Mubadalah.id – Dalam adegan Drama Korea banyak sekali menampilkan ciuman dan tinggal serumah sebelum menikah. Dari sisi sosial dan budaya, perilaku ini tidak sejalan dengan nilai lokal di Indoneisa, baik dari sisi agama, norma dan etika. Dampak ke depan, generasi muda menormalisasi perilaku yang tidak sesuai dengan norma keluarga atau agama mereka.
Di Indonesia, ciuman di ruang publik atau tinggal bersama sebelum menikah masih tabu. Sementara drama Korea menayangkan adegan keduanya sebagai sesuatu yang wajar dan romantis. Saat ini semakin banyak orang di Korea Selatan yang mulai menerima ide living together kohibitasi, an unmarried couple atau pasangan yang tinggal bersama dibanding masa lalu. Kata “marak” dalam artian masih relatif, karena tergantung konteks usia, kota vs desa, latar belakang budaya lokal juga berpengaruh.
Perubahan Pola Pikir Generasi Muda
Remaja yang sering menonton drama bisa terdorong untuk meniru gaya hidup karakter favoritnya.
Orang tua mungkin melihat drama Korea hanya sebagai hiburan, tetapi berbeda untuk remaja yang menyerap nilai yang berbeda. Hal ini berpotensi menimbulkan konflik generasi, di mana anak merasa “terbuka” sementara orang tua tetap memegang nilai tradisional.
Risiko menurunnya sensitivitas terhadap nilai moral, adegan kissing atau kohabitasi yang sering berulang bisa membuat penonton menjadi desensitized, yaitu perasaan tidak lagi merasa tabu. Efek jangka panjangnya, nilai moral dan agama bisa bergeser secara perlahan tanpa tersadari.
Pengaruh pada identitas dan relasi di dunia nyata, sebagian penonton muda bisa membandingkan hubungannya dengan standar drama. Akhirnya, pola relasi yang terbangun menggunakan standar nilai dalam drama Korea untuk kehidupan nyata. Drama Korea sebagai standar romantis versi modern, meski secara norma masyarakat, perilaku tersebut tetap tabu.
Kenyataan tidak Seindah Drama Korea
Banyak drama menampilkan kehidupan pasangan yang tinggal bersama di apartemen indah, memasak bareng, atau liburan bersama. Adegan tersebut memicu akan komersialisasi dan gaya hidup materialistis. Generasi remaja kemudian memiliki ekspektasi berlebihan pada hubungan, seolah cinta harus selalu romantis seperti di drama, padahal kenyataannya berbeda.
Apabila pasangan tidak romantis seperti di drama, maka akibatnya menjadi merasa kurang bahagia. Kalau tidak ada pengalaman tinggal bersama sebelum menikah, dianggap ketinggalan zaman. Ini bisa menciptakan tekanan sosial dan memicu perilaku impulsif. Memicu tekanan mental pasangan, karena memiliki ekspektasi yang terlalu tinggi.
Drama Korea memang berhasil menciptakan fantasi romantis yang indah. Tapi, ketika budaya kissing dan living together tampil secara berulang-ulang, risiko nilai tersebut melekat pada penonton remaja yang meniru dan menganggapnya normal oleh penonton lintas budaya. Meski dalam kenyataan lokalnya belum tentu sesuai. Efek negatifnya sangat memengaruhi pada pasangan muda yang masih mencari identitas dan panduan tentang hubungan.
Tradisi di Korea
Living together semakin banyak diterima dan tidak lagi hal yang sangat aneh di Korea selatan, khususnya di kalangan muda dan di kota besar seperti Seoul. Survei oleh statistik Korea pada Mei 2024 menunjukkan sekitar 67,4% orang Korea setuju bahwa pasangan bisa tinggal bersama tanpa menikah.
Angka ini meningkat terus sejak 2012, ketika hanya sekitar 45,9% yang menyetujuinya. Kelompok usia muda sangat mendukung, khususnya usia 20-an dan 30-an. Mereka mendukung dengan lebih dari 80% untuk kohibitasi tanpa pernikahan.
Di sisi lain, memiliki anak di luar nikah masih dianggap kontroversial oleh banyak orang. Angka yang menyetujui punya anak di luar pernikahan juga lebih rendah daripada penerimaan terhadap tinggal bersama tanpa menikah.
