• Login
  • Register
Senin, 9 Juni 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Perempuan yang Terlupakan di Balik Ritual Agung Haji

Jika hari ini kita menyebut haji sebagai puncak spiritual umat Islam, please, jujurlah! bahwa ia dimulai dari rahim, dari luka, dari langkah seorang perempuan bernama Sayyidah Hajar.

Nurul Bahrul Ulum Nurul Bahrul Ulum
09/06/2025
in Publik
0
Haji yang

Haji yang

1.3k
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Ntah kenapa, setiap kali Iduladha (ibadah haji) datang, pikiranku selalu berkecamuk. Rasanya sedih. Bahkan untuk menulis topik ini pun, aku harus menarik napas panjang.

Sebagian besar dari kita mungkin belum sepenuhnya sadar bahwa siklus reproduksi perempuan—haid, hamil, melahirkan, menyusui, dan nifas—yang selama ini dianggap sebagai urusan privat justru menjadi bagian penting dari sejarah ritual keagamaan paling diimpikan umat Islam—yakni ritus keagamaan haji.

Lebih tepatnya, aku ingin mengatakan dari perempuanlah bermula salah satu rukun haji yang paling fisikal dan simbolik, yaitu Sa’i. Dari air matanya, dari darah nifasnya, dari kecemasan primal seorang ibu yang menghadapi maternal survival crisis, lahirlah Zamzam dan lahirlah Ismail—yang kelak menjadi bagian yang tak terpisahkan dari narasi kurban dan ibadah haji.

Beliaulah yang mulia Ibu monoteisme, Sayyidah Hajar ‘Alaiha ash-Sholatu wa as-Salam.

Jika kita cukup jujur membuka kembali lapisan sejarah, maka akan tampak bahwa tidak akan ada kisah kurban, tanpa kehadiran Ismail. Tidak akan ada Ismail, tanpa perjuangan Sayyidah Hajar. Meskipun sejarah haji bermula dari perintah Nabi Ibrahim dan pembangunan Ka’bah bersama Ismail, tidak bisa disangkal bahwa langkah Sayyidah Hajar menyusuri bukit Shafa dan Marwah, serta air Zamzam yang memancar dari ketegangan antara cinta dan keputusasaan adalah fondasi awal yang memungkinkan kisah besar itu tumbuh.

Baca Juga:

Refleksi Hari Raya Iduladha: Setiap Kita Adalah Ibrahim, Setiap Ibrahim punya Ismail

Siti Hajar dan Kritik atas Sejarah yang Meminggirkan Perempuan

Jalan Tengah untuk Abah dan Azizah

Iduladha: Lebih dari Sekadar Berbagi Daging Kurban

Namun, di mimbar-mimbar khutbah Iduladha, nama Sayyidah Hajar paling banter disebut sekilas—sebagai ibu Nabi Ismail atau istri Nabi Ibrahim. Nyaris tidak pernah dihadirkan sebagai sosok utuh dengan pengalaman biologis dan sosiologis perempuan yang begitu menyakitkan. Padahal, tanpa perjuangan reproduksi Sayyidah Hajar —mengandung, melahirkan, menyusui, dan menjalani nifas sendirian di tengah padang pasir—tak akan ada kisah Sa’i dan Zamzam dalam ritual ibadah haji. Ironisnya, perjuangan reproduksinya yang menjadi awal dari semua itu, nyaris tak pernah disebut dalam khutbah maupun kesadaran kolektif umat Islam.

Vulnerable Pregnancy

Bayangkan, tubuhmu membesar setiap minggu. Tapi gak ada yang bisa ditanyai saat perut terasa keras tiba-tiba. Gak ada vitamin kehamilan. Gak ada pemeriksaan detak jantung janin. Bahkan gak ada tempat rebahan yang layak. Sementara itu, kamu harus bertahan dalam panas ekstrem, berjalan, berpindah-pindah, dan tetap memastikan bahwa anak dalam kandunganmu hidup. Ini jihad reproduksi yang dialami Sayyidah Hajar —high-risk pregnancy.

Sebagai perempuan yang pernah hamil, membayangkannya aja bikin trauma. Rasa mual bisa datang dari pagi sampe malem, mood swing gak karuan, kaki bengkak gak bisa dipakai berdiri lama, dan kadang false contraction muncul bikin panik setengah mati. Tapi aku masih mending punya kasur empuk, dokter kandungan, dan orang-orang terdekat yang mendampingi. Sayyidah Hajar nggak. Beliau mengalami unassisted pregnancy di padang gersang, membawa dua nyawa dalam satu tubuh—tanpa support system dan jaminan hidup. Semua dijalani sendiri. Di tempat yang bahkan mungkin belum ada dalam peta.

