Mubadalah.id – Perkembangan teknologi digital telah membawa perubahan besar hampir semua aspek kehidupan, termasuk bagaimana cara manusia berkomunikasi, berinteraksi, bahkan beragama. Media sosial menjadi ruang baru yang tidak hanya berfungsi sebagai sarana hiburan, namun juga sebagai arena pembentukan opini, pertarungan wacana, hingga ladang dakwah.
Dalam konteks ini, santri era digital sebagai generasi yang tertempa dengan nilai-nilai agama dan tradisi keilmuan pesantren, memiliki tantangan sekaligus peluang untuk hadir aktif di ruang digital.
Kita hidup di era di mana informasi bertebaran dengan sangat cepat. Menurut laporan We Are Social 2024, lebih dari 167 juta penduduk Indonesia menggunakan media sosial aktif setiap hari. Angka ini setara dengan 60,4 persen dari total populasi. Artinya, media sosial kini menjadi ruang publik yang paling ramai daripada pasar tradisional, majelis taklim, atau forum-forum lainnya.
Namun, derasnya arus informasi ini juga menimbulkan masalah. Tidak sedikit konten keagamaan di media sosial yang justru terpenuhi narasi kebencian, provokasi, atau klaim kebenaran tunggal. Banyak akun dakwah yang lebih mengutamakan sensasi daripada substansi, mengejar popularitas daripada keberkahan ilmu. Akibatnya, media sosial yang seharusnya bisa menjadi ruang pencerahan justru kadang berubah menjadi arena pertikaian.
Fenomena ini menunjukkan bahwa ruang digital memang tidak netral. Jika tidak terisi oleh suara dakwah yang ramah, adil, dan moderat, maka ia akan dikuasai oleh wacana keagamaan yang eksklusif dan diskriminatif. Di sinilah peran santri menjadi sangat penting.
Mengapa Santri Harus Melek Digital?
Santri selama ini identik dengan kitab kuning, halaqah, dan kegiatan keilmuan tradisional. Tradisi ini tidak boleh ditinggalkan, sebab semua itu adalah ruh pesantren. Namun, di saat yang sama, santri juga dituntut untuk adaptif dengan perkembangan zaman. Melek digital bukan berarti meninggalkan kitab, melainkan meluaskan cakrawala dakwah agar ilmu pesantren bisa menjangkau masyarakat yang semakin akrab dengan gawai dan internet.
Menurut Azyumardi Azra, salah satu tantangan pendidikan Islam di abad ke-21 adalah bagaimana lembaga tradisional seperti pesantren mampu menjawab tantangan zaman. Salah satunya bertransformasi dengan teknologi. Jika santri tidak melek digital, maka pesantren akan tertinggal dan dakwah akan terpinggirkan.
Lebih jauh, kemampuan digital bagi santri juga menjadi modal untuk meneguhkan peran mereka sebagai agen perubahan sosial. Santri bukan hanya penerima ilmu, melainkan juga pewaris tradisi intelektual Islam yang harus berkontribusi pada kemaslahatan umat. Tanpa keterampilan digital, suara santri hanya akan bergema di dalam pesantren, tetapi tidak sampai ke ruang publik yang lebih luas.
Mengapa Dakwah Harus Hadir di Media Sosial?
Dakwah pada dasarnya adalah menyampaikan nilai-nilai kebaikan dengan cara yang bijak, sebagaimana firman Allah dalam QS. An-Nahl:125: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik.” Prinsip hikmah dan mau’izhah hasanah ini harus kita terjemahkan dalam konteks kekinian, yakni dakwah yang memanfaatkan sarana digital.
Media sosial memungkinkan pesan dakwah menjangkau jutaan orang dalam waktu singkat. Jika dulu kiai atau santri hanya bisa menyampaikan tausiyah di majelis taklim dengan audiens terbatas, kini satu video dakwah di TikTok atau Instagram bisa ditonton oleh ribuan bahkan jutaan orang. Dengan demikian, dakwah tidak lagi terbatas ruang dan waktu.
