Mubadalah.id – Sebagian besar masyarakat masih menganggap bahwa pembicaraan menstruasi itu merupakan hal tabu. Di sisi lain, di banyak tempat darah haid pun dianggap sebagai sesuatu yang menjijikan dan najis.
Di Nepal, India misalnya, perempuan yang sedang menstruasi dipandang tidak suci. Sehingga mereka dilarang untuk menjalankan kegiatan sosial dan keagamaan. Mereka juga ditolak untuk masuk ke kuil atau tempat suci, bahkan juga ke dapur.
Lebih ekstrem dari itu, di suku Gond dan Madia di Gadchiroli, perempuan menstruasi diharuskan untuk tinggal selama lima hari di suatu gubuk, sebagian besar terletak di luar kampung dekat dengan hutan.
Para perempuan yang tengah haid itu tidak boleh masak atau mengambil air dari sumur kampung dan harus tergantung dari kiriman makanan sesama kerabat perempuan yang tidak haid. Bila seorang laki-laki menyentuh perempuan yang lagi mens, ia harus segera mandi karena tubuhnya terkena najis.
Tidak hanya di India, pandangan ini juga ternyata masih melekat di masyarakat Indonesia, salah satunya di Papua. Di sana, perempuan yang sedang menstruasi adalah manusia jorok dan menjijikan. Karena itu, hampir 60 persen siswi Papua memilih untuk bolos sekolah saat menstruasi.
Para perempuan tersebut takut pergi ke sekolah saat menstruasi karena khawatir terjadi kebocoran. Karena di sana, akses pembalut masih minim dan fasilitas sanitasi tidak layak. Di sisi lain, perempuan yang menstruasi sering kali mengalami perundungan dari teman laki-lakinya di sekolah.
Manusia Pembalut
Dalam kondisi yang memprihatinkan ini, kita mesti beri apresiasi sebesar-besarnya pada Demianus Dike. Seorang laki-laki yang kini terkenal sebagai “Manusia Pembalut.”
Demianus adalah penggerak utama Yayasan Noken Papua, sebuah organisasi akar rumput yang fokus pada isu-isu kesehatan dan pendidikan. Di tengah realitas pahit tersebut, Demianus hadir untuk mengedukasi menstruasi bukan hal tabu sekaligus mengajarkan cara membuat pembalut kain.
Melansir dari makasiow.com, Demianus hadir di ruang-ruang kelas, rumah-rumah ibadah, hingga balai kampung, membicarakan soal menstruasi. Topik yang dulu dianggap tabu dan tidak boleh diperbincangkan, kini dijadikan topik diskusi yang terbuka. Laki-laki dan perempuan diajak untuk ikut hadir dan berdiskusi.
Menurutnya ini merupakan hal penting, sebab pengetahuan tentang menstruasi bukan hanya harus dipahami oleh perempuan, tetapi juga laki-laki.
Sehingga keduanya paham bahwa haid bukan sesuatu yang menjijikan, apalagi najis. Tapi pengalaman khas perempuan yang memerlukan perhatian khusus, terutama terkait fasilitas sanitasi yang layak dan penyediaan pembalut.
Tidak hanya memberi penyuluhan, Demianus juga melatih siswa dan guru untuk menjadi Kader Kesehatan Remaja. Salah satu program unggulannya adalah pelatihan membuat pembalut kain yang bisa mereka cuci dan pakai kembali. Murah dan ramah lingkungan.
Perjuangan yang Berat
Perjuangan Demianus memang tidak mudah, apalagi ia hidup di lingkungan yang masih patriarki. Sebagai seorang laki-laki, ia sering kali dicibir dan distigma negatif karena berani membicarakan tentang menstruasi.
Namun, di tengah keterbatasan tersebut, perjuangannya kini sudah membuahkan hasil. Di beberapa sekolah mitra Yayasan Noken Papua, angka ketidakhadiran siswi saat haid mulai menurun. Diskusi tentang menstruasi pun kini tak lagi memalukan, dan para gadis kini memiliki akses terhadap pembalut yang layak.
Gerakan yang Demianus ini lakukan patut untuk banyak laki-laki lain tiru. Karena, mengedukasi dan cara membuat pembalut kain bukan hanya soal menjahit kain, tapi salah satu cara menanamkan pemahaman bahwa menjaga kesehatan menstruasi itu bukan hanya isu perempuan, tetapi urusan kemanusiaan.
Sehingga laki-laki dan perempuan harus sama-sama paham terkait hal-hal yang berkaitan dengan menstruasi. Harapannya ke depan tidak ada lagi perundungan dan pengasingan pada perempuan yang sedang haid. []