Mari kita jujur! ini bukan pengalaman semua orang. Ini pengalaman perempuan. Laki-laki gak pernah—dan gak akan pernah—merasakan bagaimana rasanya mengandung nyawa lain di dalam tubuh sendiri, menanggung risiko hidup dan mati setiap hari, sambil tetap berjalan, berpikir, dan bertahan. Tapi anehnya, saat Iduladha tiba, sekali lagi tak sekalipun khutbah bicara tentang Sayyidah Hajar. Tentang betapa tubuh perempuan—dengan segala rasa sakit, lelah, dan ambruk—justru jadi landasan sejarah ritual paling agung umat Islam.

Vaginal Unassisted Childbirth & Breastfeeding Crisis

Gak ada yang bisa benar-benar membayangkan betapa beratnya melahirkan sendirian, kecuali mereka yang pernah mengalaminya—perempuan. Kontraksi datang terus tanpa jeda, sakitnya minta ampun. Tapi gak ada dokter, gak ada kasur steril, bahkan gak ada tangan suami yang menggenggam sambil bilang, “Bismillah sayang, kamu hebat, kamu bisa.” Sayyidah Hajar melahirkan sendirian di tengah padang pasir, beralaskan tanah, beratapkan langit, tanpa dampingan siapa pun. Pengalaman paling telanjang dari vaginal unassisted childbirth—yang hari ini kita tahu punya risiko tinggi terhadap kematian ibu dan bayi.

Sayyidah Hajar hanya punya Allah dan tubuhnya sendiri sebagai satu-satunya alat bertahan. Gak ada catatan medis yang bisa menggambarkan rasa sakit yang ia alami. Gak ada riwayat tentang bagaimana tubuhnya robek ketika Ismail keluar. Bahkan gak ada data tentang berapa lama beliau mengejan sendirian sambil menahan napas. Tapi kita tahu, perempuan pascamelahirkan gak bisa langsung pulih. Darah masih mengalir. Rahim masih berkontraksi. Nafas masih sesak. Pada saat tubuhnya seharusnya diberi waktu untuk istirahat total, Sayyidah Hajar justru dipaksa berdiri, karena anaknya menangis.

Ismail sedang berada dalam ancaman hidup. Air Susu Ibu (ASI) belum keluar, karena produksi ASI gak bisa langsung stabil. Hari ini kita menyebutnya sebagai early lactation failure. Sayyidah Hajar gak punya akses ke konselor laktasi. Gak ada daun katuk, Gak ada vitamin, apalagi pompa ASI. Tubuh yang kelelahan itu, alih-alih tidur dan memulihkan diri, justru mau gak mau harus bergerak. Bukan! bukan dengan langkah pelan, tapi dengan lari. Berulang kali. Naik-turun dua bukit sekitar 1 km. Tujuh kali.

Maternal Emergency Response

Itulah awal dari ritual Sa’i. Inget! Sayyidah Hajar sedang tidak melaksanakan ibadah seperti kita. Beliau sedang melakukan maternal emergency response. Dalam dunia medis modern, saat ibu mengalami kondisi serupa, seharusnya ada tim tanggap darurat. Tapi Sayyidah Hajar hanya punya tubuhnya sendiri, air mata, dan harapan bahwa langkahnya gak akan sia-sia. Sa’i adalah bentuk coping mechanism yang dilakukan tubuh trauma demi menyelamatkan nyawa lain. Tubuh yang trauma itu—perempuan yang baru saja melahirkan—kita rayakan tiap tahun tanpa menyebutkan namanya di mimbar-mimbar khutbah keagamaan, terutama dalam perayaan Iduladha.

Kita hanya menghafal urutannya. Shafa ke Marwah. Marwah ke Shafa. Tapi kita gak pernah diajak mengingat darah yang masih mengalir di balik langkah-langkah itu. Kita gak pernah merenung tentang ibu yang haus, letih, dan menangis sambil menahan nyeri di antara panggul dan payudaranya. Kita menjadikan Sa’i sebagai rukun haji, tapi melupakan bahwa itu berasal dari kepanikan seorang ibu yang gak bisa menyusui anaknya. Yang hatinya hancur mendengar tangisan bayinya dan bahkan tubuhnya gak punya waktu buat pulih.

