Mubadalah.id – Delapan tahun sudah Nabi Muhammad Saw bermukim di Madinah. Selama berada di kota ini, beliau telah berhasil menarik hati ribuan pengikut dan simpatisan. Tak ada pemaksaan untuk itu. Kepribadian beliaulah yang menarik hati penduduk Madinah. Suatu hari, tiba-tiba Nabi rindu menengok Makkah, kampung halaman tempatnya dilahirkan dan dibesarkan.
Saat hendak meninggalkannya (hijrah), beliau sempat berdoa sambil memandang Ka’bah, memohon kepada Allah agar bisa kembali.
Nabi diikuti para pengikutnya yang diperkirakan berjumlah 10.000 berangkat menuju Makkah. Setelah menempuh perjalanan panjang, mengarungi padang pasir di bawah sengatan terik matahari dan mendaki gunung gemunung cadas beliau sampai di perbatasan Makkah.
Sebagian sejarawan memperkirakan itu terjadi pada akhir Desember tahun 630 M. Ini sebuah perjalanan panjang dan berhari hari yang amat melelahkan tetapi juga penuh harapan indah.
Di suatu tempat dekat Bait al-Haram, Nabi bertemu para pemimpin kafir Quraisy, yang dikelilingi para pengikut mereka. Kedua kelompok yang bermusuhan itu kini saling berhadapan langsung, head to head.
Kelompok yang dipimpin Nabi kini tampak jauh lebih besar, lebih kuat dan solid, bersatu. Sementara kelompok kafir Quraisy, pimpinan Abu Sufyan, tampak lemah, rapuh dan terpecah-pecah.
Para pembesar kafir Quraisy terhenyak dan terbelalak dengan dada berdegup kencang. Mereka melihat dengan mata kepala, Muhammad bin Abdullah yang tengah duduk di atas untanya itu tampak begitu gagah dan amat berwibawa. Ia diiringi ribuan pasukan yang siap menunggu perintahnya.
Perlawanan kafir Quraisy terhadap Muhammad Secara logika tentu saja tak mungkin dilakukan karena mereka sangat lemah dalam banyak hal. Mereka tak akan berani melawan Muhammad.
Orang-orang Quraisy itu sekarang dalam genggaman tangan dan di bawah telapak kaki sang Nabi. Para pengikutnya akan mematuhi apapun yang ia perintahkannya. Nyawa kaum kafir Quraisy itu kini tergantung di ujung bibirnya. Ribuan pengikutnya akan dapat dengan mudah memenggal kepala mereka jika Nabi memerintahkan.
Mulia
Nabi tampak begitu mulia dan anggun sekali. Matanya menatap satu satu lawan yang dulu sangat membencinya itu. Kepada mereka, dengan suaranya yang tenang dan sikapnya yang anggun penuh pesona, beliau mengatakan:
Menurut kalian, apakah kira-kira yang akan aku lakukan terhadap kalian?
Mereka saling menatap dengan dada bergemuruh. Sebagian yang lain menundukkkan kepalanya dalam diam, tak berkutik. Kaki mereka terasa lunglai. Untuk beberapa saat suasana pertemuan dua musuh bebuyutan itu begitu sepi dan tegang.
Tak ada kata-kata yang terlontar. Pikiran mereka melayang-layang, kembali ke masa lalu, ketika Nabi masih bersama mereka. Bahkan, terbayang di mata mereka kata-kata kasar, sumpah serapah, penghinaan, caci maki dan stigmatisasi berhamburan dari mulut mereka kepada Muhammad dan para pengikutnya.
Kemudian, terbayang pula bagaimana kekerasan demi kekeyasan setiap hari mereka lakukan terhadap Muhammad dan para pengikutnya. Rencana aksi jahat, politik isolasi, pemiskinan dan upaya pembunuhan terhadap orang yang kini di hadapan mereka, masih tampak sangat jelas di pelupuk matanya. Sesekali mata mereka melihat Nabi, sang “musuh” itu.
Oh, Wajahnya masih bening, bercahaya dan tampan, senyumnya masih tetap selalu mengembang manis seperti dulu, beberapa tahun lalu. Bahkan, Muhammad begitu anggun dan penuh kharisma. []