• Login
  • Register
Selasa, 24 Juni 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Personal

Bias Kultural dalam Duka: Laki-Laki Tak Boleh Sepi, Perempuan Harus Mengisi

Kita perlu mengubah cara kita merespons duka. Kita perlu memberikan ruang bagi laki-laki untuk larut, untuk merenung, untuk kehilangan

Layyinah Ch Layyinah Ch
24/06/2025
in Personal
0
Bias Kultural

Bias Kultural

923
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Kematian adalah peristiwa paling manusiawi yang seluruh manusia alami tanpa terkecuali. Ia menyisakan kehampaan, luka, dan kebutuhan untuk berdiam dalam duka. Namun ada sebuah fenomena yang cukup menggelitik namun jarang kita perbincangkan.

Yaitu saat laki-laki berduka atas kematian istrinya. Tak sedikit pelayat dan kerabat, yang menyarankan mereka (suami) untuk segera menikah lagi. Bahkan sebelum tujuh hari pasca kepergian istrinya. Alasannya cukup klise: agar tidak kesepian, agar ada yang menemani, agar ada yang “melayani”.

Fenomena bias kultural yang pernah terjadi dalam sebuah pengalaman, yakni di salah satu pemakaman ibu dari seorang teman. Seorang tokoh masyarakat yang hadir justru menyerukan -dalam sambutan pelepasan jenazahnya, agar sang suami segera menikah kembali. Bahkan saat liang lahat baru tertutup sempurna. Seruan itu terlontar tanpa jeda empati. Seolah-olah kehilangan dapat segera “terselesaikan” dengan kehadiran pengganti.

Pernyataan semacam itu, yang sering kita anggap wajar dan bahkan bentuk kepedulian. Sesungguhnya menyimpan dua lapis problem struktural. Pertama, penyangkalan terhadap hak laki-laki untuk berduka secara penuh dan menuntaskan masa dukanya.

Kedua, objektifikasi peran perempuan sebagai “alat sampingan” yang menghibur dan pemenuh fungsi domestik. Di sinilah masalah utama bias kultural. Bagaimana sistem nilai dalam masyarakat kita masih terus-menerus menormalisasi luka laki-laki dan menginstrumentalisasi perempuan.

Baca Juga:

Bukan Tak Mau Menikah, Tapi Realitas yang Tak Ramah

Membedah Hakikat Berkeluarga Ala Kyai Mahsun

Kebaikan Yang Justru Membunuh Teman Disabilitas

Relasi Hubungan Seksual yang Adil bagi Suami Istri

Perempuan: Dari Subjek Kehidupan Menjadi Objek Pengganti

Tentu saja, secara objektif kita menolak untuk menganggap peran ibu sekadar “pengurus rumah” atau “teman hidup” yang bisa terganti kapan saja. Seorang istri sekaligus ibu adalah pusat nilai dalam sebuah keluarga, sekaligus pendidik, penjaga spiritualitas, teman dialog, dan tiang khidmah yang tak terlihat.

Ketika orang dengan mudah menyarankan “segera mengganti”, yang mereka abaikan bukan hanya kompleksitas peran ibu, tetapi juga nilai perempuan itu sendiri.

Fenomena bias kultural ini mencerminkan relasi yang tidak setara antara laki-laki dan perempuan, di mana perempuan terposisikan sebagai pelengkap kehidupan laki-laki. Bukan sebagai subjek utuh yang memiliki kehendak. Seolah-olah keberadaan perempuan semata ditentukan oleh kebutuhan laki-laki dan jika peran itu kosong, maka harus segera terisi.

Laki-Laki yang Tak Diberi Ruang untuk Berduka

Ironisnya, narasi ini juga menekan laki-laki, yang selama hidupnya adalah pasangan penuh hormat bagi ibu, yang mendidik bersama dengan nilai-nilai kesalingan dan kesetaraan, justru dipaksa oleh lingkungan untuk “cepat pulih” dan “kembali berfungsi”. Seolah kehilangan pasangan hidup selama puluhan tahun bisa kita sederhanakan dengan sebuah solusi “menikah lagi”.

