Mubadalah.id – Apa artinya Maulid Nabi bila bumi terus dilukai? Apa makna bershalawat, jika tanah, air, dan udara dibiarkan sekarat? Pertanyaan-pertanyaan itu telah lama berputar di dalam batin, seolah menunggu ruang dan waktu yang tepat untuk terjawab.
Dan kemarin, di Masjid Al-Ummah, Desa Banjarwangunan, Kecamatan Mundu, serangkaian pertanyaan itu menemukan momentumnya. Pada Ahad, 14 September 2025, saya mendapat kehormatan untuk berbagi makna bersama sekitar dua ratus jamaah, terdiri atas ibu rumah tangga dan penggiat majelis taklim dari Forum Silaturahim Banjarwangunan Banjariah.
Wajah-wajah jamaah saya pandang sebagai ketulusan. Ada sorot mata penuh doa, binar yang menyimpan cerita, dan senyum-senyum yang penuh ikhlas. Namun, justru ketulusan itu membuat saya kembali merenung: Maulid Nabi selalu dirayakan dengan meriah, tetapi apakah keramaian itu juga melahirkan kesadaran baru tentang bumi yang kian rapuh? Pertanyaan ini membuat benak kembali terasa sesak.
Allah Swt berfirman:
وَمَآ أَرْسَلْنَـٰكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَـٰلَمِينَ
“Dan tidaklah Kami mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam.” (QS. Al-Anbiya: 107)
Ayat ini kerap terdengar, tetapi maknanya semakin menohok bila dikaitkan dengan keadaan sekarang. Sebab, rahmat Nabi bukan hanya untuk manusia. Rahmat itu meliputi seluruh alam: hewan, tumbuhan, tanah, air, udara, bahkan bumi sebagai rumah bersama.
Andai Bumi Adalah Bayi
Saya sering membayangkan menjaga bumi seperti seorang bayi. Bayi lahir dengan kulit lembut, napas hangat, dan mata yang bening. Begitu pula bumi ketika pertama kali dititipkan Allah: langit biru, sungai jernih, tanah subur, udara sejuk.
Namun, sebagaimana bayi yang bisa sakit bila terabaikan, bumi kini pucat dan demam. Sungai di desa keruh oleh sampah, sawah sulit diairi karena hujan tak menentu, udara yang dulu sejuk kini kerap membakar kulit. Bumi, bayi itu, sedang merintih, tetapi tangisnya sering kita abaikan.
Padahal, Rasulullah Saw pernah bersabda:
إِذَا قَامَتِ السَّاعَةُ وَفِي يَدِ أَحَدِكُم فَسِيلَةٌ، فَإِنِ اسْتَطَاعَ أَنْ لَا تَقُومَ حَتَّى يَغْرِسَهَا فَلْيَفْعَلْ
“Jika terjadi kiamat, sementara di tangan salah seorang dari kalian ada bibit kurma, maka jika ia mampu menanamnya sebelum kiamat terjadi, tanamlah.” (HR. Ahmad)
Hadis ini seharusnya menjadi cahaya dalam hati. Bahkan di ambang kiamat, Nabi tetap mengajarkan untuk menanam pohon. Pesannya jelas: mencintai bumi adalah ibadah yang tidak boleh tertunda.
Namun kenyataannya, manusia semakin jauh dari ajaran itu. Pantas jika Allah Swt berfirman:
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia.” (QS. Ar-Rum: 41)
Melihat Kerusakan Alam
Kerusakan itu lahir dari ulah kita sendiri: hutan tertebang habis, sungai dijadikan tempat sampah, tanah terpaksa menelan pestisida. Lalu ketika banjir datang, langit yang kita salahkan.
Di sisi lain, tepatnya dalam situasi seperti ini, kaum perempuan sering menjadi pihak pertama yang menanggung beban. Ketika air sumur kering, merekalah yang berjalan lebih jauh menimba. Lalu ketika dapur penuh sampah, merekalah yang paling sibuk membersihkannya. Ketika anak-anak batuk karena udara kotor, merekalah yang berjaga sepanjang malam.
Oleh karenanya, Rasulullah Saw bersabda:
إِنَّمَا النِّسَاءُ شَقَائِقُ الرِّجَالِ
“Sesungguhnya perempuan itu saudara kandung laki-laki.” (HR. Abu Dawud)
Keadilan Gender
Hadis di atas menegaskan bahwa perempuan bukan hanya korban, tetapi juga pemikul tanggung jawab yang setara dengan laki-laki. Keadilan gender dalam Islam bukan teori, melainkan tindakan nyata, termasuk dalam merawat bumi.
Karena itu, saya mengajak jamaah, terutama para ibu, untuk menjaga bumi dan memulai dari hal-hal sederhana yang dekat dengan kehidupan sehari-hari. Membawa tas kain saat berbelanja, menutup rapat keran agar air tidak terbuang. Menanam pohon buah atau sayur di halaman, memilah sampah rumah tangga, mengajarkan anak-anak mencintai alam sejak dini. Selain itu menjaga kebersihan masjid dan pesantren sebagai cermin kebersihan jiwa.
Cinta sejati adalah meneladani. Meneladani Nabi berarti ikut menanam, menjaga bumi dan air, merawat tanah, dan menebar kasih sayang kepada seluruh makhluk. Maulid seharusnya menjadi momentum lahir kembali: lahir sebagai manusia yang lebih peduli, lebih adil, dan lebih ramah terhadap bumi.
Semoga kita menjadi umat yang menjaga cahaya itu, cahaya yang menyapa bumi, cahaya yang terus menumbuhkan harapan. Amin. []