Mubadalah.id – “Aku benci buku kertas!” seru Izawa Shaka, tokoh utama dalam novel Si Bengkok karya Ichikawa Saou. Kalimat ini seakan ingin berkata kepada pemmbaca untuk berhenti sejenak untuk mengagumi buku kertas yang tampak indah dan lihat siapa saja yang selama ini terpinggirkan.
Shaka, seseorang difabel fisik dengan congenital myopathy yang membuat tubuhnya melengkung dan rapuh, memaksa kita mempertanyakan kembali cara kita memahami membaca buku. Bagi Shaka dan banyak orang dengan disabilitas fisik, membaca buku kertas bukan sekadar tantangan, melainkan penderitaan. Membuka buku bisa menjadi perjuangan yang menyakitkan. Bahkan, seperti aksi menyakiti diri sendiri.
Si Bengkok dan kritik atas buku
Buku Si Bengkok bukan sekadar kisah fiksi, tetapi sebuah kritik atas anggapan umum bahwa “membaca” harus kita lakukan dengan cara tertentu yaitu dengan duduk tegak, menatap huruf cetak, dan membalik halaman dengan tangan. Sebuah budaya yang ternyata membawa bias ableis, sebuah pandangan bahwa tubuh dan kemampuan fisik tertentu menjadi ukuran utama dalam menilai nilai dan kualitas manusia.
Seringkali, kita tanpa sadar memuja sensasi membaca buku kertas sebagai satu-satunya cara yang “benar” dalam mengapresiasi bacaan kita. Aroma kertas, tekstur halaman, rak buku yang indah, hingga kedekatan emosional dengan benda fisik bernama “buku”.
Saya sendiri pernah menjadi bagian dari kelompok yang percaya akan keagungan buku fisik. Seperti menyukai perasaan tenang saat duduk membaca di pojok kamar, sambil meminum secangkir teh dan cahaya yang temaram. Bahkan mencintai aroma buku-buku tua dan keindahan rak yang penuh sesak dan merasa bangga dengan jumlah buku yang saya miliki.
Namun, setelah membaca buku Si Bengkok, saya melihat kenyataan yang menyakitkan bahwa ternyata semua itu adalah hak Istimewa atau sebuah privilege bagi saya. Saya bisa menikmati semua itu karena tubuh saya memungkinkan untuk membaca buku fisik. Mata saya berfungsi baik, tangan saya bisa menggenggam, punggung saya bisa bertahan duduk selama berjam-jam, dan kaki saya bisa melangkah ke toko buku atau perpustakaan tanpa halangan.
Shaka tidak bisa. Sang penulis, Ichikawa Saou pun tidak bisa. Dan mereka tetap manusia. Tetap ingin belajar, tumbuh, dan mendapatkan ilmu pengetahuan.
Membaca Buku adalah Privilage
Ichikawa Saou, sang penulis Si Bengkok, adalah seorang difabel. Dengan keberanian luar biasa, ia menghadirkan pengalaman yang sangat personal, lewat tokoh Shaka. Buku ini memenangkan Penghargaan Akutagawa ke-169, sebuah penghargaan sastra bergengsi di Jepang.
Namun yang lebih penting dari penghargaan itu adalah bagaimana buku ini mampu mempertanyakan persepsi pembaca tentang siapa yang berhak menikmati literasi melalui buku kertas. Ichikawa tidak menuliskan kisah yang membuat pembacanya nyaman. Ia menulis dengan jelas, jujur dan tanpa basa-basi, tentu dari sudut pandanya sebagai seorang difabel.
Shaka, tokoh dalam novel ini bukan sosok yang harus dikasihani. Sebaliknya, ia keras kepala, pintar, tidak selalu menyenangkan, dan bahkan membuat keputusan yang dianggap “tidak pantas” oleh norma sosial, seperti keinginannya melakukan aborsi. Shaka menggambarkan betapa rumitnya kehidupan penyandang disabilitas, bukan tokoh yang dibuat hanya untuk menarik simpati. Inilah kekuatan Si Bengkok, novel ini tidak menyederhanakan atau mengabaikan kenyataan.
