Mubadalah.id – Kadang aku bertanya dalam diam: apakah aku benar-benar percaya pada kesetaraan? Atau jangan-jangan, aku hanya jatuh cinta pada gagasannya yang terdengar mulia?
Pertanyaan itu tidak lahir dari ruang seminar atau forum intelektual. Ia muncul di tempat yang jauh lebih sunyi: di dapur rumah, saat aku diminta membereskan meja makan sementara adik lelakiku santai menonton televisi. Atau ketika di ruang kerja, ideku nyaris tak dianggap, sampai seseorang, laki-laki, mengulang hal yang sama dan tiba-tiba semua bersorak: “Good Job!”
Mungkin kamu pun pernah. Momen-momen ketika nilai-nilai yang kamu yakini bersinggungan langsung dengan kenyataan yang terlalu “biasa”. Tak jahat, tapi cukup untuk membuat batinmu mempertanyakan banyak hal. Dan di sanalah kegelisahan itu tumbuh. Jika aku benar-benar percaya pada keadilan, bagaimana seharusnya aku bersikap?
Banyak yang berpikir, menjadi setara berarti menjadi lantang. Bersikap keras, penuh semangat, dan tak ragu menunjukkan ketidaksetujuan pada ketimpangan. Tapi hidup, sering kali, tak menyediakan panggung untuk semua itu. Yang ada justru ruang-ruang sunyi. Ruang makan, grup kerja, percakapan keluarga, dsb.
Dan dalam ruang-ruang itu, kita sering berhadapan dengan pilihan yang rumit. Apakah harus jadi orang yang “berbeda”? Yang menolak peran tradisional, mengoreksi kebiasaan tidak adil, meski risiko mendapat stigma keras kepala atau tidak menyenangkan? Atau sebaliknya, beradaptasi, menyimpan idealisme dalam saku, dan menjalani hidup “seperti biasa”?
Kesetaraan adalah Kerja Harian
Kupikir, menjadi setara tidak selalu soal menjadi paling nyaring. Kadang, itu justru soal menjadi paling sabar. Paling konsisten. Paling tak mau tunduk pada kebiasaan yang melanggengkan ketimpangan, bahkan ketika tak ada yang menonton.
Kesetaraan adalah kerja harian. Memilih tetap menyuarakan ide meski sering terabaikan. Mengajak adikmu membereskan piring tanpa marah, tapi dengan sabar menjadikannya kebiasaan baru. Menolak bercanda seksis. Tidak menyalahkan korban. Dan terus belajar ketika kamu sendiri keliru.
Ia bukan soal sorotan, tapi tentang membentuk pola. Pola kecil yang, ketika terus kita rawat, bisa menggeser sistem besar yang dulu dianggap mustahil berubah.
Seperti yang ada dalam Al-Qur’an:
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’d: 11)
Makna ayat ini menguatkan bahwa perubahan, termasuk menuju kesetaraan, harus kita mulai dari kesadaran dan tindakan diri sendiri, bahkan jika itu sunyi, kecil, dan tak terlihat.
Kita hidup dalam masyarakat yang sering kali berkata: “Sudah begini dari dulu.” Dan dari situlah segala ketimpangan mendapatkan tempat. Dengan dalih “mengalir saja”, kita lupa bahwa arus yang salah tetap bisa kita arahkan ulang. Tapi tentu tidak mudah.
Ruang Aman
Tak semua orang punya ruang aman untuk melawan terang-terangan. Maka perjuangan pun perlu strategi. Bisa lewat pilihan kata, gestur dan kehadiran yang konsisten, meski tak ramai.
Kesetaraan bukan pentas. Ia lebih mirip jalan setapak yang panjang dan sepi, yang hanya bisa tertempuh oleh mereka yang cukup sabar, cukup peduli, dan cukup berani untuk tidak ikut menormalisasi ketimpangan.
Oh iya, kamu tidak harus menyebut dirimu “feminis” kok untuk peduli. Tidak harus mengibarkan slogan untuk ikut memperjuangkan kesetaraan. Bahkan tidak harus terlihat “berbeda” hanya demi dianggap progresif.
Yang penting: apakah kamu memanusiakan manusia lain dengan utuh? Apakah kamu melihat orang lain layak duduk setara di sampingmu, bukan di bawahmu, bukan di belakangmu?
Kesetaraan hidup dalam sikapmu kepada orang terdekat. Dalam cara kamu bicara pada asisten rumah tangga. Caramu merespons pendapat yang berbeda. Dalam keenggananmu untuk menertawakan lelucon yang merendahkan.
Dan mungkin, yang paling penting: dalam cara kamu tidak membiarkan ketimpangan jadi sesuatu yang “biasa-biasa saja”.
“I am not free while any woman is unfree, even when her shackles are very different from my own.”
Audre Lorde
Makna Solidaritas
Kutipan ini memperdalam makna solidaritas dan keberanian diam-diam, bahwa memperjuangkan kesetaraan bukan tentang teriak paling keras, tapi tentang tidak diam ketika ketimpangan menjadi norma.
Kita tidak akan pernah sampai ke dunia yang lebih adil jika kita terus-menerus takut merasa tidak nyaman. Perubahan, sekecil apa pun, sering lahir dari rasa resah. Dari rasa tak rela melihat ketidakadilan terabaikan. Pilihan untuk bertahan meski tak populer. Dari keberanian untuk bilang, “Ini tidak benar,” bahkan saat yang lain memilih diam.
Kesetaraan tidak lahir dari kehendak besar semata, tapi dari keputusan kecil yang terus berulang. Ia bukan teriakan, tapi keteguhan. Bukan pertunjukan, tapi kejujuran.
Dan di dunia yang terus bergerak terlalu cepat, terlalu bising, terlalu performatif, kadang yang paling radikal adalah tetap tenang, tetap sadar, dan tetap setia pada nilai yang kita yakini, bahkan ketika kamu sendirian.
Jadi, haruskah kita berteriak?
Tidak selalu. Tapi jangan pernah berhenti merasa. Jangan pernah berhenti bertanya. Dan jangan pernah berhenti bertindak, sekecil apa pun.
Karena dunia yang lebih setara bukan terbangun oleh mereka yang paling nyaring, tapi oleh mereka yang paling gigih. Yang tidak menyerah dan memilih untuk tidak menganggap ketimpangan sebagai hal yang “wajar-wajar saja”.
Mereka yang berani hidup di tengah sistem yang tak selalu adil, bukan dengan kemarahan yang membakar, tapi dengan keteguhan yang mengakar.
Dan mungkin, itulah bentuk keberanian yang paling utuh. []