Mubadalah.id – Seberapa krusial isu-isu ekologi bagi manusia? Seberapa penting peran manusia terhadap menjaga lingkungan ? dan seberapa sadar manusia terhadap prinsip ekoteologi?
Karen Amstrong telah mengkritik tradisi kristiani yang menganggap “alam itu sakral merupakan sebuah mitos” dengan sadis. Karena bagi Karen, alam merupakan mediator penghambaan manusia kepada Ilahi, dan spiritual manusia dengan ciptaan tuhan lainnya. Saya sepakat dengan asumsi karen, karena isu krisis alam dan lingkungan berkorelasi erat dengan sisi spiritual-eksistensial bumi.
Akhir-akhir ini perbincangan ekoteologi atau perpaduan antara ekologi dan teologi lagi hangat-hangatnya. Seperti yang kita lihat program prioritas Kementerian Agama RI yang baru disahkan “Ekoteologi , Gerakan menanam sejuta pohon”.
Jujur saja, sebenarnya hal demikian telah berlalu-lalang sebelumnya, namun belum mendapatkan perhatian lebih. Mungkin hari ini wujud Upaya penegasan Kemenag dalam peduli lingkungan dan harus diapresiasi.
Per-hari ini kesehatan alam dan lingkungan berada dalam ancaman tangan manusia. Maraknya pertambangan, nikel, limbah pabrik, deforestasi, perubahan iklim yang super-duper cepat itu merupakan mahakarya tangan manusia yang telah menganiaya lingkungan.
Berbagai kalangan telah terjun dan mencoba berkecimpung dalam isu tersebut menjelma sebagai “super hero” yang membawa misi keselamatan dan kesejahteraan. Termasuk instansi-instansi ternama. Namun, gagasan tersebut hanya hangat diawal saja, kemudian dingin membeku dalam omong-omong semata.
Ketika institusi keagamaan mulai berbicara lingkungan, apakah ini sekadar tren atau transformasi paradigma yang sesungguhnya?
Akar Ekoteologi
Ekoteologi secara harfiyah adalah gabungan antara teologi dan ekologi. Teologi berarti sesuatu yang berkaitan dengan ketuhanan, Ekologi adalah pembahasan seputar lingkugan. Singkatnya, Ekoteologi yakni bagaimana cara pandang keagamaan bisa mengajarkan manusia buat hidup lebih harmonis dengan alam.
Saat ini sudah menjadi rahasia umum Kemenag memproklamirkan “Penguatan Ekoteologi”, salah satu program prioritas Kementerian Agama periode 2025–2029, sebagaimana tertuang dalam Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 244 Tahun 2025.
Gagasan ekoteologi Kemenag itu muncul dari pengamatan berbagai pihak terkait makin parahnya krisis iklim dan problem lingkungan lainnya. Bagi Kemenag, isu lingkungan bisa waras dengan ajaran agama tentang ekologi. Karena, agama memiliki power yang kuat untuk membangun peradaban.
Aspek epistemologis pemahaman ekoteologi adalah kesadaran bahwa krisis lingkungan tidak semata-mata masalah yang bersifat sekuler, tetapi juga problem keagamaan yang akut, karena berawal dari pemahaman agama yang keliru tentang kehidupan dan lingkungan.
Badiuzzaman Said Nursi memberikan pencerahan tentang relasi Tuhan, manusia, dan alam dalam beberapa pandangan. Pertama, alam adalah buku. Kedua, Alam mahakarya seni yang sangat indah. Ketiga, alam sebagai emanasi keindahan nama Tuhan. Keempat, alam berkomunukasi dengan Allah dan manusia. Kelima, alam menunjukkan sisi batin dan dzahir ciptaan Tuhan.
Said nursi dalam argumennya menandakan sebuah landasan metafisik dari Islamic Environmentalisme, atau seorang muslim akan selalu bertanggung jawab terhadap lingkungannya. Bagi Anna M.Gade, ajaran ekoteologi bagi warga muslim merupakan aspek humanisme muslim terhadap lingkungan. Artinya, konsep islam rahmatan lil-alamiin mencakup seluruh penjuru bumi, bukan hanya untuk manusia saja.
Dengan demikian dalam konteks islam, ekoteologi menjadi pemahaman yang ringan apabila terjalin kasih sayang antara manusia dengan lingkungannya. Meskipun secara historis studi ekoteologi telah menjadi pembahasan serius oleh saudara Kristen sebelumnya.
Antroposentrisme : Manusia Ngerasa Paling Penting
Dalam bab ini, saya mendedahkan secuil saja tentang antroposentrisme secara definitif. Karena istilah ini telah gandrung dalam kalangan kita. Antroposentrisme secara general telah kita kenal sebagai paham yang memusatkan segala hal kepada manusia dan lingkungan sebagai objeknya. Atau Antroposentrisme justru menempatkan manusia di puncak hierarki, seolah-olah kita punya hak mutlak untuk melakukan apa saja terhadap alam.
Pandangan ini secara tidak langsung membentuk pola pikir bahwa alam ada untuk manusia, bukan bersama manusia. Segala sesuatu di luar diri manusia baik hewan, tumbuhan, bahkan elemen abiotik seperti air, udara, dan tanah dalam pandangannya hanya sebatas alat guna memenuhi kebutuhan, kenyamanan, dan ambisi manusia. Maka tak heran, dalam praktiknya, antroposentrisme menjadi dasar dari eksploitasi besar-besaran terhadap lingkungan hidup.
Dalam konteks ini, manusia kerap kali menjadikan alam sebagai ladang kapital, yang keberadaannya terukur berdasarkan nilai ekonomis semata. Hutan baginya hanya bisa menghasilkan kayu atau membuka ruang untuk perkebunan.
Sungai kita anggap berguna selama mengalir ke sawah atau untuk menghidupkan energi. Satwa liar pun dikalkulasi berdasarkan potensinya untuk menjadi objek hiburan secara konsumtif. Tanpa manfaat praktis bagi manusia, eksistensi alam dianggap tak penting.
Ironisnya, paham ini bukan hanya lahir dari kekeliruan logika pembangunan modern, tetapi juga diperkuat oleh warisan budaya dan sistem pendidikan yang mengagungkan dominasi manusia atas alam. Bahkan dalam banyak narasi keagamaan atau filsafat klasik, manusia berposisi sebagai “penguasa ciptaan” sebuah kedudukan istimewa yang, jika secara eksplisit bermakna sempit, menjadi pembenaran ideologis untuk mengeksploitasi alam tanpa batas.
Namun, persoalannya bukan sekadar pada dominasi itu sendiri, melainkan pada ketimpangan relasi antara manusia dan alam. Alam bukan entitas pasif yang bisa terus-menerus memberi tanpa batas. Ia memiliki keseimbangan internal yang harus dihormati. Ketika relasi ini terkendali penuh oleh logika antroposentris, maka kehancuran ekologis hanyalah soal waktu.
“Pada masa lalu, manusia harus menyelamatkan diri dari alam. Kini, alam harus menyelamatkan diri dari manusia dalam keilahian manusia”. Demikian dikatakan Mahatma Gandhi, lantas menambahkan “Bumi selalu menyediakan seluruh kebutuhan manusia, tetapi manusia mengkhianatinya dengan merusaknya.”
Refleksi Kritis
Ekoteologi Kemenag, pada akhirnya, adalah cermin dari pergulatan umat Islam Indonesia dalam menghadapi krisis ekologis global. Pertanyaan fundamentalnya bukan hanya apakah program-program ini berhasil mengurangi emisi karbon atau sampah plastik, tapi apakah berhasil mengubah cara pandang umat terhadap alam.
Kritik terhadap antroposentrisme bukan sekadar isu akademis atau teologis, tapi juga isu spiritual yang mendalam. Ketika manusia berhenti memandang diri sebagai penguasa alam dan mulai melihat diri sebagai bagian dari komunitas kehidupan yang lebih luas, di situlah transformasi sejati terjadi.
Ekoteologi Kemenag masih dalam proses. Masih ada banyak ruang untuk kritik, perbaikan, dan pendalaman. Namun, yang terpenting adalah bahwa percakapan ini sudah hangat. Dalam tengah krisis iklim yang semakin akut, setiap upaya untuk mengubah paradigma antroposentris patut kita dukung dan terus mengkritisi secara konstruktif.
Masa depan bumi tidak hanya tergantung pada teknologi hijau atau kebijakan pemerintah, tapi juga pada transformasi spiritual yang mendalam. Dan ekoteologi Kemenag memiliki peran strategis yang tidak bisa kita abaikan. []