Mubadalah.id – Beberapa hari terakhir, masyarakat Indonesia heboh dengan peristiwa memilukan yang terjadi di Padang, Sumatera Barat. Sebuah rumah doa milik Gereja Kristen Setia Indonesia (GKSI) di Kelurahan Padang Sarai diserbu oleh sekelompok orang yang merusak fasilitas dan melakukan kekerasan terhadap anak-anak yang sedang mengikuti kegiatan ibadah.
Dua anak bahkan mengalami luka serius hingga tidak bisa berjalan, sementara puluhan lainnya trauma akibat intimidasi dan kekerasan verbal. Peristiwa yang terjadi pada Minggu sore, 27 Juli 2025, ini menimbulkan keprihatinan mendalam di tengah masyarakat yang selama ini mengaku menjunjung tinggi nilai toleransi dan keberagaman.
Ibadah anak diserang yang seharusnya mendapatkan perlindungan dan rasa aman dalam menjalankan keyakinan justru menjadi korban kekerasan dan intimidasi. Kejadian ini mengingatkan kita pada masalah besar yang masih menggerogoti masyarakat Indonesia. Yakni intoleransi dan pelanggaran kebebasan beragama.
Pihak kepolisian merespons dengan cepat dan menahan sembilan orang yang terduga pelaku kekerasan tersebut. Mereka terjerat dengan sejumlah pasal, seperti Pasal 170 KUHP terkait kekerasan bersama-sama. Pasal 156 KUHP tentang ujaran kebencian, Pasal 175 KUHP soal penghalangan ibadah, dan Pasal 76C Undang-Undang Perlindungan Anak.
Namun, penegakan hukum saja tidak cukup untuk menyelesaikan persoalan ini. Karena hal ini bukan sekadar masalah kriminal, melainkan persoalan nilai kemanusiaan dan hak dasar warga negara untuk beribadah tanpa takut.
Pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan
Menurut data Setara Institute, sepanjang tahun 2024 terjadi sebanyak 260 peristiwa dan 402 tindakan pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia.
Angka ini menunjukkan peningkatan daripada tahun sebelumnya dan memperlihatkan bahwa pelaku intoleransi mayoritas berasal dari masyarakat sendiri, bukan hanya dari kelompok ekstremis atau aparat negara. Hal ini memperlihatkan adanya masalah sistemik dalam penghormatan dan pemahaman terhadap kebebasan beragama dalam masyarakat kita.
Lebih mengkhawatirkan, anak-anak yang menjadi korban kekerasan berbasis agama mengalami dampak psikologis yang mendalam dan bertahan lama. Studi yang terpublikasikan dalam jurnal Child Abuse & Neglect oleh Bottoms, Nielsen, Murray, dan Filipas (2004) mengungkap bahwa kekerasan fisik terhadap anak yang bermotif agama tidak hanya melukai fisik. Tetapi juga menimbulkan gangguan psikologis serius seperti kecemasan, depresi, trauma sosial, dan hilangnya rasa aman dalam menjalankan praktik keagamaan mereka.
Trauma ini dapat memengaruhi perkembangan mental dan emosional anak-anak sehingga berdampak buruk pada kualitas hidup dan hubungan sosial mereka di masa depan.
Hal yang sangat ironis adalah anak-anak tersebut tidak memahami penuh konflik yang terjadi di antara orang dewasa. Mereka datang ke rumah doa untuk belajar dan beribadah, bukan untuk menjadi bagian dari konflik.
Namun, mereka justru menjadi korban atas intoleransi dan kekerasan yang seharusnya tidak pernah terjadi di negara yang menjunjung tinggi Pancasila dan UUD 1945, yang menjamin kebebasan beragama sebagai hak dasar warga negara.
Perlindungan Hukum bagi Rumah Ibadah
Persoalan intoleransi ini bukan hanya tanggung jawab pemerintah dan aparat hukum. Setiap warga negara harus turut serta menciptakan lingkungan yang aman dan inklusif bagi keberagaman. Mayoritas tidak boleh memaksakan kehendaknya dan menghalangi praktik keagamaan minoritas. Semua warga berhak menjalankan ibadah tanpa takut mendapat ancaman atau kekerasan.
Pemerintah harus meninjau kembali regulasi terkait pendirian rumah ibadah agar tidak menjadi alat diskriminasi dan sumber konflik. Aturan seperti SKB 2 Menteri tentang pendirian rumah ibadah harus kita pastikan tidak menghambat hak beragama masyarakat. Perlindungan hukum bagi rumah ibadah, baik yang besar maupun kecil, resmi atau sementara, harus kita tegakkan tanpa kecuali.
Selain itu, pendidikan agama perlu kita reformasi secara menyeluruh agar menanamkan nilai toleransi, empati, dan penghormatan terhadap perbedaan sejak dini. Pendidikan tidak boleh hanya fokus pada hafalan doktrin semata, tapi harus mengajarkan nilai kemanusiaan universal yang mengajarkan pentingnya hidup berdampingan secara damai.
Masyarakat sipil dan komunitas lintas agama juga harus berperan aktif dalam membangun dialog dan kerja sama antar umat beragama. Pembentukan jaringan perlindungan bagi anak-anak korban intoleransi harus kita perkuat agar mereka mendapatkan dukungan psikologis dan sosial yang memadai. Ruang-ruang dialog dan kegiatan bersama antar komunitas bisa menjadi cara efektif untuk membangun pemahaman dan mengurangi prasangka negatif.
Mari Akhiri Intoleransi dan Kekerasan Berbasis Agama
Ketika kita membiarkan anak-anak takut menyebut nama Tuhan di tempat ibadah mereka sendiri, berarti kita gagal sebagai bangsa yang mengklaim diri sebagai negara hukum dan berkeadaban. Kegagalan ini bukan hanya kegagalan pemerintah. Tapi juga kegagalan kita sebagai masyarakat untuk melindungi yang paling rentan dan menegakkan prinsip keadilan serta kemanusiaan.
Sebagai bangsa yang besar dan majemuk, sudah saatnya kita bergerak bersama-sama untuk menghapus intoleransi dan kekerasan berbasis agama dari kehidupan sosial. Perlindungan hak beragama bukan hanya soal hukum. Tapi soal hati nurani yang mengakui bahwa setiap manusia berhak mendapatkan kebebasan dan rasa aman dalam menjalankan kepercayaan mereka.
Masih ada harapan selama kita mau membuka diri, membangun empati, dan menegakkan keadilan bagi seluruh warga tanpa diskriminasi. Masa depan bangsa ada pada bagaimana kita merawat anak-anak hari ini agar mereka tumbuh dalam lingkungan yang damai, inklusif, dan penuh penghormatan terhadap perbedaan. []