Dari situ—dari langkah-langkah penuh trauma itu—air Zamzam memancar. Ini bukan dari kekuatan spiritual patriarkal. Zamzam hadir dari situasi putus asa dan ketulusan cinta. Dari tubuh perempuan yang gak menyerah meski ambruk. Setiap kali kita minum Zamzam, kita sedang meminum air dari perjuangan seorang ibu yang gak punya apa-apa, kecuali keberanian, tubuhnya, dan Allah. Maka, jika hari ini kita menyebut haji sebagai puncak spiritual umat Islam, please, jujurlah! bahwa ia dimulai dari rahim, dari luka, dari langkah seorang perempuan bernama Sayyidah Hajar.

Postpartum Recovery & Maternal Invisibility

Setelah melahirkan, perempuan gak bisa langsung kembali jadi ‘normal’. Darah terus berceceran dari tubuh. Vagina sangat sakit, karena robek bekas jahitan belum kering. Rahim kontraksi lagi, karena proses mengecil. Payudara bengkak, karena tekanan hormonal. Belum lagi emosi labil, karena penurunan hormon progesteron. Kondisi ini kita sebut masa nifas—postpartum recovery period—yang idealnya perlu banyak untuk istirahat,  mendapatkan nutrisi yang cukup, dan dukungan penuh dari lingkungan sekitar. Tapi Sayyidah Hajar gak dapat itu semua. Beliau menjalani postpartum bleeding di bawah terik matahari, sendirian, sambil mendengar anaknya (Ismail) menangis karena lapar.

Nifas sungguh bukan fase ringan bagi perempuan. Ini adalah masa rawan depresi, rawan infeksi, dan rentan kelelahan ekstrem. Hari ini banyak perempuan mengalami postpartum depression, bahkan di tengah fasilitas lengkap dan suami tercinta yang mendampingi. Lalu, bagaimana dengan Sayyidah Hajar? Beliau tidak hanya dalam kondisi rentan fisik, tapi juga mental. Bahkan dalam kondisi tubuhnya yang masih berdarah dan hatinya penuh kecemasan, langkahnya gak berhenti. Kehidupan anaknya lebih penting dari segala rasa sakit yang ia tahan dalam kesendirian.

Kita sering merayakan Zamzam, tapi lupa bagaimana air itu hadir dari tengah luka. Kita sering bercerita tentang Sa’i, tapi meniadakan rasa sakit di tubuh perempuan yang menjadi fondasinya. Sekali lagi, ketika khutbah-khutbah Iduladha berkumandang, nama Sayyidah Hajar hampir tak pernah mereka sebut. Padahal tubuhnya—tubuh perempuan yang penuh sakit—menjadi jalan munculnya dua pilar utama ibadah haji,  yaitu Sa’i dan Zamzam. Kita berhenti pada kisah kurban, tanpa mengakui bahwa yang pertama kali berkorban adalah perempuan.

Maternal pain itu nyata, gayss! Sedihnya lagi, betapa sering tubuh perempuan, orang-orang anggap “penghalang” dari kesucian. Masih beredar ajaran bahwa ketika sedang haid atau nifas, perempuan tidak suci. Padahal kesucian dan kebaikan tidak hanya singgah di kepala, di hati, atau di mimbar, tetapi juga hidup di perut buncit yang mengandung, di dada membesar yang menyusui, dan di luka robekan vagina yang belum sembuh. Kita terlalu lama untuk memisahkan tubuh dari ibadah. Seolah hanya dalam keadaan tidak haid dan nifas saja, seorang perempuan layak dekat dengan Allah. Padahal Sayyidah Hajar menunjukkan yang sebaliknya.

Allah Meets Women in The Midst of Their Bleeding, Not in Spite of it

Dalam kisah Sayyidah Hajar, Allah justru hadir dan memberi mukjizat di momen ketika tubuhnya sedang di ujung rentan, luka, dan lelah. Sayyidah Hajar gak disuruh menunggu pulih. Beliau gak diperintahkan bersuci dulu. Beliau dihormati dan mencipta sejarah ritual dalam kondisi berlumuran darah, lapar, haus, dan sendirian. Itu artinya apa? Allah meets women in the midst of their bleeding, not in spite of it.

