Mubadalah.id – Kekerasan seksual sering kali terjadi bukan hanya karena niat jahat pelaku, tetapi juga karena adanya relasi kuasa yang membuat korban tak berdaya untuk melawan. Pelaku sering kali memanfaatkan otoritasnya—baik sebagai akademisi, pemimpin agama, atau figur publik—untuk memperdaya korban dan menghindari konsekuensi.
Fenomena Walid, yang terinspirasi dari karakter antagonis dalam serial Malaysia Bidaah, menjadi simbol penyalahgunaan kekuasaan dalam lingkungan keagamaan. Ia mencerminkan kenyataan yang terjadi di berbagai komunitas di mana pelaku dengan status sosial tinggi bisa melakukan kekerasan tanpa takut diadili.
Mengapa Kita Harus Memahami Pola Relasi Kuasa dalam Kasus Kekerasan Seksual?
Kekerasan seksual bukan hanya tentang tindakan fisik atau pelecehan verbal. Ia juga berkaitan erat dengan ketimpangan kekuasaan antara pelaku dan korban.
Ketika kekuasaan berada di pihak yang dominan, sedangkan pihak lain memiliki ketergantungan atau lebih rendah kedudukannya, penyalahgunaan mudah terjadi.
Ada beberapa pola relasi kuasa yang sering muncul dalam kasus kekerasan seksual, yaitu pertama, hierarki dan ketergantungan. Dalam pola ini pelaku sering kali berada dalam posisi yang menentukan nasib korban, baik secara ekonomi, akademik, maupun sosial. Ketergantungan ini membuat korban sulit melawan atau melaporkan kejadian karena takut akan konsekuensi buruk.
Kedua, penyalahgunaan kepercayaan dan citra moral. Dalam pola ini, pelaku yang memiliki status tinggi sering kali menggunakan posisinya untuk membangun citra sebagai sosok berintegritas. Hal ini membuat korban kesulitan berbicara, karena komunitas cenderung mempercayai pelaku daripada korban.
Ketiga, normalisasi dan impunitas. Terkadang, kekerasan seksual dianggap sebagai sesuatu yang “biasa” atau bahkan dimaklumi. Misalnya, dalam sistem patriarki yang kuat atau lingkungan budaya hierarkis, tindakan pelecehan bisa dianggap sebagai hak istimewa mereka yang berkuasa. Akibatnya, pelaku sering kali lolos dari hukuman, sementara korban yang berbicara justru mendapat stigma atau dikucilkan.
Keempat, manipulasi dan tekanan sosial, dimana pelaku kekerasan seksual tidak hanya menggunakan kekuasaan langsung, tetapi juga melakukan manipulasi psikologis terhadap korban. Gaslighting—strategi membuat korban meragukan pengalaman mereka sendiri—sering digunakan untuk membungkam suara korban. Selain itu, tekanan dari komunitas atau institusi dapat membuat korban merasa bersalah atau takut untuk mencari keadilan.
Kasus Nyata Relasi Kuasa dalam Kekerasan Seksual di Institusi Pendidikan
Belakangan ini muncul beberapa kasus kekerasan seksual dalam dunia pendidikan yang cukup menggemparkan. Salah satunya adalah kasus kekerasan seksual oleh dosen sekaligus pimpinan ma’had di perguruan tinggi negeri keagamaan Lombok. Korban yang berjumlah sekitar 7 orang ini di antaranya adalah mahasiswa beasiswa bidikmisi yang tinggal di ma’had.
Modus pelaku adalah berperan sebagai figure ayah. Pelaku mencoba membuat hubungan seperti mentor dengan korbannya, sementara itu dia menutupi intensi seksualnya dengan pretensi berkaitan dengan atensi akademik.
Akhir tahun lalu, media juga dihebohkan dengan kasus kekerasan seksual dengan korban sesama jenis bermoduskan zikir zakar. Pelaku yang merupakan dosen di beberapa perguruan tinggi di Mataram mendekati korban yang mempunyai masa lalu yang kurang baik. Pelaku menceramahi korban dan mengajaknya taubat dengan melakukan ritual zikir zakar dan mandi suci.
