Mubadalah.id – Kepuasan hubungan seksual dalam pernikahan harus menjadi hak bersama laki-laki dan perempuan, yang satu dari yang lain. Sekaligus menjadi kewajiban keduanya, satu terhadap yang lain.
Pertimbangan kepuasan hubungan seksual tidak bisa hanya merujuk kepada kebiasaan dan kebutuhan laki-laki. Melainkan juga harus mempertimbangkan pengalaman dan kebutuhan perempuan.
Yang paling aktif di antara keduanya harus bersabar dan membantu yang kurang aktif dari keduanya. Yang sedang membutuhkan, dari keduanya, harus saling bantu untuk bisa memenuhi pasangannya.
Sekalipun sedang tidak membutuhkannya. Namun, tentu, dengan cara-cara yang baik, dengan memperhatikan faktor-faktor fisik, psikis, dan faktor yang lain.
Idealnya keduanya mengondisikan bersama untuk sama-sama aktif, memulai, melakukan, dan menikmati kepuasan seksual tersebut.
Namun, praktiknya sering kali, karena persoalan fisik, psikis, usia, sosial, dan berbagai tuntutan hidup, tidak semua bisa berada pada kondisi ideal. Sehingga memerlukan pengertian bagi yang mampu, dalam hal apa pun, untuk bersabar menemani, membantu, dan memberdayakan yang tidak (kurang) mampu.
Keduanya harus selalu berpikir dan merujuk pada kemaslahatan yang akan kembali kepada diri masing-masing, sekaligus juga berpikir pada kemaslahatan pasangannya.
Penting untuk ditegaskan di sini bahwa prinsip keadilan hakiki meniscayakan untuk mempertimbangkan dampak aktivitas seksual yang bisa jauh berbeda yang dialami perempuan dari yang dialami laki-laki. Alat kelamin laki-laki secara fisik berada di luar dan mengeluarkan cairan sperma yang dampaknya, secara umum, nikmat semua. []