Di sinilah wajah Toxic Masculinity (maskulinitas toksik) dalam bentuk yang paling halus: laki-laki tidak diizinkan larut dalam kehilangan. Ia dituntut kuat, tidak terlalu lama bersedih, dan segera move on, sementara disisi lain perempuan difungsikan sebagai peredam luka, objek pengganti dan tak diberi kehendak.

Objektifikasi Perempuan dalam Institusi Pernikahan

Kritik terhadap struktur semacam ini bukan hal baru. Nawal El Saadawi, seorang tokoh feminis dari Mesir, menulis tajam dalam Perempuan di Titik Nol. Bahwa “perkawinan adalah lembaga paling kejam bagi perempuan” karena seringkali tidak terbangun atas dasar kesalingan, melainkan kebutuhan satu pihak. Pernikahan, dalam sistem yang bias, menjadi ruang di mana perempuan menjadi instrumen, bukan subjek relasional yang setara.

Hal ini selaras dengan kritik para feminis Muslim seperti Asma Barlas dan Musdah Mulia yang menyoroti bagaimana teks-teks keagamaan sering kali ditafsirkan secara patriarkal. Yakni menempatkan perempuan hanya sebagai pelengkap laki-laki, bukan sebagai partner sejajar yang memiliki otoritas moral dan spiritual yang sama.

Perempuan Bukan Penghibur, Tapi Penenteram; Refleksi atas Ayat Al Qur’an

Al-Qur’an justru menegaskan relasi antara laki-laki dan perempuan dalam kerangka kasih, cinta, dan ketenteraman. Dalam QS. Ar-Rum: 21, Allah berfirman:

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu pasangan-pasangan dari jenismu sendiri agar kamu merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.”

Ayat ini menekankan konsep sakinah, mawaddah, dan rahmah. Bukan pelayanan satu arah, bukan pengganti instan. Tapi relasi saling membangun dan memuliakan.

Maka, menyarankan pernikahan kembali bukanlah kesalahan. Tetapi melakukannya tanpa empati, tanpa memahami duka dan nilai dari pernikahan yang telah ada. Dorongan ini adalah bentuk pengabaian dan mencoderai terhadap makna yang terkandung dalam relasi pernikahan itu sendiri.

Duka Perlu Dimanusiakan, Perempuan Perlu Dimuliakan

Dalam perspektif keislaman yang autentik, duka dan kesedihan bukanlah hal yang harus segera kita selesaikan dengan pengganti instan. Kehilangan sendiri merupakan sebuah peristiwa yang mengajarkan ḥikmah dan tafakkur didalamnya.

Rasulullah ﷺ sendiri menunjukkan empati mendalam kepada orang yang berduka dan memberikan ruang untuk berproses.[1] Ini menegaskan bahwa duka adalah bagian dari perjalanan spiritual manusia yang harus kita hormati. Bukan kita tuntut untuk terlupakan secara cepat.

Namun, apa yang terjadi dalam praktik sosial kita seringkali justru melanggengkan bias kultural dan gender yang tidak adil. Laki-laki, meski manusiawi mengalami luka dan kehilangan yang sama, dipaksa untuk menutup duka dengan “solusi cepat” berupa pernikahan ulang.

Di sisi lain, perempuan sering terposisikan sebagai objek pengganti yang tugasnya ‘mengisi kekosongan’ tersebut. Padahal dalam Al-Qur’an, relasi antara laki-laki dan perempuan adalah relasi ta’āwun (kerjasama), mubādalah (kesalingan), dan ta‘ārif (saling mengenal dan menghormati). Bukan relasi hierarkis yang menempatkan satu pihak sebagai pemilik dan pihak lain sebagai pelengkap

Kita perlu mengubah cara kita merespons duka. Kita perlu memberikan ruang bagi laki-laki untuk larut, untuk merenung, untuk kehilangan. Dan yang lebih penting, kita perlu berhenti memosisikan perempuan sebagai “penambal luka” atau “solusi kenyamanan”.

Memaknai Ulang Duka dan Kesedihan

Pemaknaan duka bukan hanya soal kesedihan pribadi, tetapi juga tentang bagaimana masyarakat menghormati kemanusiaan yang utuh dari laki-laki dan perempuan. Menurut QS. Ar-Rum: 21, pernikahan adalah sumber ketenteraman dan kasih sayang bersama, bukan sekadar pemenuhan kebutuhan. Dengan demikian, mendorong pernikahan kembali haruslah berbasis pada kesadaran batin dan bukan sekadar norma sosial yang membebani.

