Mubadalah.id – Pramoedya Ananta Toer atau kita kenal juga dengan nama Pram, masih memiliki nama besar sebagai sastrawan Indonesia hingga sekarang. Pada 6 Februari 2025, menandai 100 tahun kelahiran sang sastrawan besar Tanah Air ini.
Mengutip dari Ensiklopedia Sastra Indonesia, Pram lahir di Blora, Jawa Tengah, pada 6 Februari 1925. Meski telah meninggal dunia pada 30 April 2006, karya-karyanya masih tetap hidup, kerap menjadi perbincangan dan menginspirasi banyak orang hingga hari ini.
Pramoedya Ananta Toer menamatkan sekolah di Institut Boedi Oetomo di Blora dan sekolah teknik radio Surabaya. Pada Mei 1942, ia meninggalkan Rembang dan Blora ke Jakarta. Lalu ia bekerja di Kantor Berita Domei.
Sambil bekerja, ia mengikuti pendidikan di Taman Siswa (1942-1943), dan kursus di Sekolah Stenografi (1944-1945). Kemudian menempuh kuliah di Sekolah Tinggi Islam Jakarta (1945) untuk mata kuliah Filsafat, Sosiologi, dan Sejarah. Pada 1945, ia keluar dari Kantor Berita Domei dan pergi menjelajahi Pulau Jawa.
Saat kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, ia sedang berada di Kediri. Kemudian pada 1946, ia ikut menjadi prajurit resmi hingga mendapat pangkat Letnan II Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang ditempatkan di Cikampek, dengan sekutu Front Jakarta Timur.
Pada 1947, ia kembali ke Jakarta melalui penyusupan. Sayangnya, ia ditangkap militer Belanda yang berada di Cipinang. Lalu pada 22 Juli 1947, ia ditangkap marinir Belanda karena menyimpan dokumen gerakan bawah tanah menentang Belanda. Hingga 1949, ia dipenjarakan tanpa diadili di penjara Bukit Duri.
Setelah itu, ia bekerja sebagai redaktur Balai Pustaka pada 1950-1951. Kemudian pada 1950, ia menerima hadiah sastra dari Balai Pustaka atas novelnya yang berjudul Perburuan.
Sejarah, Karya dan Penghargaan
Pecahnya G30S menyisakan kenangan pahit dalam kehidupan Pramoedya Ananta Toer. Penangkapan pada 13 Oktober 1965 membuatnya mendapat penghinaan dan perlakuan kejam.
Pendengarannya rusak karena dipukul dengan tommygun pada bagian kepalanya. Setelahnya, ia masuk penjara di Tangerang, Salemba, Cilacap, dan selama sepuluh tahun ia hidup dalam pengasingan di Pulau Buru.
Selepas dari pengasingan di Pulau Buru, Pram menghasilkan beberapa buku yang pada umumnya terlarang oleh Kejaksaan Agung. Namun, buku-bukunya justru terbit dan beredar luas di luar negeri dan telah beralih bahasa ke dalam beberapa bahasa asing, terutama bahasa Inggris dan Belanda.
Beberapa judul bukunya itu adalah Bumi Manusia (1980), Anak Semua Bangsa (1980), Jejak Langkah (1985), Rumah Kaca (1988), Nyanyi Sunyi Seorang Bisu I (1995) II (1996), Arus Balik (1995), Arok Dedes (1999), dan Larasati (2000).
Beberapa tahun terakhir, sejumlah buku yang semula terlarang beredar oleh Kejaksaan Agung terbit kembali oleh penerbit Hasta Mitra, di antaranya Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa. Selain itu buku-buku Pramoedya yang tertulis pada 1950-an, seperti Cerita dari Blora, Perburuan, Korupsi, Keluarga Gerilya, dan Panggil Aku Kartini Saja.
Sepanjang kariernya, Pramoedya Ananta Toer memperoleh 16 penghargaan. Antara lain Penghargaan Balai Pustaka (1951), Hadiah Magsaysay dari Filipina (1995), penghargaan PEN International (1998), gelar kehormatan Doctor of Humane Letters dari Universitas Michigan (1999).
Lalu Fukuoka Cultural Grand Prize (Hadiah Budaya Asia Fukuoka) di Jepang (2000), dan Norwegian Authors’ Union Award untuk sumbangannya pada sastra dunia (2004). Pram juga merupakan satu-satunya sastrawan Indonesia yang berhasil masuk nominasi Nobel Sastra sebanyak enam kali.
Aku dan Karya Pramoedya Ananta Toer
Tak hanya sekali aku membaca buku-buku karya Pram. Mungkin sudah lebih dari lima kali, secara hitungan aku tak tahu persis, saking seringnya. Patut kita akui ada energi luar biasa yang terasa setiap kali usai membaca tulisan Pram, terutama ketika memposisikan perempuan sebagai sang penggerak peradaban.
Dalam karya Pram, perempuan bukan hanya objek sejarah yang hanya menyumbangkan nama dan identitas. Namun, buah pikiran, perasaan, dan aktivitas perempuan yang mencerminkan sebagai manusia yang mandiri, independen dan berdaulat atas diri sendiri.
Perempuan tahu apa yang harus ia lakukan, sehingga budaya patriarkhi dan relasi kuasa yang begitu kental membelenggu perempuan dari masa ke masa di Indonesia (terutama Jawa dalam setingan novel Pram), seakan tiada artinya.
