Mubadalah.id – Rektor Institut Studi Islam Fahmina (ISIF), KH. Marzuki Wahid, menekankan pentingnya menjadikan tempat ibadah ramah disabilitas sebagai gerakan bersama.
Hal itu disampaikannya dalam kegiatan Monthly Islamic Studies Initiative (MISI) ke-10 yang digelar secara daring melalui Zoom Meeting pada Selasa (16/9) pukul 19.30 WIB.
Dengan tema “Mewujudkan Tempat Ibadah Ramah Disabilitas”, acara menghadirkan dua narasumber utama, yakni H. Siswadi Abdul Rachim, MBA, Dewan Pembina Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI), serta Dr. H. Arsyad Hidayat, Lc., MA, Direktur Urais dan Binsyar Ditjen Bimas Islam Kemenag RI.
Dalam sambutannya, KH. Marzuki Wahid menegaskan bahwa upaya menjadikan masjid dan mushola ramah disabilitas tidak boleh hanya menjadi wacana, tetapi harus diwujudkan secara nyata.
“Hal ini harus segera dimulai dan menjadi kesadaran kolektif kita semua. Tujuannya jelas, agar teman-teman penyandang disabilitas dapat mengakses berbagai aspek kehidupan yang memang merupakan hak mereka,” ujarnya.
Marzuki menambahkan, jika diskusi sebelumnya banyak berkutat pada dalil dan argumentasi teologis di ranah “langit”. Maka kali ini penting untuk menurunkannya ke ranah “bumi” yang lebih praktis: bagaimana menghadirkan sarana ibadah yang inklusif.
“Mustahil bagi kita memberikan kesempatan kepada penyandang disabilitas untuk bermunajat dan beribadah dengan khusyuk jika tempat ibadah, termasuk masjid dan mushola, tidak ramah bagi mereka,” tegasnya.
Infrastruktur sebagai Kewajiban
Menurut Marzuki, penyediaan infrastruktur dan sarana prasarana yang ramah disabilitas adalah bagian integral dari kewajiban ibadah. Ia mengutip kaidah fikih al-wasa’il ilal-maqashid hukmuha hukmul maqashid (sarana menuju tujuan hukumnya mengikuti tujuan).
“Jika tujuan ibadah itu wajib, maka menyediakan sarana dan prasarananya pun menjadi wajib,” jelasnya.
Dengan begitu, penyediaan akses fisik di tempat ibadah bukanlah pilihan tambahan. Melainkan kewajiban moral dan agama yang harus segera umat Islam penuhi.
MISI ke-10 ini juga melibatkan perspektif langsung dari penyandang disabilitas, sehingga diskusi tidak hanya berhenti pada teori, tetapi juga menghadirkan pengalaman nyata. “Alhamdulillah, diskusi berjalan menarik. Mudah-mudahan bisa segera kita rangkum menjadi rumusan bersama,” kata Marzuki.
Sementara itu, dua narasumber yang ISIF undang malam ini terkenal aktif mendorong advokasi tempat ibadah ramah disabilitas. H. Siswadi Abdul Rachim banyak berbicara di forum-forum publik terkait isu ini, sementara Dr. Arsyad Hidayat selama ini fokus pada pengembangan kebijakan masjid inklusif di bawah Kementerian Agama.
“Kami ingin mendengar langsung pengalaman, kebijakan, maupun praktik baik yang sudah berjalan agar bisa menjadi inspirasi bersama,” tutur Marzuki.
Di akhir sambutannya, KH. Marzuki Wahid menyampaikan apresiasi khusus kepada kedua narasumber.
“Saya berterima kasih kepada sahabat saya, KH. Arsyad Hidayat dan KH. Siswadi Abdul Rachim, atas gagasan dan inspirasinya untuk mendorong terwujudnya masjid dan mushola yang ramah disabilitas,” ungkapnya.
Dengan semangat ini, MISI ke-10 diharapkan dapat memperkuat kesadaran umat Islam bahwa ibadah hanya bisa bermakna universal jika semua orang, termasuk penyandang disabilitas, dapat mengaksesnya secara setara. []