Kalau laki-laki gak pernah mengalami nifas, gak tahu bagaimana rasanya menyusui sambil menahan luka jahitan, maka paling tidak mereka bisa memilih untuk mendengar. Terlalu lama darah perempuan adalah aib, bukan jalan suci yang pernah mengalirkan air Zamzam. Terlalu lama tubuh perempuan hanya kita rayakan sebagai ibu atau istri dari Nabi—bukan sebagai diri perempuan yang berdarah-darah menjalani seluruh peran reproduksinya.

Kini, saatnya kita mengingat ulang bahwa ibadah haji berawal dari ketahanan seorang ibu. Zamzam bukan air ajaib yang turun begitu saja, tapi hasil dari trauma seorang perempuan yang terus berjuang. Sa’i bukan hanya lari-lari antara dua bukit, tapi jejak penderitaan dan cinta seorang perempuan yang tak terlihat. Sudah waktunya kita menyebut namanya dengan penuh hormat satu nafas dengan Nabi Ibrahim ‘Alaihuma as-Salam. Ingatlah, Sayyidah Hajar adalah perempuan, ibu, peletak dasar spiritual umat Islam.

Karena itu, untuk semua perempuan…

Kalau kamu pernah menyusui sambil menangis karena ASI gak keluar…
… pernah kelelahan tapi tetap begadang demi nyusuin anak…
… pernah merasa sendiri saat harus memutuskan sesuatu demi keselamatan anakmu…
… pernah menahan nyeri demi tetap menjadi penopang keluarga…
Kamu sedang menjalani ulang maternal memory Sayyidah Hajar.
Dalam tubuhmu, spiritualitas Sayyidah Hajar sedang berlangsung.

Kamu sedang menunjukkan iman yang nyata. Kalau kamu pernah merasa gak cukup baik hanya karena tubuhmu gak mampu “berfungsi” seperti standar orang lain, ingat: Sayyidah Hajar pun tidak sempurna secara medis, psikologis, bahkan sosial. Tapi beliau tetap mampu menciptakan sejarah!

Perempuan gak perlu menunggu pengakuan dari siapa pun untuk merasa dekat dengan Allah. Pengalaman spiritual sering kali hadir justru lewat tubuh yang lelah, yang berdarah, yang terus bertahan karena menstruasi, hamil, melahirkan, menyusui, dan nifas, yang itu hanya perempuan yang mengalami. Tubuh perempuan—dengan segala luka dan cintanya—adalah bagian dari kisah iman yang valid. Kita sedang membawa Allah dalam tubuh kita. Tubuh yang mengajarkan kesabaran, kekuatan, dan cinta dalam bentuk yang paling manusiawi.

Perempuan….., kamu suci. Tubuhmu berarti. Pengorbananmu telah mencipta sejarah abadi bagi seluruh umat manusia. []

Tags: AgungBalikIbadah HajiiduladhaperempuanritualTerlupakan
Nurul Bahrul Ulum

Nurul Bahrul Ulum

Terkait Posts

Kartu Penyandang Disabilitas

Kartu Penyandang Disabilitas (KPD), Ahlan wa Sahlan! 

9 Juni 2025
Kritik Siti Hajar

Siti Hajar dan Kritik atas Sejarah yang Meminggirkan Perempuan

8 Juni 2025
Jam Masuk Sekolah

Jam Masuk Sekolah Lebih Pagi Bukan Kedisiplinan, Melainkan Bencana Pendidikan

7 Juni 2025
Iduladha

Iduladha: Lebih dari Sekadar Berbagi Daging Kurban

7 Juni 2025
Masyarakat Adat

Masyarakat Adat dan Ketahanan Ekologi

7 Juni 2025
Toleransi di Bali

Dari Sapi Hingga Toleransi : Sebuah Interaksi Warga Muslim Saat Iduladha di Bali

7 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Haji yang

    Perempuan yang Terlupakan di Balik Ritual Agung Haji

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Menyemai Kasih Melalui Kitab Hadis Karya Kang Faqih

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Islam dan Kemanusiaan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Prinsip Keadilan Sosial dalam Ajaran Islam

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Refleksi Hari Raya Iduladha: Setiap Kita Adalah Ibrahim, Setiap Ibrahim punya Ismail

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Perempuan yang Terlupakan di Balik Ritual Agung Haji
  • Menyemai Kasih Melalui Kitab Hadis Karya Kang Faqih
  • Islam dan Kemanusiaan
  • Refleksi Hari Raya Iduladha: Setiap Kita Adalah Ibrahim, Setiap Ibrahim punya Ismail
  • Prinsip Keadilan Sosial dalam Ajaran Islam

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID