Mubadalah.id – Ketika video kerusakan Raja Ampat pertama kali viral di media sosial, jutaan orang Indonesia geram dibuatnya. Bagaimana mungkin kawasan yang dijuluki “Surga Laut” dunia bisa dirusak demi tambang nikel? Tagar #SaveRajaAmpat pun trending, mencerminkan kemarahan kolektif masyarakat.
Namun, kemarahan saja tidak cukup. Setelah hiruk-pikuk media sosial mereda, pertanyaan mendasar tetap menggelantung, yakni bagaimana kita bisa memastikan tragedi serupa tidak terulang lagi?
Menurut saya, jawabannya mungkin terdengar sederhana, tetapi membutuhkan komitmen jangka panjang. Kita harus mulai dari akar masalahnya, yakni dengan mendidik generasi penerus untuk benar-benar mencintai dan memahami alam sejak mereka masih kecil.
Ketika Keputusan Merusak Lahir dari Hati Keserakahan
Pikirkan sejenak tentang mereka yang mengambil keputusan memberikan izin tambang di Raja Ampat. Mereka pasti tahu bahwa kawasan itu istimewa. UNESCO bahkan mengakuinya sebagai Global Geopark. Tapi mengapa mereka tetap berani mengambil risiko merusaknya?
Di sinilah letak permasalahan utama. Bagi sebagian besar pengambil keputusan, alam hanyalah angka-angka di atas kertas. Mereka melihat hutan sebagai potensi kayu, laut sebagai jalur transportasi, dan gunung sebagai cadangan mineral. Hubungan emosional dengan alam? Hampir tidak ada.
Dalam perspektif Islam, manusia sejatinya diamanahkan sebagai khalifah di bumi. Bukan penguasa yang sewenang-wenang, melainkan penjaga yang bertanggung jawab atas kelestarian ciptaan Allah. Namun, amanah ini seringkali terabaikan karena lemahnya pemahaman dan ikatan spiritual dengan alam.
Fitrah Anak: Pintu Masuk Membangun Cinta Alam
Berbeda dengan orang dewasa, anak-anak memiliki fitrah yang masih bersih. Seorang anak yang melihat ikan mati di sungai akan langsung bertanya, “Kenapa ikannya mati?” Ketika melihat pohon ditebang, mereka akan protes, “Kasihan pohonnya!” Respons spontan ini menunjukkan empati alami yang dimiliki anak-anak terhadap makhluk hidup lain.
Rasulullah SAW bersabda, “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah.” Fitrah ini mencakup kecenderungan alami untuk mencintai dan melindungi sesama makhluk ciptaan Allah. Sayangnya, empati ini sering hilang seiring bertambahnya usia karena pengaruh lingkungan dan sistem nilai yang materialistis.
Inilah mengapa pendidikan lingkungan sejak dini menjadi begitu krusial. Bukan sekadar mengajarkan fakta-fakta tentang ekosistem, tetapi membangun ikatan emosional dan spiritual yang kuat antara anak dan alam. Ikatan cinta alam ini yang akan membuat mereka berpikir dua kali sebelum mengambil keputusan yang merusak lingkungan ketika dewasa nanti.
Ketika Pengalaman Masa Kecil Menjadi Penuntun Arah
Bayangkan jika para pengambil keputusan yang mengeluarkan izin di Raja Ampat dulu pernah menyelam di sana sebagai anak-anak. Bayangkan jika mereka pernah merasakan takjub melihat ikan pari manta berenang di atas kepala mereka, atau terpesona dengan keindahan terumbu karang yang berwarna-warni. Apakah mereka akan dengan mudah mengorbankan keajaiban itu demi keuntungan ekonomi sesaat?
Kemungkinan besar tidak. Karena pengalaman langsung dengan alam, terutama yang dialami di masa kanak-kanak, akan tertanam dalam memori emosional seseorang. Memori ini akan menjadi pertimbangan moral ketika mereka harus mengambil keputusan penting di kemudian hari.
Allah SWT berfirman dalam Al-Quran, “Dan tidaklah Kami ciptakan langit dan bumi serta apa yang ada di antara keduanya dengan sia-sia.” (QS. Shad: 27).
Setiap ciptaan Allah memiliki tujuan dan manfaat yang tidak boleh terabaikan. Anak yang diajarkan cinta alam untuk merenungkan ayat ini sejak dini akan tumbuh dengan kesadaran bahwa merusak alam sama dengan melawan kehendak Allah yang menciptakan sesuatu dengan fungsi masing-masing.
Momentum Perubahan: Dari Viral ke Aksi Nyata
Kemarahan akibat kasus Raja Ampat seharusnya menjadi momentum untuk memulai perubahan ini. Generasi muda yang ramai memprotes di media sosial menunjukkan bahwa mereka masih memiliki kepedulian terhadap lingkungan. Tinggal bagaimana kita mengarahkan kepedulian ini menjadi aksi nyata dalam mendidik generasi yang lebih muda lagi.
Setiap keluarga Indonesia bisa berkontribusi. Tidak perlu program besar-besaran atau anggaran khusus. Cukup dengan meluangkan waktu mengajak anak mengamati alam di sekitar mereka. Menjelaskan mengapa kita tidak boleh membuang sampah sembarangan. Mengajarkan untuk tidak boros air dan listrik. Hal-hal sederhana ini akan membentuk karakter yang peduli lingkungan.
Dalam Islam, konsep pendidikan bersifat komprehensif. Tidak hanya mentransfer ilmu, tetapi juga membangun karakter dan spiritualitas. Pendidikan lingkungan sejak dini adalah salah satu cara untuk mewujudkan misi kekhalifahan manusia di bumi, yakni menjaga dan melestarikan alam untuk generasi mendatang.
Investasi Jangka Panjang untuk Masa Depan
Ketika jutaan anak Indonesia tumbuh dengan kesadaran lingkungan yang kuat, mereka akan menjadi generasi yang tidak akan membiarkan kasus Raja Ampat terulang. Mereka akan menjadi konsumen yang bijak, pengusaha yang bertanggung jawab, dan pemimpin yang mengutamakan keberlanjutan.
Ini bukan hanya soal menyelamatkan alam, tetapi juga soal membangun peradaban yang berkelanjutan. Peradaban yang sejalan dengan nilai-nilai Islam tentang keadilan, keseimbangan, dan tanggung jawab terhadap sesama makhluk hidup.
Kasus Raja Ampat memang sudah terjadi dan tidak bisa kita undur. Tetapi kita masih punya kesempatan untuk memastikan bahwa generasi mendatang tidak akan mengulangi kesalahan yang sama. []