Mubadalah.id – Membersamai perayaan Iduladha tahun ini, sebuah kabar gembira turut menyeruak hadir. Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Sosial (Kemensos) beserta Komisi Nasional Disabilitas (KND) berencana menerbitkan Kartu Penyandang Disabilitas (KPD).
Kita perlu bersemangat menyambutnya dengan ungkapan, “Selamat datang, ahlan wa sahlan!”
Mengutip Tempo.co (5 Juni 2025), sedianya pembagian KPD tersebut akan lekas bergulir sedari bulan Agustus hingga Desember mendatang. Estimasi jumlah kartu yang akan didistribusikan mencapai angka 500 ribu penerima.
Saat ini, Kemensos dan KND tengah mematangkan pemeriksaan data tunggal ekonomi nasional (DTESN) berdasarkan identitas kependudukan (KTP). Namun, kedepan pemerintah mendorong agar para penyandang disabilitas berkenan untuk aktif dan mandiri. Kepemilikan KPD akan menggunakan pendekatan bottom-up dengan berlandaskan inisiasi mandiri.
Tentu sebuah kebahagiaan yang patut beroleh sukacita. Inisiatif progresif pemerintah ini dapat membuka akses layanan bagi kawan difabel seluas-luasnya. Terlebih, kita tahu bahwa selama ini mereka kerap mengalami eksklusi dan hambatan.
Sebagaimana ungkapan Menteri Sosial Saefullah Yusuf, KPD bermanfaat bagi penyandang disabilitas untuk memperoleh layanan pendidikan, kesehatan, serta transportasi. Selain itu, KPD juga membantu pemerintah untuk menyediakan kebutuhan para difabel di level lokal hingga menyangkut hal-hal spesifik.
Secercah cerah, selaksa asa
Kebijakan progresif dan inklusif yang Pemerintah Indonesia tempuh lewat penerbitan KPD ini kiranya layak bersambut positif. Ada secercah cerah dan selaksa asa untuk masa depan yang lebih optimistis bagi kawan difabel.
Tak hanya KPD, keseriusan dan keberpihakan pemerintah juga nampak pada beberapa rencana dan kebijakan. Pada pertengahan Mei silam, anggota Komisi VIII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Maman Imanul Haq, merespon temuan penelitian Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) perihal masjid yang belum ramah difabel.
Maman secara pribadi berkomitmen untuk mengupayakan kehadiran masjid ramah difabel (inklusif) lewat jalur legislatif. Ia mendorong agar opsi dana afirmatif pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 dapat mengucur untuk renovasi masjid agar lebih inklusif.
Melengkapi KPD dan gagasan budgeting khusus untuk masjid inklusif, kehadiran petugas haji untuk kalangan disabilitas juga sebuah pertanda cerah lain. Setidaknya, terdapat 183 Petugas Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) yang berkewajiban untuk mendampingi 513 jemaat haji difabel di tahun ini.
Kementerian Agama (Kemenag) secara khusus mengutus dua Komisioner KND, yakni Dante Rigmalia dan Deka Kurniawan untuk turut memberikan pendampingan. Kebijakan ini merupakan implementasi Kemenag dari tema besar haji tahun ini yaitu Haji Ramah Lansia dan Disabilitas.
Jangan mandek sebab tak pernah ada akhir!
Kita tentu berharap bahwa pemerintah benar-benar serius menangani kebutuhan para difabel. Keberpihakan kita kepada mereka tak boleh mandek di tengah jalan. Toh, tak pernah ada kata akhir selagi mimpi-mimpi inklusivitas itu belum berwujud.
Jangan sampai penerbitan KPD, budgeting afirmatif, serta kebijalan haji ini sekadar iming-iming politik semata. Semacam terobosan jangka pendek yang berumur singkat dan mesti dicutat kala penguasa hari ini turun dari takhta.
Pemerintah perlu untuk melahirkan kebijakan hukum yang memadai, mengikat, sekaligus berkelanjutan terhadap hak-hak yang menyangkut kebutuhan para penyandang disabilitas. Terlebih, sebagaimana telah kita baca bersama, isu tentang disabilitas memiliki interseksi intim dengan Agenda WPS (women, peace, and security) yang telah menjadi amanat global.
Kepastian dan keberpihakan hukum kepada kalangan difabel merupakan modal krusial yang mesti terpenuhi. Sejauh ini, KND secara aktif menyuarakan pentingnya revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang beberapa pasalnya belum cukup inklusif untuk kalangan difabel.
Terakhir, dalam rapat bersama Komisi III DPR RI pada akhir Mei lalu, Komisioner KND Fatimah Asri Mutmainah, menyoroti beberapa pasal dalam draf rancangan KUHAP. Setidaknya, ia menyoroti pasal 7 tentang restorative justice; pasal 134 hingga 136 mengenai penyandang disabilitas sebagai subjek hukum penuh; serta pasal 137 yang berkenaan dengan sarana dan prasarana.
Terlepas dari sukacita kita dalam menyambut berbagai kebijakan pemerintah untuk mengupayakan inklusivitas, sudah semestinya bila kita tetap kritis sekaligus kolaboratif. Gagasan tentang KPD, misalnya, mesti kita kawal secara serius agar tak hanya menjadi program administratif semata.
KPD hadir untuk memenuhi, melindungi, serta memandirikan kawan difabel. Panjang umur inklusivitas! []