Jika seseorang ingin menikah kembali setelah pasangannya wafat, itu tentu haknya. Tapi dorongan itu seharusnya muncul dari kesadaran pribadi yang matang. Bukan tekanan sosial yang bias kultural dan tidak empatik.

Tulisan ini tentu bukan untuk penghakiman, melainkan untuk menggugat cara berpikir. Bahwa setiap perempuan layak kita kenang bukan karena fungsi domestiknya, tapi karena kemanusiaan yang utuh dan berdaya. Dan setiap laki-laki berhak untuk mengalami duka secara utuh, tanpa terburu-buru oleh norma yang membebani.

Wafatnya sesosok ibu mampu mengajarkan banyak hal. Tentang cinta, kehilangan, dan bias budaya. Ia mengungkap bukan hanya luka karena perpisahan, tapi juga luka yang lebih dalam. Bahwa banyak perempuan belum sepenuhnya kita muliakan, bahkan setelah wafatnya.

Sudah waktunya kita berhenti menyarankan solusi praktis untuk luka dan kepekaan sosial, bahwa duka tidak butuh pengganti. Ia hanya butuh kita manusiakan. Menghormati duka berarti juga menghormati proses kemanusiaan yang kompleks, yang tidak bisa kita sederhanakan dengan “pengganti cepat”.

Dan memuliakan perempuan berarti mengakui keberadaannya sebagai subjek penuh, yang memiliki suara dan kehendak, bahkan dalam konteks kehilangan dan kerinduan. []

[1] Diriwayatkan dalam Shahih Muslim, Kitab al-Birr wa al-Shilah, Hadis no 924. Diriwatkan, oleh Jabir bin Abdullah, Rasulullah bersabda, “Janganlah kalian menyalahkan orang yang berduka, karena sesungguhnya duka adalah fitrah manusia” HR Muslim

Tags: bias genderBias KulturalDukakematiankesedihanpernikahanRelasi
Layyinah Ch

Layyinah Ch

Layyinah CH. seorang ibu, pengajar, yang terkadang menulis sebagai refleksi diri dengan latar belakang pendidikan pesantren dan kajian Islam. Fokus tulisan pada isu keadilan gender, spiritualitas, pendidikan Islam, serta dinamika keluarga dan peran perempuan dalam ruang-ruang keagamaan.

Terkait Posts

Mau Menikah

Bukan Tak Mau Menikah, Tapi Realitas yang Tak Ramah

24 Juni 2025
Spiritual Awakening

Spiritual Awakening : Kisah Maia dan Maya untuk Bangkit dari Keterpurukan

23 Juni 2025
Teman Disabilitas

Kebaikan Yang Justru Membunuh Teman Disabilitas

21 Juni 2025
Jangan Bermindset Korban

Bukan Sekadar “Jangan Bermindset Korban Kalau Ingin Sukses”, Ini Realita Sulitnya Jadi Perempuan dengan Banyak Tuntutan

21 Juni 2025
Lelaki Patriarki

Lelaki Patriarki : Bukan Tidak Bisa tapi Engga Mau!

19 Juni 2025
Kesalehan Perempuan

Kesalehan Perempuan di Mata Filsuf Pythagoras

16 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Wahabi Lingkungan

    Pentingkah Melabeli Wahabi Lingkungan?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Bukan Tak Mau Menikah, Tapi Realitas yang Tak Ramah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengkaji Ulang Fitnah Perempuan dalam Pandangan Agama

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Stigma Tubuh Perempuan sebagai Sumber Fitnah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Membedah Hakikat Berkeluarga Ala Kyai Mahsun

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Berbagi dan Selfie: Mengkaji Etika Berbagi di Tengah Dunia Digital
  • Kasus Francisca Christy: Ancaman Kekerasan di Era Digital itu Nyata !!!
  • Bias Kultural dalam Duka: Laki-Laki Tak Boleh Sepi, Perempuan Harus Mengisi
  • Membongkar Dalil Lemah di Balik Khitan Perempuan
  • Bukan Tak Mau Menikah, Tapi Realitas yang Tak Ramah

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID