Tidak asing rasanya ketika kita mendengar kalimat ini, “Sumur-Dapur-Kasur”. Yups, ketiga kata ini merupakan labeling usang yang acap kali melekat dengan kata perempuan. Sebenarnya tidak masalah jika hanya katanya berdekatan, namun hal yang justru disayangkan ialah ketika kata tersebut melekat dan berarti negatif hingga dipakai untuk merendahkan pula!
Sedangkan misalnya dalam kajian Hinduis, perempuan sebagai Ida Sang Hyang Widhi Wasa, sangat dimuliakan oleh Tuhan, akan peranannya dalam membangun peradaban melalui keluarga hingga negara dan peran ini yang tidak bisa dipandang sebelah mata.
Menurut Esa dari Compassionate Action Indonesia dalam opininya yang tertuang pada akun instagram Jejak Muda Indonesia (@jejakmuda.id) , “Sejak presiden Soekarno menetapkan tanggl 21 April sebagai hari Kartini dalam Keppres RI No 108/1964, sejak saat itu setiap tanggal 21 masyarakat Indonesia memperingati hari itu sebagai simbol dari Emansipasi Perempuan dan reminder Kartini sebagai Pahlawan perempuan yang memperjuangkan pendidikan dan Literasi. Meskipun didaerah tertentu ritual tahunan ini identik dengan karnaval mulai dari anak TK sampai jenjang perguruan tinggi memakai kebaya, konde dan berjalan dari titik tertentu ke titik tertentu. Tak sedikit yang mengkritisi bahwa ritual seperti itu justru meletakan simbol domestik dan tidak membangun gambaran perempuan yang penuh empower. Empower yang seperti apa? yang maskulin? perempuan yang bisa manjat pohon? Atau perempuan yang menjadi anggota Dewan lalu Suaminya menjadi supir pribadinya? Kesetaraan yang dari dulu diperjuangkan sebetulnya setara dalam berpendapat, berfikir dan mengambil keputusan.”
“Tahun ini mungkin berbeda tak seperti tahun lalu kita bisa melihat karnaval Kartinian dan beberapa selebrasi di berbagai penjuru Tanah air karena ada Pandemi Covid-19, Perempuan yang selalu diidentikkan dengan ranah Domestik sesunggunya punya andil dan peran dalam memutus rantai penularan Covid-19. Perempuan yang sudah berkeluarga melindungi keluarganya dan lingkungannya dengan membuat planning untuk membangun perlindungan, paling rajin membaca literatur untuk pemenuhan nutrisi daya tahan tubuh, sebagai time keeper dan polisi untuk lingkungan sekitar dan saling berbagi fakta dan praktik baik. Bahkan sekian banyak relawan dalam rangka berbagi dan saling jaga adalah perempuan, lebih dari 50% populasi didunia ini adalah perempuan. Kami semua adalah ibu, Ibu dari kebenaran yang melahirkan benih-benih keadilan. Kartini sendiri bilang bahwa “Bukan Laki-laki yang hendak kami lawan, melainkan pendapat kolot dan adat yang usang”, imbuhnya.
Spirit perempuan – sekaligus feminis di Indonesia – yang terwadahi dalam peringatan perjuangan Kartini tiap tahunnya untuk membentuk peradaban menjadi semangat yang terus menyala dalam pahitnya diskriminasi perempuan, dan pada sisi lain optimisme itu juga menerangi generasi berikutnya.
Tentunya semangat ini menumbuhkan pendewasaan cara berpikir dan berperilaku bagi siapapun yang masih termakan oleh kolonialnya stigma Sumur-dapur-Kasur, bagi perempuan di masa yang serba millenilal kini. Mari kita merdekakan terlebih sejak dalam pikiran dan berpikir yang adil.
Pergeseran makna sumur yang selama ini perempuan hanya dikonotasikan unuk mengurusi jemuran, cucian dan pakaian, bagaimana jika pemaknaan tersebut digeser dengan bahwa perempuan sebagai sumber pembawa kesejukan, menentramkan, dan bikin hati adem ketika dimanapun ia singgah.
Sebagai penyejuk keanggunan yang ia tampilkan melalui tutur dan sentuhannya, perempuan menjadi sumur yang menampung segala keilmuan, pengetahuan dan pengalamannya minimal untuk suami dan anak-anaknya kelak. Sepertinya kita sepakat dengan pergeseran makna sumur yang kolot itu dengan sajian makna yang lebih menyenangkan dan adil bagi perempuan.
Lalu Dapur yang juga sudah hangus dengan wacana perempuan sebatas memasak, mengurusi cucian piring dan menata lauk di atas meja makan menjadi arti tersendiri, juga sekaligut pelecut sebenarnya bahwa jika pemaknaan tersebut digeser dengan perempuan mampu berdikari secara ekonomi, bebas finansial dan perempuan juga dapat menyangga kebutuhan utama keluarga, sehingga sah-sah saja jika perempuan menjadi salah satu referensi keluarga ketika meniti karir di masa depannya.
Sedangkan Kasur yang terlanjur luntur karena wacana usang menganggap perempuan hanya sebagai objek pemuas, dilihat dari paras dan lekuk tubuh hingga lajur penyalur hawa nafsu, bagaimana jika pemaknaan tersebut digeser dengan perempuan menjadi tempat pulang, gelas mengadu keluh kesah kerja suami dan permasalahan sekolah serta pertemanan anaknya kelak, menjadi kapuk yang melembutkan, dan kebanggaan keluarga serta orangtuanya.
Lahirnya pemimpin-pemimpin dunia hari ini seperti Hillary Clinton, Zakiyah Darajat, Retno Marsudi, Susi Pudjiastuti, Najwa Shihab, Megawati Soekarno Putri dan masih banyak lagi perempuan panutan lainnya, termasuk dirimu, setidaknya mampu menjadi motivasi konkrit dan terdekat dengan kita hari ini.
Semoga dengan pergeseran makna persumuran, perdapuran dan perkasuran ini, yang bisa kita maknai dengan nilai filosofis yang adil bagi perempuan, tentu akan menjadikan kita terus berpikir positif. Sebagai perempuan tak lagi merasa insecure dan rendah diri, sementara bagi orang lain tidak akan lagi memandang rendah peran dan posisi perempuan, di manapun ia berada, perempuan sangat berharga! []