Lebih jauh, novel ini menyoroti bagaimana budaya membaca buku menjadi mainstream dan sering menyingkirkan kelompok difabel. Banyak diskusi tentang pentingnya membaca buku, tapi jarang sekali diskusi-diskusi itu menyertakan suara difabel. Jangankan itu, infrastruktur fisik pun tidak ramah bagi difabel. Toko buku dengan tangga tinggi, perpustakaan dengan rak-rak menjulang yang tak terjangkau oleh kursi roda, dan buku-buku yang hanya tersedia dalam versi cetak.
Sebagian orang mungkin menganggap membaca buku fisik, digital, atau audiobook sebagai soal pilihan. Namun bagi difabel, ini soal akses dan keberlangsungan hidup. Ketika tak ada pilihan, bukan berarti mereka tak punya keinginan. Mereka hanya tidak diberi ruang. Tak diberi kesempatan. Dan di sinilah keangkuhan kita, merasa unggul karena mampu melakukan sesuatu (membaca buku) yang bagi sebagian orang adalah kemewahan.
Literasi bukan hanya soal teks
Ichikawa seolah ingin menyadarkan pembaca dengan bertanya, Apakah kalian sadar telah mengabaikan keberadaan kami dengan mengagung-agungkan cara membaca tertentu?
Pertanyaan ini sederhana, tapi sangat dalam. Kita begitu sering menyamaratakan pengalaman membaca seolah semua orang memiliki kondisi tubuh dan lingkungan yang sama. Kita menyamakan cara menikmati buku dengan satu standar baku, lalu menganggap siapa pun di luar itu sebagai penyimpangan. Padahal, justru di sanalah keberagaman pengalaman manusia muncul.
Aktivitas membaca seharusnya inklusif. Literasi bukan hanya soal teks, tapi juga tentang siapa yang bisa mengakses teks tersebut. Saat kita berbicara tentang “budaya membaca”, apakah kita juga membicarakan braille, audiobook, pembaca layar (screen reader), atau buku-buku bergambar dengan narasi suara untuk difabel netra? Atau kita hanya bicara tentang cafe buku estetik dan target 100 buku per tahun? Sungguh egois sekali ternyata.
Kita perlu menata ulang pemahaman kita tentang buku dan literasi. Bukan dengan meniadakan pengalaman membaca buku fisik, tetapi dengan menyadari bahwa pengalaman itu tidak bisa dijadikan tolok ukur satu-satunya. Literasi bukan milik mata yang terang, tangan yang cekatan, atau tubuh yang kuat. Literasi adalah milik siapa saja yang ingin memahami dunia dan dirinya. Bahkan jika ia membaca lewat suara mesin, mendengarkan cerita lewat headphone, atau menyentuh huruf-huruf timbul di permukaan halaman.
Budaya Membaca yang Inklusif
Si Bengkok layak kita baca bukan karena kenyamanannya, tapi karena keberaniannya. Ia mengajak kita menengok ruang-ruang yang sering luput seperti panti difabel, tubuh yang tidak tegap, suara yang tak terdengar, dan pikiran-pikiran yang terpenjara dalam sistem sosial yang tak kita dengar. Ia menantang kita untuk tidak hanya mencintai buku, tetapi juga memperjuangkan akses yang adil terhadap buku bagi siapa pun.
Karena pada akhirnya, literasi yang sejati bukan soal siapa paling banyak baca, siapa paling cepat menamatkan buku, atau siapa punya koleksi terbanyak. Literasi sejati adalah soal siapa yang bisa masuk ke ruang perpustakaan. Soal siapa yang tak dibiarkan tertinggal karena tubuhnya Istimewa dari yang lainnya. Soal siapa yang tidak lagi dibungkam oleh budaya baca yang angkuh dan tidak inklusif.
Si Bengkok adalah ajakan untuk membengkokkan cara pikir kita yang kaku. Agar literasi benar-benar menjadi milik semua orang, tanpa syarat fisik tertentu. []