Mubadalah.id – Hal yang paling penulis ingat dalam peristiwa Isra’ Mi’raj, yang merupakan bagian dari perjalanan spiritual Nabi Muhammad SAW ke dimensi lain itu, adalah perintah shalat lima waktu dalam sehari semalam, sejak fajar menjelang hingga petang temaram tiba. Sebelum memulai aktivitas harian, sampai menutup kegiatan di hari yang sama. Mengawali hari dengan berdoa, menutup hari pun dengan berdoa pula. Shalat tidak hanya sekedar ibadah fisik, karena ada ruang komunikasi yang kita bangun dengan kekuatan tak terlihat yakni Allah SWT.
Tetapi banyak orang yang masih menyepelekan tentang pentingnya shalat dalam kehidupan sehari-hari. Dengan catatan ini bukan berarti shalat penulis juga sudah lebih baik, tetapi minimal kita selalu ada usaha terus menerus untuk memperbaiki diri. Setiap dari diri kita pasti ingin berubah ke arah yang lebih baik, termasuk juga yang kita harapkan untuk orang-orang yang disayangi seperti pasangan hidup dan anak-anak. Sejauh mana kita mampu memaknai Isra’ Mi’raj dalam kehidupan keluarga, terutama tentang perintah shalat yang menjadi sarana beribadah umat Islam.
Baca juga:
Nabi Mengapresiasi Perempuan Bekerja untuk Keluarga
Mengutip catatan Chandra Malik dalam tulisan Menembus Dimensi Ruhaniah (Renungan Isra’ Mi’Raj 1), bahwa Rasulullah SAW menempatkan shalat dan waktu dalam satu garis kedudukan yang mulia, menjadikannya pasangan yang tak terpisahkan. Pada doa iftitah menyatukan shalat dan segala ibadah lain dengan hidup dan mati, dalam ikatan keberserahan kepada Allah SWT.
“Inna shalatii wa nusukii wa mahyaya wa mamaatii lillahi rabbil ‘aalamiin. Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, matiku hanya untuk Allah, Tuhan semesta alam.”
Rentang antara hidup dan mati itulah waktu bagi manusia di dunia, yang kita sebut usia. Dan di sepanjang usia itulah shalat dan ibadah diwujudkan sebagai penghambaannya kepada Allah. Jelas menurut Chandra Malik, hal itu terdapat pada QS. Az Zariyat : 65, “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepadaKu.” Jika telah tiba waktu kematian, dan amal pertama yang ditanya adalah shalat, kelak apa jawaban kita?
Lalu bagaimana jika anak-anak susah sekali untuk melakukan shalat, apalagi jika usianya sudah baligh dan berkewajiban melaksanakannya, apa yang harus dilakukan oleh kita sebagai orang tua, yang diserahi amanat untuk mendidik dan membimbing anak-anak. Dari berbagai sumber penulis merangkumnya yakni antara lain, pertama contoh atau keteladanan yang baik. Menjadi contoh atau keteadanan yang baik bagi anak-anak adalah sangat penting untuk dilakukan.
Maka ketika tiba waktu shalat, jangan hanya menyuruh anak-anak untuk shalat sementara orang tua malah asyik menonton tv atau bersosial media melalui gawai. Jangan pernah memaksakan anak untuk melakukan sesuatu yang baik, jika orang tua tidak melakukan hal yang sama, bahkan hasilnya akan berbeda bila keadaannya seperti itu. Anak akan menjadi anak yang akan selalu menentang orang tua.
Kedua, nasehat yang baik. Ketika sudah memberikan contoh atau keteladanan selanjutnya adalah memberi nasehat pada anak-anak kita masukan positif yang tentunya sesuai dengan apa yang diberikan dan dilakukan anak-anak. Ketiga, kebiasaan baik. Ketika adzan sudah berkumandang maka wajib hukumnya kita meninggalkan semua aktivitas dan bersegeralah ambil wudhu dan melakukan shalat.
Baca juga:
Visi Revolusioner Nabi Mengangkat Derajat Perempuan
Keempat, kontrol dan pengawasan yang terus menerus. Ketika kita percaya dan yakin anak-anak sudah terbiasa dengan kebiasaan yang baik, jangan lupa untuk selalu mengontrol dan mengawasi perbuatan atau tindakan anak lainnya, agar perbuatan baik yang sudah dibiasakan itu tidak hilang karena salah pergaulan.
Kelima, hukuman yang mendidik. Ketika anak lalai, keliru atau lupa dengan perbuatannya, jangan langsung menjatuhi hukuman kepada anak. Bicarakan baik-baik terlebih dahulu, jangan langsung menghakimi anak. Namun kalau sudah ada bukti langsung, berilah hukuman sesuai dengan perbuatan atau tindakan yang dilakukan oleh sang anak. Begitu juga dengan shalat, jika anak tidak shalat misalnya subuh, maka hukuman yang masuk akal adalah dikurangi uang jajannya atau tidak mendapatkan uang jajan sama sekali.
Keenam, doa. Orang tua yang baik adalah yang selalu menjaga anak-anaknya setiap waktu dan dalam kondisi apapun. Tidak hanya menjaga dalam keadaan fisik saja, tetapi juga menjaga anak-anak dalam doa adalah alat paling ampuh yang akan selalu menjadi kebaikan yang menyertai mereka.
Untuk semakin mempertegas perlakuan orang tua terhadap anak-anak, terkait dengan perintah menjalankan shalat lima waktu itu, maka antara Ayah dan Ibu harus saling bekerjasama dalam memberi teladan, menasehati, melakukan pembiasaan, melakukan pengawasan, memberi hukuman dan mendoakan anak.
Kalaupun posisi orang tua saling berjauhan, peran Ayah atau Ibu bisa digantikan oleh orang lain yang masih tinggal bersama dalam satu rumah. Sehingga anak-anak tidak kehilangan figur orang tua, dan dia mendapatkan teladan utuh dari sosok Ayah dan Ibu tanpa ada perbedaan dan pembedaan perlakuan. Maka dengan disiplin dalam shalat, dan pola relasi yang seimbang ini diharapkan anak akan tumbuh dengan jiwa yang matang, dan lebih siap menghadapi tantangan zaman.
Jadi makna Isra’ Mi’raj menurut penulis adalah sarana untuk mengingatkan diri tentang perilaku kita sebagai hamba, yang dikorelasikan dengan shalat untuk berkomunikasi dengan Tuhan. Jika shalat kita sudah baik, maka akan nampak pada perilaku yang juga baik. Namun kebaikanpun harus menyeluruh melibatkan seluruh keluarga, terutama anak-anak yang menjadi tanggung jawab kita sebagai orang tua, bagaimana mengajak anak agar turut mematuhi perintah shalat tanpa paksaan dan kekerasan fisik.
Maka, melalui Isra’ Mi’raj semoga kita belajar, dengan melihat kembali kualitas shalat, agar menjadi pribadi yang lebih baik untuk diri sendiri maupun orang lain di sekitar kita. []