Mubadalah.id – Hari-hari terakhir ini media mengabarkan, ada gelombang protes besar di Nepal yang melahirkan sejarah baru. Para demonstran muda anti-korupsi dilaporkan menggunakan platform Discord untuk menggelar pemungutan suara kilat dalam menentukan perdana menteri interim mereka.
Hasilnya, mantan Ketua Mahkamah Agung Nepal, Sushila Karki (73), terpilih sebagai perdana menteri perempuan pertama di negeri Himalaya itu. Karki akan memimpin pemerintahan sementara usai jatuhnya kabinet KP Sharma Oli yang tumbang akibat unjuk rasa berdarah terkait korupsi dan nepotisme.
Adapun Nepal dijadwalkan menggelar pemilu pada 5 Maret 2026 untuk menentukan perdana menteri definitif. Hingga saat itu, Karki mereka percaya memegang kendali negara.
Pelantikan Karki sebagai PM interim dipandang sebagai simbol perlawanan terhadap korupsi dan nepotisme yang membelit negeri Himalaya itu. Dukungan besar dari generasi muda memperlihatkan adanya dorongan kuat untuk reformasi politik di Nepal.
Mengutip India Today, Minggu (14/9/2025), Karki adalah sosok hakim yang terkenal berani dan tegas terhadap isu terorisme serta korupsi. Dia mendapat dukungan besar dari kelompok anak muda, khususnya generasi Z.
Salah satunya dari komunitas “We Nepali Group” yang mendorong namanya setelah ribuan pemuda turun ke jalan menuntut perubahan dan kebebasan digital. Dalam sebuah pertemuan akbar yang menghadirkan lebih dari 5.000 anggota, mayoritas suara bulat mendukung Karki sebagai pemimpin baru.
Siapa Sushila Karki?
Melansir dari kanal cnbc Indonesia, Sushila Karki bukan nama asing di panggung hukum Nepal. Ia menjabat sebagai Ketua MA pada 2016, sekaligus menjadi perempuan pertama yang menempati posisi itu. Selama kariernya, ia banyak menangani kasus sensitif, mulai dari vonis korupsi menteri aktif hingga putusan penting soal hak kewarganegaraan perempuan.
Salah satu langkah besarnya adalah ketika ia memimpin sidang yang menjatuhkan hukuman kepada Jay Prakash Gupta, Menteri Teknologi Informasi kala itu, pada 2012. Vonis tersebut tercatat sebagai pertama kalinya seorang menteri aktif dipenjara karena korupsi di Nepal.
Tak jarang, keputusannya membuat hubungan panas dengan eksekutif. Pada 2017, koalisi parlemen sempat mengajukan mosi pemakzulan terhadap dia karena dianggap terlalu ikut campur, terutama dalam perselisihan soal pengangkatan Kepala Polisi.
Karki memulai karier hukum sebagai advokat di Biratnagar pada 1979. Ia juga memiliki kedekatan dengan India. Gelar master ilmu politik ia raih dari Banaras Hindu University (BHU), Varanasi, pada 1975. Di kampus itu, ia bukan hanya mendalami akademik, tapi juga aktif dalam kegiatan budaya.
Revolusi Digital
Apa yang terjadi beberapa hari terakhir di dunia, baik di Nepal maupun Indonesia melalui tuntutan 17+8 seakan mengamini apa yang Frans Budi Hardiman sampaikan melalui bukunya “Aku Klik Maka Aku Ada; Manusia dalam Revolusi Digital.”
Menurutnya demokrasi di era digital adalah interaktivias antara teks media sosial dan orasi di jalan yang segera menghasilkan kepalan tangan dan amarah yang sebelum era ini membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk mendidih.
Alasan dan motivasi untuk membangun solidaritas kemanusiaan atau menyerang pihak lain tidak berasal dari kepala manusia sendiri, melainkan hasil buatan algoritma media-media sosial yang secara otomatis memecah masyarakat menjadi kawan dan lawan.
Di era kita ini, ketika semua orang tampaknya dapat menjadi subjek dan pelaku sejarah, orang justru sekaligus menjadi objek manipulasi mesin dan pelaksana perintah sistem komunikasi.
Akhirnya, yang perlu kita ingat, revolusi digital tidak menghapus subjek komunikasi, juga tidak membawa manusia pada penindasan atau perbudakan. Meskipun memang revolusi ini dapat menyebabkan perpecahan.
Namun, seperti Rafael Capurro katakan bahwa komunikasi digital seharusnya membawa kita pada “ketimbalbalikan dan kewajiban-kewajiban satu sama lain.” Artinya, homo digitalis adalah makhluk moral yang mencari kebenaran dan keadilan melalui komunikasi digital. Ia mudah terluka, bahkan juga oleh kata-kata.
Evolusi Peradaban Digital
Dalam telepresensi bela rasa, Frans Budi Hardiman menambahkan, menjadi mungkin dengan membayangkan wajah-wajah konkrit. Bukan sekadar pesan-pesan anonim. Keasingan dan ketakberwajahan kontak digital dapat kita kurangi jika kita membayangkan suatu wajah konkret di seberang sana yang membutuhkan pertolongan. Entah itu untuk kita sapa, diteguhkan, diperingatkan atau dicerahkan sebagai sesama warganet.
Dengan berkurangnya alienasi, komunikasi digital makin berpeluang untuk menjadi manusiawi. Pengguna tidak membiarkan dirinya menjadi semacam ikan Paus Orca yang memangsa pihak lemah dalam komunikasi.
Kita bisa melihat masa depan yang jauh. Brutalitas komunikasi digital tentu merupakan bentuk primitif homo digitalis yang masih harus memperbaiki diri melalui evolusi peradaban digital.
Cerita dari Nepal telah mampu membuktikannya. Indonesia entah kapan, selama masih ada kelompok buzzer yang nir empati dan mengabaikan etika berinternet, evolusi peradaban digital di Indonesia rasanya masih seperti mimpi di siang bolong. Aku masih ragu bakal terjadi, bagaimana dengan kamu? []