Kekerasan Seksual di Institusi Keagamaan dan Lingkungan Kerja
Salah satu kasus yang cukup viral terjadi beberapa waktu lalu. Pimpinan sebuah pondok pesantren di Gunung Sari, Lombok, melakukan pelecehan seksual terhadap 22 santrinya. Modusnya adalah memberikan keberkatan pada rahim korban agar bisa melahirkan anak-anak yang menjadi wali.
Kasus ini terbongkar setelah salah satu korbannya melihat film Walid Bidaah. Merasa cerita hidupnya hampir sama, korban akhirnya berani speak up tentang pengalaman buruknya tersebut.
Dalam hal ini, adalah fakta bahwa masyarakat seringkali menganggap pemuka agama memiliki otoritas moral, sehingga korban merasa sulit untuk berbicara karena takut akan stigma sosial.
Selain itu, kita tentu masih ingat dengan kasus Baiq Nuril Maknun, mantan guru honorer di salah satu sekolah negeri Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB). Baiq mendapatkan tuntutan pidana karena dinilai mencemarkan nama baik orang yang justru diduga melakukan pelecehan seksual padanya, yaitu kepala sekolahnya pada saat itu.
Baiq merekam pelecehan verbal oleh atasannya dengan niatan sebagai bukti bahwa tidak ada hubungan antara keduanya. Dia tidak berani melaporkan ke pihak berwajib karena khawatir pekerjaannya akan terancam.
Teman-teman, relasi kuasa dalam kasus-kasus kekerasan seksual di atas tidak terjadi secara acak, tetapi mengikuti pola yang berulang dalam berbagai kasus. Pola ini mencerminkan bagaimana pelaku menggunakan kekuasaan untuk mengontrol, membungkam, dan menormalisasi kekerasan terhadap korban.
Mengapa Kesadaran Publik Penting?
Kesadaran publik memainkan peran krusial dalam mengatasi kekerasan seksual berbasis relasi kuasa. Tanpa pemahaman yang cukup, masyarakat sering kali tidak menyadari bahwa mereka berada dalam sistem yang memungkinkan kekerasan terjadi.
Salah satu dampak utama dari rendahnya kesadaran adalah pembiaran dan normalisasi kekerasan seksual. Banyak kasus terjadi karena lingkungan sosial menganggapnya sebagai sesuatu yang “biasa” atau “wajar,” terutama dalam struktur yang patriarkal atau hierarkis.
Dengan meningkatkan kesadaran publik, kita dapat mengubah pola pikir yang permisif terhadap kekerasan. Ini akan mendorong tindakan nyata untuk mencegah pelecehan serta menegakkan akuntabilitas.
Selain itu, kesadaran publik berkontribusi pada keberanian korban untuk berbicara dan mencari keadilan. Stigma sosial sering kali menjadi penghalang utama bagi korban untuk melapor, karena mereka khawatir mendapat pengabaian dan pengucilan.
Namun, ketika masyarakat lebih memahami dinamika kekerasan seksual, korban akan merasa mendapat dukungan dan memiliki ruang yang lebih aman untuk menyuarakan pengalaman mereka.
Dukungan ini tidak hanya bersifat sosial tetapi juga hukum, karena kesadaran publik dapat mendorong reformasi sistem perlindungan dan penegakan hukum bagi korban.
Membangun Kesadaran, Meruntuhkan Impunitas
Fenomena Walid menunjukkan bahwa kekerasan seksual bukan hanya tindakan individu, tetapi bagian dari sistem yang memungkinkan pelaku menggunakan kuasa untuk mempertahankan dominasinya.
Ketergantungan korban terhadap pelaku, citra moral yang melindungi pelaku dari tuduhan, serta normalisasi dan impunitas dalam lingkungan patriarkal menciptakan kondisi di mana kekerasan seksual dapat berlangsung tanpa perlawanan yang efektif.
Untuk mengakhiri siklus ini, kita harus bersama membangun kesadaran publik agar masyarakat tidak lagi menjadi bagian dari sistem yang membiarkan kekerasan seksual terjadi. Memahami bagaimana relasi kuasa beroperasi dalam berbagai institusi adalah langkah awal untuk menciptakan perubahan sosial.
Dengan meningkatkan pemahaman dan dukungan terhadap korban, kita dapat meruntuhkan impunitas yang melindungi pelaku serta memperkuat mekanisme hukum yang berpihak pada keadilan. []