Mubadalah.id – Abu Nuwas atau yang lebih dikenal dengan nama Abu Nawas di Indonesia adalah seorang penyair Arab terkenal pada zamannya. Nama Abu Nuwas di Indonesia menjadi masyhur dikarenakan satu syair ilahi lastu lil firdaus yang ternisbatkan pada dirinya.
Syair tersebut bahkan sering kali kita temui terbaca dalam majlis-majlis, bahkan di beberapa tempat syair tersebut biasa terbaca di kampung-kampung pada waktu antara azan dan iqamah. Para musisi religi tanah air mempopulerkan syair tersebut dengan sebutan syair al I’tiraf (pengakuan). Namun, di dunia Barat nama Abu Nuwas terkenal sebagai sosok yang cukup kontroversial dengan masa hidupnya yang kelam.
Hal ini tidak lain disebabkan karena peran ibu yang sangat berpengaruh. Seperti kita ketahui peran orang tua dalam hidup seorang anak, terutama ibu adalah peran yang sangat utama. Sosok ibu adalah sosok yang paling dekat dengan anak sejak dalam kandungan.
Membahas peran ibu dari sisi agama dan psikologi akan menjadi pembahasan yang panjang dan berat, namun memahami peran ibu dari kedua perspektif ini dapat membantu kita mendapatkan gambaran yang utuh tentang bagaimana mencegah dan menangani masalah tersebut.
Peran Ibu dalam Kacamata Agama dan Psikologi
Anak adalah amanah dari Allah bagi kedua orang tua. Ia dititipkan untuk kita asuh, kita didik dan kita bimbing. Tidak hanya berkewajiban memenuhi kebutuhan jasmani, orang tua memiliki kewajiban untuk memenuhi kebutuhan rohani sang anak. Termasuk pembinaan akidah, ibadah, moral dan intelektual.
Erickson, seorang tokoh penting dalam bidang psikologi perkembangan dan psikoanalisis mengatakan peran ibu penting sebagai figur sentral yang dapat membantu perkembangan anak, orang tua terutama ibu dianjurkan untuk tidak terlalu membatasi ruang gerak serta kemandirian anak.
Namun tidak pula terlalu memberikan kebebasan melakukan apapun yang dia mau. Pembatasan ruang gerak pada anak dapat menyebabkan anak akan mudah menyerah dan tidak dapat melakukan segala sesuatu tanpa bantuan orang lain.
Begitu pun sebaliknya, jika anak terlalu kita beri kebebasan mereka akan cenderung bertindak sesuai yang dia inginkan tanpa memperhatikan baik buruk tindakan tersebut. Sehingga peran orang tua dalam mendidik anak pada usia ini harus seimbang. Yakni antara pemberian kebebasan/kesempatan dan pembatasan ruang gerak anak. Karena dengan cara itulah anak akan bisa mengembangkan sikap kontrol diri dan harga diri.
Dari kedua perspektif singkat di atas, dapat kita simpulkan, bahwa meskipun orang tua memiliki amanah untuk mengasuh dan mendidik anaknya, pendidikan yang tidak terlalu memanjakan dan tidak terlalu kaku menjadi kunci berhasilnya sebuah parenting pada sang anak.
Lalu, apa hubungan psikologi penyair Abu Nuwas dengan pendidikan ibunya?
Salah Pergaulan Sebab Utama Perusak Masa Depan
Sebagaimana remaja yang pada umumnya terjebak pergaulan berisiko, Abu Nuwas juga tidak terhindar dari hal tersebut. Abu Nuwas di masa belianya menghabiskan hidupnya untuk membantu ibunya bekerja pada penjual parfum. Dari sinilah Abu Nuwas bertemu dengan Walibah, sosok kontroversial yang sangat berpengaruh dalam proses kreatifnya di dunia penyair.
Singkat cerita, Abu Nuwas berguru kepada Walibah. Ia dan Walibah menciptakan puisi-puisi yang merefleksikan kehidupan sehari-hari mereka. Pesta pora, mabuk-mabukan dan hal-hal tak patut lainnya. Walibah sendiri terkenal sebagai seorang penyair cabul yang doyan mabuk-mabukan.
Kontroversi Walibah tersebut terbukti “mengalir” dalam diri Abu Nuwas. Abu Nuwas mulai terbiasa bersenandung puisi dengan gaya yang tak jauh berbeda dengan gurunya. Bahkan Abbas Mahmud al Aqqad secara simplitis menyebut Abu Nuwas dengan kata “al-Ibahi” yang berarti “Si Mesum” karena penyimpangannya dalam agama, tradisi dan moral secara blak-blakan.
Ada sebuah anggapan yang menyebutkan bahwa asbab Abu Nuwas terjerumus dalam “pergaulan berisiko” bersama Walibah dikarenakan parenting ibunya yang terlalu keras dalam mendidiknya. Hal ini tersebutkan oleh Musyfiqur Rahman dalam bukunya yang berjudul Khamriyat: Puisi Anggur Terbaik dari Era Abbasiyah.
Pendidikan Ibu Sebagai Tameng Kehidupan
Sesuai penjelasan Erickson di atas, bahwa orang tua terutama ibu dianjurkan untuk tidak terlalu membatasi ruang gerak serta kemandirian anak. Hal ini secara tidak langsung menjelaskan larangan untuk bersikap terlalu keras pada anak. Hal ini akan mengakibatkan tekanan dan membuat sang anak memberontak. Selain itu akan menyebabkan terjadinya toxic parenting. Pola asuh yang toxic identik dengan terlalu mengontrol anak.
Sedangkan menurut Forward dan Buck, ciri-ciri toxic parents adalah memberi hukuman fisik secara berlebihan demi alasan disiplin, membuat anak terlibat dalam masalah orang tua, sehingga anak cenderung merasa bersalah bila menginginkan sesuatu. Selain itu menekan anak secara psikis dan emosional, dan menyuap anak dengan imbalan uang.
Pada dasarnya setiap orang tua pasti menginginkan yang terbaik untuk buah hatinya. Pola asuh yang salah akan membahayakan anak. Banyak hal yang muncul akibat toxic parenting.
Oleh karena itu, sebagai orang tua harus mengetahui cara agar bisa terhindar dari toxic parenting. Misalnya dengan menerapkan positive parenting akan meningkatkan perkembangan anak. Pola asuh positif yang bisa kita lakukan seperti mengenal perilaku anak, memberikan kesempatan kepada anak, mengendalikan emosi dan menjalin komunikasi yang baik.
Dalam case Abu Nuwas dan ibunya, terlalu keras dalam mendidik anak dapat menyebabkan anak memberontak dan akhirnya memilih jalannya sendiri karena merasa terlalu terkekang.
Namun, bila ibu memberikan pendidikannya sesuai porsinya maka akan membantu anak untuk bertumbuh dan berkembang dengan percaya diri, penuh kemandirian dan kasih sayang. Karena terpenuhinya tangki cinta di rumah, anak tidak akan mencari perhatian di luar rumah hingga menjerumuskan diri pada kebatilan. []