Berawal dari seringnya mendengar obrolan-obolan dari beberapa teman perempuan, yang menjalani kehidupan pribadinya di bawah bayang-bayang tuntutan sosial yang kerap menekan. Misal saja dalam urusan menikah. Tak jarang seseorang yang memutuskan menikah bukan karena pilihan dari hati nuraninya, alih-alih siap secara lahir dan batin. Melainkan intervensi yang datang dari luar dirinya.
Apakah hal tersebut salah? Yah bukan perihal salah atau benar. Sebab di lain sisi kita tak pernah berada pada posisi orang lain, begitu pun sebaliknya.
Namun, alangkah baiknya jika hal tersebut menjadi refleksi bersama. Andai kita sendiri tidak nyaman dengan perlakuan orang lain yang menuntut atau bahkan mendikte pilihan hidup kita harus begini dan begitu, apakah kita masih akan memperlakukan orang lain sebagaimana perlakuan yang kita dapatkan tersebut?
Secara, latar belakang setiap orang tentu saja berbeda. Menyamaratakan atau memaksakan standar ideal menurut diri kita ke orang lain, sama halnya dengan dzolim. Sebab, setiap kondisi itu berbeda. Tentunya, standar hidup tidak sama dengan standar motor.
Sebagaimana bunyi QS. At-Taubah [9]: 71 yang artinya, “Orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, adalah saling menolong satu kepada yang lain dalam menyuruh kebaikan, melarang kejahatan, mendirikan sholat, mengeluarkan zakat, dan menaati Allah dan Rasul-Nya. Mereka akan dirahmati Allah. Sesunguhnya, Allah Maha Kuat dan Maha Bijaksana.
Singkatnya, ayat tersebut berupaya mengajak semua umatnya untuk saling menolong, melakukan kebaikan, dan melarang berbuat kejahatan. Pun bisa dimaknai, agama tidak mengajarkan umatnya untuk saling memaksakan kehendak atas pilihan hidup orang lain. Dengan catatan, sebagaimana nilai-nilai Islam, apa pun itu, asal tidak untuk merugikan, menyakiti, atau bahkan mengambil hak orang lain.
Sedangkan, belum lama ini, seorang teman saya bercerita mendapat pesan WhatsApp dari seorang teman laki-lakinya. “Kamu lho kok S2, nanti susah dapet jodoh, lho,” pesannya.
Jujur saja, sekilas saya teringat dengan film yang berjudul Cinta Suci Zahrana yang pernah saya tonton pada masa Madrasah Aliyah. Usai nonton film tersebut, seketika, keinginanku menempuh jenjang pendidikan hingga S2 pun luntur. Seolah film Cinta Suci Zahrana mendoktrin kalau perempuan berpendidikan tinggi sulit menemukan jodoh, sebab akan banyak laki-laki yang minder.
Narasi yang dibangun pun, sebaik apa pun pendidikan dan karir seorang perempuan, tapi kalau masih single dan belum menikah, tetap akan dipandang sebelah mata. Seolah-olah hanya menjadi aib bagi keluarga. Sampai-sampai, temanku pun ada yang mengeluarkan pernyataan kalau cukup sampai S1 saja. Misal ingin melanjutkan sampai S2, itu pun usai menikah. Dengan catatan, jika suaminya kelak mengijinkan.
Apakah dengan menjadi perempuan, lantas tidak diperbolehkan menempuh jenjang pendidikan formal yang lebih tinggi? Tentu, agama tak pernah melarang hal tersebut. Justru, menuntut ilmu hukumnya wajib. Sebagaimana bunyi hadis yang artinya, “Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim” (HR. Ibnu Majah no. 224).
Nah, yang dimaksud muslim di sini adalah laki-laki dan perempuan. Selain itu, ada pula hadis yang mengatakan bahwa “Tuntutlah ilmu dari ayunan hingga liang lahat”. Artinya, menuntut ilmu itu tidak ada batasnya, sampai kapan pun, selama masih hidup. Ya, baik melalui jalur formal maupun non-formal.
