Mubadalah.id – AI-Syeikh al-Akbar (Grand Syeikh), Universitas al-Azhar Kairo, Mahmood Syaltut, menulis buku terkenal berjudul “al-Islam, ‘Aqidah wa Syari’ah.” Saya ingin menambahkan kata “Akhlak”. Jadi, Islam adalah ‘aqidah, syari’ah, dan akhlak. Tiga kata ini merupakan komponen-komponen konstruksi bangunan atau sistem agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Saya ingin menyebutnya sebagai “Pohon Islam”.
Pohon Islam ini memperoleh rujukan dari sumber Islam yang digambarkan dalam sebuah hadits Nabi yang sangat terkenal. Para ulama acap menyebutnya sebagai Hadits Jibril. Ia disebut demikian, karena hadits ini berisi dialog antara Nabi dan Malaikat Jibril.
Di situ, Jibril menanyakan tiga hal: iman, Islam, dan ihsan. Para ulama menyebut hadits ini sebagai “ushul al-din”, pokok-pokok agama. Meskipun ketiganya berbeda, tetapi satu sama lain saling berkaitan.
Komponen pertama adalah ‘aqidah, secara literal berarti ikatan, transaksi, atau komitmen. Iman adalah akidah, karena ia mengikat hati orang yang mempercayai atau meyakininya. ‘Aqidah adalah basis, fondasi, dan akar agama.
Intinya adalah keyakinan atau kepercayaan kepada Tuhan, kepada kitab-kitab yang Allah Swt turunkan kepada utusan-utusan-Nya, hari akhirat, para malaikat dan keputusan-Nya (takdir).
Kepercayaan kepada Tuhan merupakan masalah personal, individual, pribadi. Ia ada dalam hati sanubari masing-masing orang. Tuhan melalui al-Qur’an dan Nabi Muhammad SAW dalam hal ini hanya menyampaikan kabar akan adanya hal-hal di atas dan memberikan pelajaran untuk manusia pikirkan dan renungkan.
Dengan akal dan hati nurani yang Tuhan berikan, setiap orang mendapatkan kebebasan untuk percaya atau tidak. Kepercayaan ini sangat ekslusif, ada di dalam hati masing-masing orang dan tak ada yang mengintervensi, kecuali Tuhan sendiri.
Tidak Boleh Memaksa Keyakinan
Dengan kata lain, orang tidak bisa memaksakan keyakinannya kepada orang lain. “La ikraha fi ad-din, qad tabayyana ar-rusyd min al-ghay” (Tidak ada paksaan dalam hal keyakinan agama, sebab sesungguhnya yang benar dan yang menyimpang telah benar-benar jelas).
Nabi Muhammad Saw dikatakan oleh Tuhan tidak punya hak memaksakan kehendaknya terhadap keyakinan orang lain: “Iasta ‘alaihim bi musaithir” (kamu bukan orang yang bisa memaksa), kata al-Qur’an.
Allah juga menyatakan: “Andaikata Tuhanmu menghendaki niscaya semua orang di muka bumi akan beriman. Apakah kamu akan memaksa orang sehingga mereka beriman?” (QS. Yunus (10): 99).
Di tempat lain Allah Swt berfirman: “Andai kata bukan karena pembelaan Tuhan terhadap apa yang diyakini orang satu atas yang lain, niscaya biara-biara, kuil-kuil, rumah-rumah ibadah orang Yahudi dan masjid-masjid yang di dalamnya banyak disebut Nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang-orang yang menolong Agama-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa.” (QS. al-Hajj (22):40).