Mubadalah.id – Sepuluh tahun yang lalu, tepatnya pada tahun 2015, Paus Fransiskus menerbitkan ensiklik Laudato Si’ (Terpujilah Engkau). Ensiklik yang merupakan ajakan dari Bapa Suci ini terlahir karena adanya keprihatinan yang cukup mendalam akan rusaknya bumi. Ensiklik ini menjadi sebuah dokumen yang mengguncang kesadaran dunia. Bagaimana ensiklik ini oleh Paus Fransiskus ditujukan bukan hanya kepada umat Katolik, melainkan kepada seluruh umat manusia.
Pesan dari Paus Fransiskus ini jelas bahwa bumi yang adalah rumah kita bersama, sedang sakit. Alam yang seharusnya menjadi sahabat dan ibu, justru dieksploitasi tanpa batas, sehingga bumi mengalami kerusakan. Setelah sepuluh tahun menggema, kita diajak untuk berefleksi bagaimana Laudato Si itu sungguh dihidupi dalam kehidupan.
Bumi sebagai Rumah Bersama
Dalam ensiklik Laudato Si’, Paus Fransiskus menekankan bahwa bumi bukan sumber daya yang harus dieksploitasi, tetapi menjadi rumah bersama yang harus dirawat. Manusia bukanlah penguasa bumi, tetapi menjadi bagian dari ciptaan yang luhur. Maka, manusia harus memiliki kesadaran bahwa tugasnya adalah merawat alam dan bukan merusaknya.
Dalam tradisi Katolik, hal ini sebagai bentuk “pertobatan ekologis” yaitu perubahan cara pandang dan cara hidup agar lebih selaras dengan kehendak Allah yang menciptakan dunia baik adanya. Pertobatan ekologis bukan sekadar mengurangi sampah atau menanam pohon, tetapi mengubah hati dari sikap serakah menjadi sikap penuh syukur, dari menguasai menjadi melayani.
Melalui ensiklik “laudato si”, Bapa Suci Paus Fransiskus mengajak umat beriman dan seluruh umat manusia untuk memiliki keterlibatan dalam merawat bumi sebagai alam ciptaan. Melalui amanat Paus Fransiskus, Gereja juga tergerak untuk merenungkan kepedulian terhadap bumi sebagai alam ciptaan dan juga rumah bersama.
Dalam ensiklik laudato si, Paus Fransiskus seluruh manusia untuk terlibat dalam pertobatan ekologis. Ensiklik ini menyebut alam semesta sebagai rumah bersama yang harus terjaga demi terciptanya persekutuan universal dalam Allah. . Maka melalui Ensiklik ini Gereja menyerukan pertobatan ekologis bagi seluruh manusia agar kembali merajut persekutuan dengan alam semesta.
Kesadaran akan pentingnya merawat bumi sebagai alam ciptaan harus menjadi prioritas semua orang yang mendiami bumi tanpa terkecuali. Banyak permasalahan-permasalahan yang mulai terjadi dan hal tersebut mengancam kelestarian bumi. Kerusakan lingkungan hidup dewasa ini merupakan isu besar dan bersifat global (mendunia), yang kini menjadi masalah yang semakin genting.
Dunia sedang menghadapi bahaya krisis ekologis. Namun yang patut untuk disyukuri adalah akhir-akhir ini perhatian dan kesadaran umat manusia terhadap pelestarian lingkungan hidup semakin meningkat, itu artinya umat manusia mulai menyadari betapa pentingnya menjaga kelestarian alam ciptaan.
Dari peringatan ke Tindakan
Selama sepuluh tahun terakhir, Indonesia mengalami berbagai macam bencana alam. Misalnya banjir besar yang melanda sejumlah daerah, kebakaran hutan, pencemaran sungai, hingga polusi udara yang membuat langit menjadi kelabu. Semua ini adalah tanda bahwa bumi sedang menjerit.
Namun terlepas dari bencana yang terjadi, kita masih bisa melihat bagaimana komunitas petani yang menjaga benih lokal agar tidak punah. Ada pula kelompok anak muda yang menggalang gerakan menanam pohon atau mengurangi sampah plastik. Selain itu juga ada gerakan lintas iman yang berkumpul dalam doa bersama untuk bumi. Semua ini adalah buah dari kesadaran ekologis yang mulai tumbuh.
Tindakan-tindakan seperti ini harapannya tidak hanya menjadi simbol seremonial peringatan 10 tahun semata, tetapi juga terus menjadi kesadaran setiap manusia. Harapannya ini menjadi tindakan nyata yang terus menerus menjadi gaungan penuh sukacita, sukacita untuk merawat bumi yang Tuhan berikan.
Spiritualitas Katolik yang Terbuka dan Ekologi Integral
Dalam iman Katolik, merawat bumi bukanlah pilihan kedua, tetapi justru menjadi bagian integral dari iman itu sendiri. Doa tanpa aksi ekologis adalah doa yang tiada artinya. Paus Fransiskus menegaskan bahwa damai hanya lahir dari keadilan, dan keadilan ekologis adalah bagian dari keadilan sosial.
Namun, refleksi ini tidak berhenti dalam lingkup Katolik. Laudato Si’ adalah undangan universal. Gereja Katolik tidak menutup diri, melainkan membuka pintu dialog. Dalam konteks Indonesia yang majemuk, spiritualitas ekologis Katolik adalah tawaran untuk bekerja sama dengan siapa pun yang peduli pada bumi. Sebab, udara yang kita hirup, air yang kita minum, dan tanah yang kita pijak tidak mengenal sekat agama atau suku.
Kata kunci penting dalam ensiklik Laudato Si ini yang selalu menjadi pesan Paus Fransiskus adalah ekologi integral. Kata kunci ini menjadi dasar untuk merefleksikan dan menghidupkan spirit Laudato Si dalam kehidupan sehari-hari. Sama seperti nama kepausannya,
Paus Fransiskus mengambil teladan dan inspirasi dari Fransiskus Asisi yang mempunyai gelar orang kudus yang peduli akan lingkungan. Paus Fransiskus amat kagum kepada Fransiskus Asisi karena kesetiannya dalam memperjuangkan ekologi integral.
“Santo Fransiskus membantu kita melihat bahwa ekologi integral membutuhkan keterbukaan terhadap kategori-kategori yang melampaui bahasa matematika dan biologi, dan membawa kita kepada hakikat manusia. Sama seperti yang terjadi ketika kita jatuh cinta pada seseorang, setiap kali Fransiskus menatap matahari, bulan, atau bahkan binatang terkecil, ia mulai bernyanyi, sambil mengikutsertakan semua makhluk lain dalam pujiannya. Dia berkomunikasi dengan semua ciptaan, bahkan berkhotbah kepada bunga-bunga, mengajak mereka “untuk memuji Tuhan, seolah-olah mereka pun dikaruniai akal budi”, ungkap Paus Fransiskus dalam ensiklik Laudato Si no. 11.
Gong Kesadaran Ekologis
Refleksi 10 tahun Laudato Si’ menjadi seruan untuk menyalakan kembali gong kesadaran ekologis. Gong ini tidak hanya terdengar di Vatikan, tetapi juga di seluruh dunia dengan keindahan alam masing-masing.
Bagi Indonesia yang baru saja merayakan 80 tahun kemerdekaan, ini menjadi panggilan luhur. Tidak ada kemerdekaan yang sejati jika udara tetap kotor, air tetap tercemar, dan tanah tetap menjadi objek eksploitasi tanpa batas. Laudato Si’ mengingatkan kita bahwa merawat bumi adalah jalan, menuju kasih, dan jalan menuju keadilan. []