Mubadalah.id – Dr. Faqihuddin Abdul Kodir dalam bukunya Relasi Mubadalah Muslim dengan Umat Berbeda Agama menegaskan bahwa sebelum turunnya wahyu, masyarakat di sekitar Nabi Muhammad Saw. menganut keyakinan beragam sesuai tradisi nenek moyang masing-masing.
Mayoritas penduduk Makkah kala itu tetap mengakui Allah Swt., tetapi menyembah-Nya melalui perantara berhala. Sebagian kecil lainnya memeluk agama Yahudi atau Kristen, sementara segelintir orang memilih jalan tauhid murni—disebut sebagai hunafā’ (orang-orang lurus)—tanpa terikat agama tertentu.
Nabi Muhammad Saw. tumbuh dan bergaul di tengah masyarakat yang majemuk tersebut. Seluruh sumber sejarah sepakat bahwa relasi Nabi dengan lingkungannya terjalin sangat baik. Beliau dikenal jujur, amanah, dan gemar menolong siapa pun.
Bahkan, keluarga, tetangga, bahkan masyarakat yang belum beriman kepada risalah Islam kerap menitipkan barang berharga mereka kepada Nabi. Reputasi mulia inilah yang kemudian membuat beliau digelari al-Amīn—sosok yang dapat dipercaya.
Kesaksian Khadijah Ra
Kesaksian Khadijah Ra. semakin menegaskan hal tersebut. Ia menyebut Nabi selalu berkata benar, tidak pernah berbohong, memegang amanah, menyambung silaturahmi, menghormati tamu, dan menolong sesama (Shahih al-Bukhari, hadits no. 5005). Akhlak inilah yang membuat Khadijah jatuh hati kepada Nabi.
Pada usia dua puluhan, Nabi Muhammad Saw ikut menyaksikan dan mendukung traktat Hilful Fudhul, sebuah perjanjian antar-kabilah untuk menegakkan keadilan. Yaitu untuk saling menolong, membela pihak yang terzhalimi, menghindari pembunuhan, dan mencegah peperangan.
Lalu pada usia 35 tahun, Nabi mendapat kepercayaan dari para tetua kabilah untuk mendamaikan perselisihan besar tentang siapa yang berhak meletakkan kembali Hajar Aswad ke posisinya setelah banjir bandang merusak Ka’bah.
Kejujuran dan amanah Nabi pula yang membuat Khadijah Ra. mempercayakan usaha dagang ekspor-impornya kepada beliau. Tidak hanya itu, karena akhlak mulianya, Khadijah—yang saat itu berusia 40 tahun—melamar Nabi yang berusia 25 tahun untuk menjadi suaminya.
Sejak muda hingga dewasa, akhlak Nabi Muhammad Saw selalu konsisten: menjadi al-Amīn bagi semua orang, tanpa memandang latar belakang agama.
Di Makkah yang mayoritas penyembah berhala, di perjalanan dagang dengan berbagai kabilah. Hingga di negeri Syam (Syria) yang banyak penganut Kristen, beliau selalu menunjukkan akhlak mulia. []