Di sisi lain, pendidikan merupakan hak segala bangsa. Sebagaimana dalam Undang- Undang Dasar 1945 Pasal 31 ayat (1) setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. Jelas, perempuan pun termasuk warga negara.
Lantas, apakah agama menetapkaan kalau laki-laki harus berpendidikan formal lebih tinggi dari perempuan? Tentu saja tidak. Sebab kesempatan, kondisi, latar belakang, maupun jalan masing-masing orang pun berbeda. Tidak lantas karena laki-laki, harus lebih unggul dari perempuan, atau bahkan sebaliknya. Sehingga menjadikan perempuan mengurungkan niatnya untuk melanjutkan pendidikan formalnya, dan membuat laki-laki menjadi minder dengan perempaun yang memiliki status pendidikan lebih tinggi.
Yang ingin saya tanyakan, apakah tujuan menikah itu untuk membangun relasi atasan dan bawahan? Yang mana, laki-laki harus selalu di atas, superior, dominan, selalu menjadi pengayom, sedangkan perempuan hanyalah sebagai pelengkap, pendamping, penurut, pemenuh saja, dan lain-lain itu?
Sebagaimana yang tertulis dalam buku Qiro’ah Mubadalah karya KH Faqihuddin Abdul Kodir, dalam QS. Ar-Ruum [30]: 21, maka manusia secara umum cenderung mencari dan menemukan pasangan demi memperoleh ketenteraman (sakinah) darinya. Seorang laki-laki yang menikahi perempuan, berharap akan merasa tenteram dengannya, nyaman untuk memadu cinta kasih (mawaddah wa rahmah), dan mudah mencari kebahagiaan dalam mengarungi kehidupan di dunia.
Hal yang sama juga, secara mubadalah terjadi pada perempuan yang menikahi laki-laki, untuk memperoleh ketenangan, ketenteraman, serta kebahagiaan bersama pasangan yang menjadi suaminya dalam menjalani kehidupan yang begitu komplek.
Artinya, tujuan berumah tangga ialah untuk membangun relasi yang setara, egaliter, saling bekerja sama, tentunya dengan mengupayakan diskusi dan saling bernegosiasi. Sedangkan, tujuan dari menuntut ilmu atau belajar, baik formal maupun nonformal, bukan untuk mengerdilkan orang lain. Melainkan untuk berproses menjadi manusia yang manusia. Dan, medan pertama untuk mengamalkan nilai-nilai kemanusiaan itu pun ada di dalam rumah tangga.
Jelasnya, menuntut ilmu itu wajib. Sedangkan menikah itu mubah (diperbolehkan). Selain itu, hukumnya pun bisa menjadi wajib, haram, shunnah, makruh, semuanya itu tergantung dengan situasi dan kondisi yang ada.
So, tak heran jika masih banyak kalangan, terutama perempuan yang pada akhirya memutuskan menikah dan mengurungkan niatnya untuk melanjutkan pendidikan karena tuntutan sosial. Atau untuk menghindari stigma negatif yang tak jarang kita jumpai. Ya, begitu lah hidup di tengah kultur yang masih patriarkhi ini.
Maka, saling mengedukasi guna mengubah pola pikir yang hanya menyudutkan pihak lain merupakan tugas kemanusiaan yang perlu diikhtiarkan bersama. Pastinya, apa pun pilihan hidup orang lain, kita harus belajar untuk saling menghargai. Apalagi jika hal tersebut tidak merugikan orang lain, bahkan tidak pula membuat kita tak bisa makan.
Bukankah menjalani kehidupan yang hanya untuk memenuhi tuntutan sosial menjadikan kita tidak ikhlas? Walhasil, berpengaruh pula pada kesehatan psikis karena tekanan dan tuntutan di luar batas kemampuan yang kita miliki. Wallahua’lam. []