Risiko living together pada perempuan
Kohibitasi tanpa pernikahan umumnya berlaku stigma buruk hanya pada perempuan. Baik sisi sosial, hukum, maupun psikologis. Stigma berupa cap tidak bermoral, yang jarang berlaku pada pihak laki-laki apabila ketahuan tinggal bersama tanpa menikah.
Kehilangan dukungan keluarga juga terjadi apabila ada kehamilan pada perempuan pelaku living together. Karena melanggar norma akibatnya terjadi pengucilan sosial. Biasanya perempuan mendapat stigma tidak bisa menjaga diri, meski keputusan itu oleh kedua belah pihak, baik laki maupun perempuan.
Tanpa pernikahan sah, perempuan tidak memiliki hak nafkah, hak harta bersama, maupun hak waris, juga tidak ada perlindungan hukum pada anak akibat living together. Stigma pun melekat pada anak dengan menyebutnya anak “di luar nikah”. Hak perdata anak bisa lebih lemah, dalam akta lahirnya anak, akan menyebutkan anak ibu, tanpa menyebutkan nama bapaknya.
Perempuan dan anak rentan terlantar jika pasangan pergi. Perempuan tidak bisa menuntut secara hukum seperti dalam perceraian. Ketidakpastian kondisi memicu emosional akibat hidup bersama tanpa komitmen formal., munculah rasa tidak aman.
Beban mental lebih besar menimpa pada perempuan. Perempuan menjadi pihak yang lebih banyak mengorbankan diri dari sisi waktu, tenaga, perasaan. Sehingga lebih rentan terluka saat hubungan berakhir. Rasa bersalah dan konflik batin bagi yang masih terikat nilai agama atau keluarga akan muncul.
Risiko mengalami kekerasan seksual di ranah domestik. Tanpa status pernikahan, perempuan lebih sulit menuntut perlindungan hukum jika mengalami KDRT. Bisa menimbulkan tekanan sosial, ekonomi, bahkan risiko medis jika sampai pada praktik aborsi yang tidak aman. Pasangan tidak menikah sulit mengakses layanan kesehatan reproduksi bersama.
Hukum Khalwat atau berdua-duaan
Islam melarang laki-laki dan perempuan yang bukan mahram berduaan dalam satu tempat tertutup tanpa pengawasan. Nabi bersabda: “Tidaklah seorang laki-laki berduaan dengan seorang perempuan kecuali setan menjadi yang ketiga di antara mereka.” (HR. Tirmidzi).
Tradisi living together bisa merusak tatanan keluarga dan masyarakat. Kohibitasi tanpa ikatan nikah menimbulkan masalah nasab tidak jelas dalam hukum terkait hak-hak anak, warisan, dan status hukum. Solusi dalam Islam dengan menikah, adalah solusi sahih jika pasangan sudah siap.
Living together mengandung unsur zina. Tinggal bersama membuka pintu terjadinya hubungan seksual di luar nikah, yang jelas haram hukumnya. “Janganlah kamu mendekati zina, karena sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan jalan yang buruk.” (QS. Al-Isra: 32).
Living together bertentangan dengan ajaran Islam. Islam menutup pintu menuju zina dan menekankan pentingnya menjaga kehormatan. Jalan yang sah untuk hidup bersama adalah pernikahan, yang membawa keberkahan, kejelasan hukum, dan perlindungan sosial.
Hidup bersama tanpa ikatan pernikahan sah adalah haram. Prinsip dasar dalam Islam, hubungan laki-laki dan perempuan diatur untuk menjaga hifz an-nasl atau perlindungan keturunan dan hifz al-‘irdh atau menjaga kehormatan.
Islam menganjurkan mempermudah pernikahan. Bila belum mampu, Nabi menganjurkan berpuasa untuk menjaga diri: “Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian mampu menikah, hendaklah menikah. Barangsiapa belum mampu, hendaklah ia berpuasa, karena puasa itu benteng baginya.” (HR. Bukhari-Muslim).
Allah memerintahkan pernikahan sebagai satu-satunya jalan sah untuk hidup bersama. Allah mengatur berhubungan intim, dan membangun rumah tangga sebagaimana bunyi ayat “Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu.” (QS. An-Nur: 32)
[]












































