yaitu Ki Hajar Dewantara. Tokoh pendidikan ini menyatakan bahwa pendidikan adalah sebagai cara untuk memanusiakan manusia secara holistik. Tawaran konsep pendidikannya adalah mengembangkan beberapa macam hal penting yakni belajar olah pikir, belajar olah rasa, belajar olah karsa, dan belajar olah raga.
Pendidikan menjadi wahana siswa untuk mengasah daya intelektual, memperkuat daya afektif, kehalusan perasaan, memperkuat empati, meningkatkan inovasi dan kreativitas, spiritualitas, dan memperkuat jasmani dan rohani.
Relasi Kuasa dan Normalisasi Masyarakat
Foucault menjelaskan bahwa kekuasaan bersifat menyebar dan siapa saja dapat memilikinya. Praktik kekuasaan terjadi melalui tindak tutur guru yang menggambarkan, menampilkan, mewakilkan kekuasaan untuk mendominasi, memengaruhi, dan memaksa aktivitas siswa.
Bahkan menuntut siswa menerima. Pendirian guru dalam mengajar juga berpengaruh membuat suasana kelas, proses belajar, dan pengembangan diri siswa dapat berjalan dengan baik.
Problemnya masih banyak keyakinan bahwa relasi kuasa masih kuat dan digadang sebagai cara agar murid tetap memiliki kesopanan maupun penghargaan tinggi untuk guru. Sebab itu, guru lah yang paling benar dalam hal mengajarkan mereka. Praktik relasi kuasa seperti ini yang salah dalam lembaga pendidikan. Pengajaran yang baik harus membangun pelibatan siswa untuk berdiskusi, menyampaikan pikiran, pertimbangan, dan kerja sama dengan guru.
Belum lagi adanya pembiaran oleh berbagai elemen masyarakat, termasuk keluarga dan pemerintah. Masyarakat terkadang kurang peduli terhadap kekerasan karena mungkin itu adalah hal wajar dalam pendidikan. Setidaknya memberikan efek jera untuk siswa. Padahal sudah jelas larangan tidak boleh melakukan kekerasan dalam bentuk apapun.
Mengadakan pelatihan bagi guru bahkan jika perlu orang tua ikut terlibat juga penting. Tujuannya adalah untuk memberikan pemahaman dan kesadaran terkait pentingnya siswa perlu diberi pengajaran dan bimbingan dengan cara-cara humanis dan sesuai dengan perkembangan kondisi tumbuh kembang mereka.
Guru dan orang tua perlu edukasi tentang kekerasan pada satuan pendidikan hingga menyasar Tri Pusat Pendidikan (sekolah, keluarga, dan masyarakat).
Kesadaran keterbukaan dan kejujuran lembaga pendidikan penting untuk tidak menutupi kasus dengan alasan apapun. Serta perlu optimalisasi implementasi regulasi pencegahan dan penanganan kekerasan di lingkup satuan pendidikan.
Mewujudkan relasi kesalingan antar guru dan murid menjadi solusi untuk menghilangkan ketimpangan pendidikan kita. Sehingga harapan baiknya adalah terciptanya hubungan dan proses belajar yang baik untuk semua pihak. []