Mubadalah.id – Saat melaksanakan Tugas Kuliah Praktik Islamologi Terapan (PIT) atau Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Kelurahan Argasunya, saya mendapati praktik pernikahan anak di kelurahan ini masih banyak terjadi. Salah satu korbannya adalah seorang anak yang saya sebut Lili (nama samaran).
Lili merupakan anak bungsu dari keluarga yang sederhana. Ibunya telah lama meninggal, sehingga ia hanya tinggal bersama ayahnya. Pendidikan Lili terhenti di kelas 6 SD. Pada usia 15 tahun, ia dinikahkan dengan adik ipar kakaknya yang saat itu berusia 25 tahun. Alasannya sang ayah menyetujui lamaran tersebut dengan dalih agar ia tidak lagi memiliki tanggungan, karena Lili adalah anak terakhir yang masih berada di rumah.
Keputusan itu sebenarnya tidak disetujui oleh anggota keluarga lain, termasuk kakak dan pamannya. Namun, perlawanan mereka tidak cukup kuat. Apalagi, pihak laki-laki mengancam akan kabur dari rumah jika tidak segera dinikahkan dengan Lili.
Pada akhirnya, pernikahan pun terpaksa ia langsungkan. Kini, Lili tinggal di Jakarta bersama suaminya dan anak perempuannya yang masih balita.
Kisah Lili memperlihatkan bagaimana orang tua sangat berkuasa atas tubuh anaknya, hingga anak diperlakukan sebagai beban yang bisa “diserahkan” tanggung jawabnya kepada orang lain melalui pernikahan.
Padahal, dalam pandangan Islam, setiap anak yang dilahirkan telah ditentukan rezeki, jodoh, dan ajalnya oleh Allah SWT. Tugas orang tua bukanlah “melepaskan beban” dengan menikahkan anak di usia belia, melainkan menjaga, merawat, dan memastikan hak-hak anak terpenuhi.
Pernikahan Anak sebagai Kawin Paksa
Kisah Lili dapat kita kategorikan sebagai bentuk kawin paksa. Dalam buku Memahami Kekerasan Seksual dengan Lebih Dalam dijelaskan bahwa kawin paksa terjadi ketika perempuan tidak memiliki pilihan lain selain mengikuti kehendak orang tuanya, meskipun ia tidak menginginkannya atau bahkan tidak mengenal calon pasangannya. Situasi seperti ini jelas merupakan bentuk kekerasan berbasis gender.
Dampaknya pun sangat serius. Komnas Perempuan mencatat enam ancaman besar dari praktik pernikahan anak terhadap masa depan perempuan Indonesia:
Pertama, pendidikan. Anak perempuan yang menikah sebelum usia 18 tahun empat kali lebih rentan putus sekolah. Seperti Lili, ia hanya bersekolah hingga kelas 6 SD.
Kedua, ekonomi. Kerugian ekonomi akibat pernikahan anak mencapai 1,7% dari Produk Domestik Bruto (PDB), karena anak kehilangan kesempatan berpartisipasi dalam bidang sosial dan ekonomi.
Ketiga, kekerasan dan perceraian. Anak perempuan yang menikah dini lebih rentan mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan perceraian, karena pada usia remaja (10–18 tahun) mereka belum matang secara emosional.
Keempat, Angka Kematian Ibu (AKI). Komplikasi saat hamil dan melahirkan menjadi penyebab kematian kedua terbesar bagi perempuan usia 15–19 tahun.
Kelima, Angka Kematian Bayi (AKB). Bayi dari ibu di bawah 20 tahun memiliki risiko 1,5 kali lebih besar meninggal sebelum usia 28 hari daripada bayi dari ibu berusia 20–30 tahun.
Keenam, stunting. Pernikahan anak meningkatkan risiko stunting. Survei nasional UNICEF dan Kidman (2016) menunjukkan 1 dari 3 balita di Indonesia mengalami stunting, yang salah satunya akibat kehamilan usia dini.
Bahkan, dampak-dampak ini jelas melanggar hak-hak anak perempuan sebagaimana dijamin dalam UUD 1945 Pasal 28B ayat (2): “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.”
Konvensi internasional, seperti CEDAW dan Konvensi Hak Anak, juga menegaskan bahwa pernikahan anak merupakan praktik berbahaya (harmful practice) karena anak belum mampu memberikan persetujuan secara bebas.
Praktik Berbahaya
Oleh sebab itu, dari kisah Lili, maka jelaslah bahwa pernikahan anak merupakan praktik berbahaya yang harus kita akhiri. Tidak ada alasan tradisi, budaya, atau ekonomi yang bisa membenarkan pelanggaran hak-hak anak.
Rasulullah SAW telah bersabda: “Lā dharar wa lā dhirār” (Tidak boleh membahayakan diri sendiri maupun membahayakan orang lain).
Pernikahan anak adalah bentuk nyata praktik yang membahayakan, baik bagi anak perempuan itu sendiri maupun bagi generasi penerus bangsa.
Karena itu, masyarakat, tokoh agama, dan pemerintah harus bergandeng tangan untuk memastikan tidak ada lagi anak perempuan yang menikah sebelum waktunya. Anak harus tumbuh, belajar, dan berkembang sesuai usianya, bukan kita paksa untuk mengemban peran sebagai istri atau ibu di usia belia. []