Mubadalah.id – Pada hakikatnya, kehidupan manusia tidak jauh dengan prinsip membangun relasi dengan orang-orang di sekitarnya. Bisa jadi dalam lingkungan keluarga, pertemanan, romansa, atau lainnya. Hal tersebut tidak lepas dari manusia sebagai makhluk sosial yang membutuhkan berinteraksi dan relasi dengan manusia lainnya.
Jika melihat sejarah, bentuk interaksi dan relasi antar manusia memiliki perbedaan masa lalu dengan masa kini. Meskipun hakikatnya sama-sama manusia, namun perbedaan bentuk relasi dan interaksi antara laki-laki dan perempuan kerap terjadi ketimpangan.
Berbeda dengan saat ini, yang mana perempuan dapat lebih bebas dan memiliki kesempatan untuk berpendapat dan mengekspresikan diri mereka setara dengan laki-laki. Zaman dulu, ketika perempuan lebih banyak menjadi masyarakat kelas dua, seringkali mendapatkan bentuk interaksi dan relasi yang sangat merugikan bagi pihak perempuan.
Perempuan seringkali harus tunduk patuh kepada laki-laki secara mutlak, tidak dapat mengemukakan pilihan dan pendapatnya, dan seringkali harus mengorbankan tubuh dan masa depannya karena tidak memiliki pilihan lain (tidak dapat bersuara).
Oleh karenanya, saya memahami bahwa bentuk kemerdekaan perempuan adalah bagaimana perempuan memiliki kuasa atas hidupnya sesuai dengan kebutuhannya sendiri. Kalau melihat perempuan hamba sahaya (budak) pada zaman Nabi, tentulah gerak perempuan sangat terbatas karena ia menjadi milik Tuannya dan tidak memiliki kuasa atas diri sendiri.
Merdeka dengan Batasan
Kebebasan berpendapat dan mengekspresikan diri bagi perempuan pada masa saat ini tentunya sangat menggembirakan. Perempuan tidak lagi dipandang sebagai masyarakat kelas dua (meskipun dalam praktiknya, masih ada perempuan-perempuan yang termarjinalkan). Oleh karenanya, perempuan dapat bebas aktif untuk menjalin relasi dengan siapapun tanpa terbatas gender.
Salah satu bentuk kontrol terhadap relasi adalah batasan dalam relasi. Meskipun sebetulnya batasan dapat kita terapkan pada seluruh manusia tanpa terbatas gender, namun perempuan dengan batasan akan memiliki peluang dan kesempatan kehidupan yang baik dan jauh dari mudharat.
Dalam perspektif feminis, pembahasan tentang pentingnya batasan bagi perempuan dalam relasi tidak bisa dilepaskan dari struktur sosial dan budaya patriarki yang selama berabad-abad menempatkan perempuan pada posisi subordinat.
Relasi, baik personal maupun publik, sering kali diwarnai ketimpangan kuasa di mana perempuan lebih dituntut untuk melayani, mengalah, dan mengorbankan dirinya demi kenyamanan pihak lain. Karena itulah, pembicaraan tentang batasan menjadi upaya politis dan sosial untuk membebaskan perempuan dari jebakan relasi timpang.
Mengapa Batasan bagi Perempuan Bernilai Penting?
Pertama, batasan merupakan bentuk perlawanan terhadap norma patriarkal yang mengajarkan perempuan untuk selalu “ramah”, “patuh”, dan “tidak menolak”. Norma tersebut mengekang perempuan agar merasa bersalah ketika menolak permintaan orang lain, bahkan ketika hal tersebut merugikannya.
Jika perempuan menetapkan batasan, perempuan sedang melakukan negosiasi ulang terhadap identitasnya. Sehingga, ia tidak lagi dipandang sebagai objek yang melayani kebutuhan orang lain, tetapi subjek yang berhak menentukan bagaimana dirinya diperlakukan.
Kedua, dari perspektif gender, batasan berfungsi sebagai alat untuk menantang relasi kuasa yang timpang. Dalam banyak kasus, ketidakmampuan perempuan menolak membuatnya rentan terhadap pelecehan, eksploitasi, dan beban kerja domestik yang tidak adil.
Ketika seorang perempuan menegaskan batasan, ia sedang menggeser distribusi kuasa dari relasi yang timpang menjadi lebih setara.
Ketiga, penting untuk menyadari bahwa dorongan untuk “selalu ada bagi orang lain” sering kali melekat pada peran gender perempuan sebagai ibu, istri, atau teman yang pengertian. Jika dibiarkan tanpa batas, peran tersebut berubah menjadi beban yang menguras energi emosional (emotional labor) dan membatasi ruang perempuan untuk berkembang.
Dalam kerangka pemikiran feminis, menetapkan batas bermakna sebagai membebaskan perempuan dari jebakan peran gender yang memaksa, serta membuka ruang untuk aktualisasi diri yang lebih luas.
Memiliki Batasan dalam Relasi Romansa
Sungguh, batasan sejatinya dapat melekat pada relasi jenis apapun. Namun, saya ingin menuliskan bagaimana memiliki batasan dalam relasi romansa tidak kalah pentingnya. Batasan membantu perempuan melindunginya dari relasi yang merugikan.
Tidak sedikit kasus di mana perempuan terjebak dalam hubungan yang manipulatif, toksik, atau bahkan penuh kekerasan hanya karena merasa tidak enak menolak atau terlalu takut kehilangan. Padahal, dengan menetapkan batasan sejak awal, seorang perempuan bisa dengan tegas mengatakan “ini boleh, itu tidak boleh” tanpa merasa bersalah. Sikap tersebut justru akan membuat orang lain lebih menghargai ia sendiri.
Baru beberapa hari kemarin, seseorang dari masa lalu datang. Sambil membawa pesan untuk mencoba memperbaiki hubungan “kami” agar seperti baik seperti sedia kala. Namun, jawaban saya tetap sama seperti 11 bulan yang lalu. Saya menolak dan membatasi diri saya agar tidak memiliki relasi dengan seseorang yang telah menyakiti saya.
Sebagai seorang perempuan yang kritis, saya memahami bahwa sebetulnya kesalahan yang diperbaiki dapat memulihkan relasi. Namun, jika permasalahannya tidak dapat dimaklumi dan dimaafkan, maka saya punya hak untuk tidak melanjutkan relasi.
Apalagi, dalam track record relasi orang tersebut dengan orang lain di masa lalunya, juga merupakan masalah yang serupa yang saya hadapi. Maka, saya melihat bahwa hal tersebut bukanlah hal yang baik untuk dimaafkan. Terlebih, hal tersebut sudah bukan kesalahan yang sama sekali atau dua kali. Hal tersebut saya lihat menjadi suatu kebiasaan atau pola yang terus berulang. Tentulah saya berpikir bahwa kedepannya, hal tersebut dapat terjadi kembali (pengulangan).
Pada relasi sebelumnya, orang tersebut melakukan bentuk second choice terhadap pasangan, microcheating, dan tidak menghargai komitmen serta batasan. Ketika membangun hubungan dengan saya, hal tersebut terulang kembali. Maka, tidak ada jaminan bahwa ia akan “sembuh” atau tidak melakukan hal tersebut di masa depan. Sehingga, dengan tegas saya menolak. Jika sekali saya bilang tidak, maka seterusnya akan tetap tidak.
Refleksi
Meskipun terkesan sangat jahat, namun sebetulnya saya sedang menyelamatkan diri sendiri. Saya menyelamatkan diri dari kehidupan patriarki yang bisa jadi suatu saat akan menempatkan saya pada tempat yang lemah. Oleh karenanya, saya justru sangat senang dapat menolak dengan tegas karena itu berarti saya merdeka dari mudharat-mudharat yang dapat membuat saya tersiksa.
Dalam tulisan-tulisan sebelumnya, saya seringkali menuliskan prinsip hidup. Yang mana, tidak akan ada jabatan, uang, posisi, relasi, cinta yang akan saya kejar mati-matian jika tidak memandang saya secara setara. Sekali saya tidak dipandang setara, maka saya akan lebih memutuskan (cut off) dan memilih hidup dengan orang-orang yang memang memandang saya setara.
Ternyata, menjadi perempuan yang bebas mengekspresikan diri dan berpendapat serta memiliki kekuasaan terhadap diri sendiri dengan batasan itu sangat menyenangkan. []








































