Mubadalah.id – Juni lalu, publik Indonesia untuk kesekian kalinya mendengar kabar tentang praktik eksploitasi anak yang terjadi di dalam institusi pesantren. Kasus tersebut terjadi di salah sebuah di daerah Pulau Kangean, Kabupaten Sumenep, Jawa Timur. Tak kurang dari 13 santri putri menjadi korban kekerasan seksual oleh pimpinan pesantrennya.
Sementara, pada bulan April sebelumnya, sejumlah santri putra di Tulungagung, Jawa Timur juga mengalami tindak pelecehan seksual. Mirisnya, para korban masih berada di rentang usia yang sangat belia, yakni 8-14 tahun.
Tak heran bila hasil riset UNICEF bersama Pusat Kajian dan Advokasi (PUSKAPA) Universitas Indonesia menemukan lebih dari separuh jumlah santri di Indonesia mengaku pernah mengalami tindakan kekerasan. Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) bahkan dalam catatan Kaleidoskop 2024 merinci 114 kasus kekerasan di pondok pesantren.
Citra buruk dalam selimut suci
Maraknya berbagai kasus eksploitatif yang berlangsung di balik “institusi suci” pesantren jelas kian meneguhkan citra buruk lembaga pendidikan ini. Padahal, selama ini publik menggadang-gadang pesantren selaku benteng bagi tunas-tunas bangsa.
Di tengah derasnya arus disrupsi zaman, kita mengharapkan pesantren inklusif dapat mengemuka sebagai produsen generasi unggul yang berwawasan global lagi berjiwa spiritual. Namun, seolah jauh api dari panggang, realita yang terjadi justru membuat berang banyak kalangan.
Sebagai sebuah institusi pendidikan Islam yang eksklusif, pesantren belum mampu menjamin keamanan para santrinya. Alih-alih berintrospeksi dan memperbaiki diri, serangkaian borok dan bobrok internalnya justru makin sering tersingkap ke hadapan publik.
Karenanya, mau tak mau, pesantren mesti membereskan “urusan dapurnya” terlebih dahulu. Segala bentuk tindakan eksploitatif yang berlangsung, baik yang telah terdeteksi maupun yang masih terjadi secara sembunyi-sembunyi, semestinya diberantas hingga ke akar-akarnya.
Urgensi transparansi dan transformasi
Sejatinya, sejak tahun 2022 lalu, Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren (PD Pontren) Kemenag, Waryono Abdul Ghofur, telah mengingatkan pentingnya transparansi dan transformasi. Waryono secara khsusus menyorot berbagai permasalahan kekerasan, perundungan, serta eksploitasi yang selama ini acap terjadi.
Menurutnya, hanya dengan berbekal komitmen nyata untuk bersikap transparan dan protektif itulah pesantren dapat terus mengemban amanah dan kepercayaan publik. Yakni sebagai kawah candradimuka bagi lahirnya generasi bangsa yang berkualitas di masa depan.
Selaras dengan peringatan Direktur PD Pontren tersebut, beberapa pesantren telah dengan sadar membuka diri. Mereka berkolaborasi dengan pihak eksternal untuk meningkatkan kapasitasnya dalam upaya perlindungan terhadap para santri dan warganya.
Sebagai misal, Pondok Pesantren Sultan Hasanuddin di Gowa, Sulawesi Selatan, mendeklarasikan dirinya sebagai “Pesantren Ramah Anak”. Tagline tersebut menunjukkan keberpihakan dan keseriusannya dalam mencegah berbagai tindakan eksploitatif.
Berbekal fasilitasi oleh UNICEF, beberapa pengajar mendapatkan pelatihan intensif. Mereka berkolaborasi untuk mewujudkan institusi pendidikan keagamaan sebagai rumah bersama yang aman dari segala bentuk bayang-bayang eksploitasi.
Kolaborasi dan tidak antikritik
Pesantren Sultan Hasanuddin merupakan salah satu contoh positif yang berani bersikap lebih terbuka. Keterbukaan untuk menjalin kerja sama dengan pihak-pihak eksternal merupakan kunci utama untuk mewujudkan inklusivitas untuk semua.
Keterbukaan untuk kolaborasi tidak lantas mengurangi independensi manajemen urusan dapurnya. Sebaliknya, melalui kolaborasi dengan pihak eksternal, pesantren secara sadar telah mengambil partisipasi aktif dalam menyerap aspirasi publik.
Harapannya, kolaborasi tersebut dapat menghasilkan solusi konkrit terhadap permasalahan yang selama ini berlangsung. Tak ada lagi sekat pemisah dengan masyarakat yang kerap menjadikan pesantren teralienasi dari laju dinamika zaman.
Bukankah kita semua menghendaki dinamisasi pesantren inklusif ke arah yang lebih baik?
Ketidakraguan untuk melempar oto-kritik juga merupakan salah satu upaya untuk mampu berbenah dan lantas berubah. Lagi pula, pesantren tak boleh antikritik yang sejatinya justru memberikan input positif bagi perbaikan kedepan.
Pesantren sebagai institusi pendidikan jelas tak hanya bertanggung jawab terhadap aktivitas transmisi keilmuan religius, mencetak mubaligh, atau menghasilkan mutakharrijin yang alim allamah semata. Ada tugas pokok lain yang tak kalah vital, yakni memperbaiki institusinya sendiri.
Pengelola (kyai, gus, ajengan, ning) semestinya secara kolaboratif mau saling belajar sistem manajemen institusi yang lebih baik. Aktivitas semacam lokakarya, workshop, pelatihan, seminar dan sejenisnya harus meningkat intensitasnya.
Selama ini, salah satu tantangan terbesar dunia pesantren ialah penyatupaduan dan sinergi dalam semangat ta’awun fil birri wa at-taqwa—sekalipun ini kerap digaungkan.
Tidak mengecewakan publik
Kiranya, kita layak bersyukur, bahwa masih bersisa sekelompok masyarakat yang menaruh kepercayaan. Namun, tentu kepercayaan ini tidak boleh menjadi kesia-siaan, apalagi pengkhianatan.
Di balik rasa percaya itu, sejujurnya publik tengah menantikan lahirnya transformasi-transformasi konkrit. Apabila Pesantren Hasanuddin telah sukses mengadopsi inklusivitas, tentu bukan hal mustahil bila kesuksesan serupa dapat membiak ke segenap pesantren di nusantara.
Namun, semua kembali kepada para pengelolanya sendiri. Selagi mereka masih terus berkecimpung dalam kolam sakralitas, patronase, dan hierarki struktural, selamanya inklusivitas itu akan sulit bertumbuh kembang.
Sebagai pamungkas, ungkapan Alexandre Dumas dalam The Count of Monte Cristo bahwa hidup adalah berpacu antara hope dan wait bisa kita insafi bersama. Apakah harapan akan pesantren yang inklusif dapat mewujud? Publik menunggu beriring doa dalam rukuk dan sujud! []