Selain itu, dakwah di media sosial juga lebih interaktif. Santri bisa berdialog langsung dengan audiens, menjawab pertanyaan, bahkan meluruskan kesalahpahaman secara real time. Inilah keuntungan besar yang tidak bisa didapatkan dari metode dakwah konvensional.
Membutuhkan Strategi dan Visi yang Jelas
Hadir di media sosial bukan berarti asal hadir. Dakwah digital membutuhkan strategi dan visi yang jelas. Ada tiga hal utama yang perlu kita tekankan. Pertama, dakwah harus mengedepankan nilai-nilai rahmatan lil alamin, kasih sayang, keadilan, dan kemanusiaan. Ini penting agar dakwah tidak terjebak pada ujaran kebencian atau polarisasi.
Kedua, dakwah harus kontekstual. Artinya, pesan yang disampaikan harus sesuai dengan kebutuhan masyarakat digital. Misalnya, isu kesehatan mental, lingkungan, kesetaraan gender, atau moderasi beragama. Dakwah yang hanya mengulang-ulang tema klasik tanpa dikaitkan dengan realitas kekinian akan sulit diterima generasi muda.
Ketiga, dakwah digital harus kreatif. Konten singkat, visual menarik, atau podcast interaktif bisa menjadi sarana efektif untuk menyampaikan pesan keagamaan tanpa kehilangan substansi. Dengan ketiga prinsip ini, dakwah santri akan lebih mampu menjawab kebutuhan umat sekaligus tetap menjaga nilai-nilai keilmuan pesantren.
Tantangan Dakwah di Media Sosial
Namun, peluang ini juga disertai tantangan besar. Pertama, muncul budaya instan yang membuat sebagian pendakwah lebih mementingkan popularitas, jumlah like, views, dan followers, daripada substansi dakwah. Akibatnya, pesan agama sering tereduksi menjadi hiburan.
Kedua, risiko misinformasi dan hoaks sangat tinggi. Tanpa literasi digital dan tabayyun, umat mudah tersesat pada informasi keagamaan yang keliru. Ketiga, dakwah harus bersaing dengan narasi populer lain yang lebih menarik secara visual, meski tidak bermanfaat. Keempat, algoritma media sosial cenderung memprioritaskan konten sensasional, sehingga banyak konten dakwah berkualitas tenggelam di balik hiburan.
Karena itu, dakwah santri era digital seharusnya tidak sekadar hadir, melainkan hadir dengan strategi matang dan penuh tanggung jawab. Dakwah digital harus tetap berpijak pada akhlak, ilmu yang mendalam, dan kesabaran belajar khas pesantren. Santri juga harus teliti, melakukan tabayyun, dan menggunakan sumber rujukan kredibel agar dakwah menjadi oase pengetahuan di tengah beragamnya penyebaran informasi di ruang digital.
Membentuk Wajah Islam yang Ramah, Adil, dan Membebaskan
Jika santri mampu menjawab tantangan digital dengan serius, mereka tidak hanya menjaga keberlangsungan dakwah, tetapi juga berkontribusi dalam membentuk wajah Islam yang ramah, adil, dan membebaskan. Pesantren tidak boleh hanya menjadi pusat ilmu, tetapi juga pusat kreativitas digital yang melahirkan dai muda visioner.
KH Sahal Mahfudz menekankan pentingnya fiqih sosial, yakni fiqih yang menjawab persoalan nyata umat. Dalam konteks digital, dakwah santri harus menjadi dakwah sosial yang menyapa umat dengan wajah Islam yang menenangkan, bukan menakutkan, yang merangkul, bukan mengucilkan.
Perspektif kesalingan memberi arah penting bagi dakwah digital. Dakwah tidak seharusnya kita pahami sebagai proses satu arah, melainkan dialog yang saling memperkaya. Santri bukan hanya penyampai, tetapi juga pendengar, bukan hanya guru, namun juga murid kehidupan. Dengan semangat kesalingan ini, dakwah digital dapat menghadirkan nilai keadilan gender, kesetaraan, dan kemanusiaan universal.
Inilah dakwah santri yang dibutuhkan di era digital. Berakar pada tradisi pesantren, kreatif dalam strategi, dan berlandaskan kesalingan dalam relasi. []