WARNING
Kawan-kawan, bagi yang hendak lewat jalur demo hari ini, mohon berhati-hati. Tiga anak Dr. Azhari (teroris yang tewas di Malang tahun 2005) akan berada di tengah kerumunan massa. Mereka membawa bom besar di dadanya! Mereka adalah:
Ayu Azhari
Sarah Azhari
Rahma Azhari
Mubadalah.id – Cuplikan di atas merupakan salah satu humor yang sempat beredar luas di Indonesia. Sekilas terlihat menggelitik. Namun jika kita renungkan lebih dalam, rasanya ia menyimpan bias dan kekerasan simbolik pada salah satu gender.
Mereka membawa bom besar di dadanya. Nama-nama perempuan bersanding dengan narasi ‘bom besar’ untuk menggambarkan salah satu tubuh perempuan, payudara. Sebuah objektifikasi tubuh yang akrab dengan dunia humor.
Realitasnya, masyarakat Indonesia memang kerap hidup berdampingan dengan humor. Mulai dari obrolan santai di warung kopi, segmen komedi di televisi, hingga unggahan meme di media sosial, semuanya menjadi ruang di mana humor tumbuh subur.
Masifnya perkembangan digital pun turut mempercepat penyebarannya, membuat lelucon bisa menjangkau ribuan orang hanya dalam hitungan menit—tanpa memandang usia, latar pendidikan, agama, atau gender.
Sebagaimana yang Crawford (2003) paparkan, humor seringkali menjadi ‘pintasan’ untuk membicarakan topik-topik tabu yang selama ini tidak mungkin terungkapkan secara langsung. Seperti pembahasan RAS, seksualitas, politik, agama, maupun yang lainnya. Tema-tema tersebut tersalurkan dan dikemas rapi dalam balutan tawa dengan tajuk ‘candaan’.
Akan tetapi, ketika saya rasa humor bergeser fungsi menjadi ladang objektifikasi fisik untuk menertawakan suatu kelompok —gender–, apakah yang demikian masih dapat kita sebut selera humor atau lelucon? Atau justru merupakan cara lain dalam mempertahankan struktur yang timpang?
Kebiasaan yang Mengakar
Adalah hal yang tidak bisa dibenarkan ketika humor seksis terus menerus kita langgengkan. Saat ini humor seksis rasanya kerap menjadi teman karib kita di berbagai keadaan.
Di perkopian, lingkungan akademik, hingga lingkungan spiritual agaknya pernah menjadi tempat lakon humor seksis ini bergerilya. Seperti halnya seorang tokoh agama yang sempat ramai tempo hari lalu lantaran guyon dalam gaya dakwahnya selalu memakai narasi seksisme alih-alih mengundang gelak tawa para jamaah.
Kulo iku bersyukur Bude Yati elek, milih dadi sinden. Lak ayu dadi lonte. (Saya ini bersyukur Bude Yati jelek, memilih jadi sinden. Kalau cantik jadi pelacur) narasi dalam sebuah video ceramah Gus Miftah.
Tanpa mereka sadari, di antara tawa nyaring yang tercipta, di sana terdapat satu hati kecil yang tertinggal menahan malu. Tubuhnya dijadikan objek guyon yang tidak terhormat.
Atau justru sebaliknya, ironinya terkadang korban sendiri masih nerasa ragu dan tidak menyadari bahwa tindakan seperti ini merupakan bentuk pelecehan verbal karna terbalut dalam selimut ‘candaan’. Sikap masyarakat yang menormalisasi hal demikianlah akhirnya menyebabkan pergeseran nilai seksis yang mulanya bersifat privat menjadi terbuka.
Kuatnya Diskirimasi Gender
Tidak ada yang membatasi tentang kepada siapa humor seksis ini akan terus menemukan korbannya. Lafrance dan Woodzicka mengemukakan bahwa humor seksis terdefinisikan sebagai humor yang merendahkan, menghina, memberikan stereotip, memperdaya, atau mengobjektifikasi seseorang berdasarkan gendernya.
Terdapat empat elemen yang dapat kita kategorikan sebagai humor seksis—terkhusus perempuan. Namun dalam hal ini, saya hanya menyoroti dua elemen saja.
Pertama, humor yang merendahkan perempuan dengan menekankan inferioritas perempuan terhadap laki-laki. Kedua, humor seksis secara tidak langsung merupakan produk dari pemikiran patriarkal dengan men-stereotip perempuan sebagai makhluk bodoh, kelas kedua, dan sebatas objek seksuaal belaka.
Dengan langgengnya perilaku humor seksis di masyarakat yang dinormalisasi, artinya kita juga turut mengamini tumbuh suburnya pikiran-pikiran patriarki yang bersarang di lingkungan kita.
Bahkan tidak menjadi umum, ketika sebagian orang tidak merasa dirinya menjadi korban lantaran berpandangan melazimkan dominasi laki-laki yang dianggap lebih berkuasa dalam hal kewenangan, keterlibatan sosial politik dan lainnya. Sehingga, hal demikian turut di-gapapa-in dalam masyarakat kita. Gapapa, hanya guyon.
Maka tidak berlebihan kiranya, jika saya menganggap bahwa humor seksis semacam ini merupakan akar dari masifnya pelecehan seksual. Tersebab, apabila kita terus menikmati humor semacam ini, lambat laun akan menciptakan rasa ‘ketidakpedulian’. Pada akhirnya ketidakpedulian ini berujung pada sulitnya mengenali tindak tanduk pelecehan seksual.
Pelanggaran Hak Manusia
Selain sebagai alat pembenaran dominasi gender, humor seksis sejatinya adalah bentuk pelanggaran hak asasi manusia. Setiap manusia berhak untuk dihormati, baik tubuh, martabat, maupun identitasnya. Ketika tubuh perempuan dijadikan bahan lelucon, komentar seksis kita anggap normal dan lucu, di situlah hak atas rasa aman dan penghormatan diri mulai terkikis.
Bagi sebagian perempuan, candaan itu adalah pengingat bahwa ruang publik belum benar-benar aman. Mereka masih bisa menjadi objek, tanpa punya kuasa untuk menolak. Dan ketika itu terjadi berulang, tanpa masyarakat sadari telah ikut serta dalam menjatuhkan martabat manusia lain, hanya karena tawa dianggap lebih penting daripada rasa hormat.
Saatnya Memilih Tawa yang Tidak Menyakiti
Tawa memang bisa menyatukan, namun sekaligus juga menjadi sebab perpecahan. Antara mereka yang tertawa karena lucu, dan mereka yang diam karena merasa terhina. Humor sudah sepatutnya menjadi ruang bebas kekauasan dan diskriminasi.
Sudah saatnya kita mulai memilih jenis tawa yang kita pelihara. Sampai kapan kita ingin terus menertawakan tubuh, pengalaman, dan luka orang lain? Humor tidak akan kehilangan daya lucunya hanya karena ia berhenti merendahkan. Tapi kita akan kehilangan kemanusiaan jika terus membiarkan tawa menjadi alat untuk menindas. Sudah cukup! Kita bisa tertawa tanpa harus menjatuhkan siapa pun. []