Mubadalah.id – Mata saya terasa panas setelah keluar dari bioskop. Bukan karena lampu yang terlalu terang, melainkan karena film yang baru saya saya tonton “Andai Ibu Tidak Menikah dengan Ayah,” berhasil mengaduk-aduk emosi dan memaksa saya untuk merenung. Film ini bukan sekadar cerita fiksi, melainkan cermin yang jujur, memperlihatkan bagaimana satu piihan hidup seorang perempuan bisa berujung pada luka yang terwariskan dari generasi dan generasi.
Kisah ini dibuka dengan perkenalan pada Alin, seorang mahasiswi kedokteran cerdas yang bergantung beasiswa untuk meraih mimpinya. Hidupnya yang terstruktur dan penuh harapan tiba-tiba goyah ketika ia harus kembali ke rumah. Alih-alih menemukan tempat yang nyaman dan damai, Alin berhadapan dengan kenyataan yang rapuh dan menyakitkan. Keluarganya, yang selama ini ia anggap baik-baik saja, ternyata sedang hancur perlahan.
Ayahnya Tio, adalah seorang sosok yang secara fisik ada, namun secara emosional dan finansial absen. Kehadirannya jarang, dan ketika pulang, ia hanya membawa beban, bukan solusi. Wajah ibunya, Wulan, yang seharusnya terpenuhi kebahagiaan, kini diwarnai lelah dan kecemasan. Beban keluarga sepenuhnya berada di pundaknya.
Di tengah kesulitan itu, Alin menyadari bahwa bukan hanya dia yang terdampak. Kakaknya, Anis, harus mengubur mimpi kuliahnya, sementara adiknya, Asya, harus menunda sekolah demi membantu Wulan. Pemandangan ini memicu kebingungan dan kekecewaan yang mendalam dalam diri Alin. Mengapa keluarga mereka menjadi seperti ini? Mengapa sang ibu harus berjuang seberat ini, sementara sang ayah tidak ada di sisi mereka?
Buku Harian: Menembus Tabir Masa Lalu
Titik balik film ini terjadi saat Alin menemukan buku harian ibunya. Di sana, ia melihat Wulan muda yang adalah seorang calon dokter. Namun, Wulan memilih mengubur mimpinya demi menikah dengan Tio. Melalui tulisan Wulan, Alin dapat melihat bahwa pilihan ibunya bukan hanya didorong oleh cinta, tetapi juga oleh harapan gender yang menempatkan perempuan dalam posisi yang rentan.
Wulan menggantungkan masa depan dan kebahagiaannya pada sosok laki-laki, sebuah narasi yang umum terjadi dalam masyarakat kita. Ia percaya bahwa dengan Tio yang “tampak mapan,” ia tidak perlu lagi berjuang untuk kemandiriannya sendiri.
Penemuan ini memicu pertanyaan yang menghantui Alin: “Andai Ibu tidak menikah dengan Ayah, apakah hidupnya akan lebih baik?” Pertanyaan ini adalah cerminan dari kegelisahan banyak anak yang melihat penderitaan orang tua mereka.
Kritik Sosial dan Peran Gender
Film Andai Ibu Tidak Menikah dengan Ayah ini bukan sekadar kisah sedih, melainkan sebuah kritik sosial yang tajam. Film ini menunjukkan bagaimana ekspektasi gender sering mendorong perempuan untuk mengorbankan impian demi pernikahan. Wulan, yang sebenarnya kuat, terjebak dalam peran istri dan ibu sebagai satu-satunya sumber kebahagiaan.
Perjuangannya sebagai “pahlawan tanpa tanda jasa” tidak seharusnya dianggap normal, karena ia harus menanggung semua beban sendirian. Film ini juga mengingatkan kita bahwa luka batin bisa terwariskan.
Kegagalan Tio untuk bertanggung jawab menciptakan luka yang mendalam bagi Wulan dan anak-anaknya, Alin, Anis, dan Asya. Hal ini menunjukkan bahwa konsekuensi dari sebuah keputusan bisa memengaruhi seluruh generasi.
Pesan Mendalam “Andai Ibu Tidak Menikah dengan Ayah”
Film ini menyampaikan pesan kuat tentang pilihan hidup dan konsekuensinya. Dari kisah Wulan, kita belajar bahwa kebahagiaan sejati tidak bisa kita gantungkan pada orang lain, apalagi pada janji yang tak pasti. Pernikahan yang sehat membutuhkan kemitraan yang setara, di mana kedua belah pihak saling memberi dan bertanggung jawab.
Lebih dari itu, film ini mengingatkan kita bahwa luka batin bisa terwariskan. Keputusan orang tua, baik yang kita sadari maupun tidak, dapat memengaruhi kehidupan anak-anak mereka. Oleh karena itu, pentingnya dialog antargenerasi dan saling memahami menjadi kunci untuk memutus siklus penderitaan.
Pada akhirnya, “Andai Ibu Tidak Menikah dengan Ayah” adalah seruan untuk berani berdikari, tidak takut mengambil kendali atas hidup, dan membangun hubungan yang sehat dan setara. []