Mubadalah.id – 80 tahun sudah Indonesia merdeka. Sejak proklamasi 17 Agustus 1945, bangsa ini menapaki jalan panjang menuju cita-cita untuk merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Namun, menjelang usia delapan dekade kemerdekaan, pertanyaan mendasar adalah: apakah kemerdekaan ini benar-benar telah dinikmati semua warga?
Di tengah geliat pembangunan, masih ada kelompok rentan yang belum sepenuhnya merasakan buah kemerdekaan. Ya mereka adalah perempuan, anak, masyarakat adat, serta penyandang disabilitas.
Dari titik inilah perspektif mubadalah dan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) menawarkan cara pandang baru yaitu merdeka bukan hanya urusan negara, tetapi juga bagaimana relasi sosial berjalan adil, setara, dan saling meneguhkan.
Kemerdekaan dalam Kacamata Mubadalah dan KUPI
Dalam perspektif mubadalah, kemerdekaan tidak boleh dipahami hanya sebatas terbebas dari penjajahan bangsa asing. Melainkan, kemerdekaan harus hadir dalam relasi sehari-hari—antara suami dan istri, orang tua dan anak, negara dan warga, masyarakat mayoritas dan minoritas.
Menurut Faqihuddin Abdul Kodir, penggagas perspektif mubadalah, “kemerdekaan berarti memastikan tidak ada satu pihak pun yang terpinggirkan. Sebuah keluarga tidak bisa disebut merdeka jika istri dikungkung, anak ditindas, atau orang dengan disabilitas disisihkan. Begitu juga negara tidak bisa disebut merdeka jika kebijakan hanya menguntungkan kelompok kuat.”
Dengan kacamata ini, usia 80 tahun Indonesia merdeka seharusnya menjadi momentum refleksi bagi kita semua, apakah pembangunan sudah berorientasi pada keberpihakan kepada yang paling rentan?
Sementara itu, Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI), sejak berdiri tahun 2017, terus menggaungkan kemerdekaan perempuan sebagai bagian tak terpisahkan dari keadilan sosial.
Dalam berbagai fatwa sosialnya, KUPI menegaskan bahwa kekerasan seksual, perusakan alam, hingga perkawinan anak adalah bentuk penjajahan baru yang harus dihapuskan.
“Bagi kami, merdeka itu bukan hanya upacara bendera. Merdeka adalah saat perempuan bisa belajar, bekerja, dan beribadah tanpa rasa takut,” ungkap Nyai Hj. Badriyah Fayumi, ketua Majelis Musyawarah (MM) Keagamaan KUPI.
Dengan tafsir progresif, KUPI menegaskan bahwa Islam menempatkan perempuan sebagai subjek kemanusiaan yang setara. Sehingga, perjuangan melawan diskriminasi gender adalah kelanjutan dari perjuangan kemerdekaan bangsa.
80 Tahun: Saatnya Merdeka dari Ketidakadilan
Jika pada 1945 bangsa Indonesia berjuang melawan kolonialisme asing. Maka pada 2025 tantangan yang bangsa kita hadapi adalah penjajahan baru yaitu kemiskinan, kekerasan, ketimpangan gender, diskriminasi, hingga krisis ekologis.
Di banyak desa pesisir, perempuan masih kesulitan mengakses tanah dan sumber daya alam. Di perkotaan, buruh perempuan harus bekerja dengan jam panjang tanpa jaminan kesejahteraan yang memadai.
Sementara itu, kelompok perempuan penyandang disabilitas menghadapi diskriminasi berlapis, baik dalam pendidikan, pekerjaan, maupun layanan kesehatan.
Dalam perspektif mubadalah, semua ini adalah ketidakmerdekaan yang harus kita hapuskan. Negara tidak cukup hanya bangga dengan jalan tol baru atau infrastruktur megah.
Karena sejatinya, kemerdekaan hanya terwujud ketika penyandang disabilitas menikmati semua pelayanan kesehatan, pendidikan dan pekerjaan, tidak ada lagi perempuan dan anak yang jadi korban kekerasan serta masyarakat adat bisa menjaga hutan tanpa takut dirampas.
Jalan Panjang Menuju 100 Tahun Indonesia
Oleh sebab itu, memasuki 80 tahun kemerdekaan, Indonesia memiliki waktu dua dekade menuju satu abad. Pertanyaan besar muncul: akan jadi seperti apa wajah Indonesia pada 2045?
Dari perspektif mubadalah dan KUPI, jawaban itu bergantung pada seberapa serius bangsa ini memastikan keadilan bagi semua. Bukan hanya keadilan di atas kertas hukum, tetapi keadilan yang hidup di rumah, sekolah, pasar, hingga rumah ibadah.
“Indonesia merdeka bukan milik segelintir orang. Ia adalah milik semua, termasuk mereka yang selama ini dianggap kecil. Jika negara gagal melindungi kelompok rentan, maka kita gagal merdeka,” kata Ibu Nur Rofiah, Bil.Uzm.
Maka dari itu, delapan puluh tahun merdeka seharusnya menjadi refleksi kita bersama. Bahwa kemerdekaan adalah proyek bersama, bukan hanya proyek negara. Ia hidup dalam relasi keluarga, komunitas, hingga kebijakan publik.
Perspektif mubadalah mengajarkan bahwa relasi yang adil adalah relasi yang saling menyejahterakan. KUPI menegaskan bahwa suara perempuan adalah bagian dari nadi perjuangan bangsa.
Maka, pada peringatan 80 tahun kemerdekaan, bangsa ini ditantang untuk memastikan agar jangan sampai kemerdekaan hanya menjadi seremonial. Tetapi benar-benar hadir sebagai ruang hidup yang adil, aman, dan setara bagi semua warganya. []