Dan itulah perjuangan sesungguhnya bagi perempuan agar mampu mencapai jalan yang ia rentas sendiri, dengan penuh tekad, gelora semangat dan daya upaya.
Kita tentu mengenal sosok Nyai Ontosoroh (Ibu dari Annelis, Istri Minke) dalam novel Bumi Manusia. Singkat cerita sebagai seorang perempuan yang mempunyai pendirian kuat dan bermental baja. Dia adalah janda dari seorang Belanda.
Meski Sang Tuan telah tiada, Nyai Ontosoroh mampu membuktikan, ia sanggup mengatasi pekerjaan dan tanggung jawab yang telah suaminya tinggalkan, bahkan menjadi lebih maju dan modern.
Meski berasal dari kalangan biasa, dengan diberi kesempatan untuk mengubah nasib, ia manfaatkan sebaik mungkin. Nyai Ontosoroh yang nama masa kecilnya Sanikem, memanfaatkan peluang itu untuk belajar sebaik-baiknya. Tak ada yang dia lewatkan, bagaimana akhirnya dia berdiri sejajar, disegani dan terakui dalam pergaulan yang lebih luas pada masa itu.
Menjadi Perempuan Berdaya dalam Karakter Nyai Ontosoroh
Ada kalimatnya yang sampai hari ini menjadi inspirasi bagi para perempuan.
“Berbahagialah dia yang makan dari keringatnya sendiri. Bersuka karena usahanya sendiri, dan maju karena pengalamannya sendiri.”
Kalimat ini menggambarkan dengan jelas tentang sikap kemandirian Nyai Ontosoroh. Bagaimana dia terus belajar memantaskan diri menjadi perempuan yang berpengetahuan luas, pandai dalam pergaulan dan cermat mengelola keuangan.
Walau pada akhirnya dia harus kehilangan itu semua karena posisi yang lemah secara hukum sebagai Nyai (Perempuan yang dijual untuk menjadi istri pejabat Belanda).
Kalimat Nyai Ontosoroh yang masyhur lainnya adalah,
“Jangan sebut aku perempuan sejati jika hidup hanya berkalang lelaki. Tapi bukan berarti aku tidak butuh lelaki untuk aku cintai.”
Sepeninggal suaminya Tuan Mellema, bisa saja Nyai Ontosoroh menikah lagi dan mudah mendapatkan lelaki manapun. Namun tidak demikian yang menjadi pilihan Nyai Ontosoroh. Dia tidak mengandalkan sepenuhnya pada sosok lelaki. Dia tak mau hidup di bawah ketiak lelaki, menjadi konco wingking dan tak pernah dianggap ada.
Meski begitu, Nyai Ontosoroh tetap membutuhkan lelaki di mana cintanya kelak akan berlabuh. Sebelum masa itu tiba, dia terus memantaskan diri dengan bekal pengetahuan dan pengalaman yang ia miliki. Tentu agar bisa mendapatkan lelaki sesuai dengan pilihan hatinya, yang mau berdiri setara, saling menopang, beriringan bersamanya hingga menua nanti.
Walau akhir kisah Nyai Ontosoroh tragis, karena harus berhadapan dengan hukum kolonial saat itu yang tak memperbolehkan “Nyai” memiliki hak waris, bahkan terhadap anak kandung sendiri. Dia telah melawan dengan sebenar-benarnya perlawanan yang bermartabat sebagai seorang perempuan.
Suara Perempuan dalam Karya Pram
Nyai Ontosoroh hanyalah satu kisah suara perempuan di antara sekian banyak karya Pram yang lain. Kita masih membaca cukup banyak yang mengetengahkan tokoh perempuan sebagai pemeran utama. Di antaranya Midah, Si Manis Bergigi Emas, Gadis Pantai, Larasati dan tentunya Tetralogi Buru. Sosok perempuan dalam karya Pram selalu muncul dengan karakter yang sulit kita lupakan.
Dalam kisah novel Gadis Pantai, selepas membaca hingga lembaran terakhir, aku merasakan bagaimana sesak yang tertinggal di dada dan tenggorokan yang tercekat menahan tangis. Seakan ada kesedihan yang menggelayuti hingga berjam-jam kemudian, mengingati tentang seorang gadis yang dari awal sampai akhir tak kita ketahui siapa namanya.
Dalam kepolosan gadis kecil yang dinikahkan dengan sebilah keris, hingga pada akhirnya harus kehilangan segala hal, termasuk anak perempuan yang baru saja ia lahirkan.
Itulah suara perempuan dalam karya Pram, yang mungkin sampai hari ini masih menjadi bagian dari wajah perempuan di Indonesia. Tentang ketakberdayaan dan perlawanan hingga ke titik nadir. Lalu sampai pada detik akhir kehidupan memperjuangkan hak-haknya sendiri, terhadap sistem dan realita sosial yang masih belum berpihak pada perempuan.
Namun aku percaya suara perempuan yang tergambar di dalam novel-novel Pram akan terus menginspirasi para perempuan di negeri ini. Terlebih aku sendiri agar terus melangkah menyusuri jalan panjang kesetaraan itu. Meski terasa sunyi tapi aku tahu tak pernah merasa sendiri. []