Mubadalah.id – Pada awal tahun 2025 lalu sempat muncul wacana untuk mengubah standar luas tanah rumah subsidi dari minimal 60 meter persegi menjadi 25 meter persegi. Luas lantai bangunan pun turut berubah dari awalnya 21 meter persegi menjadi 18 meter persegi.
Wacana ini menuai protes dari berbagai kalangan karena dinilai kurang manusiawi. Selain itu berpotensi bertentangan dengan standar internasional yang telah menetapkan bahwa luas minimal rumah tinggal sederhana untuk keluarga berjumlah 4 (empat) orang adalah 36 meter persegi.
Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional 2023 terdapat 26,9 juta keluarga Indonesia tinggal di rumah tidak layak huni. Lalu ada 9,9 juta keluarga lain yang belum memiliki tempat tinggal. Harian Kompas mengungkapkan terdapat sejumlah hal yang menjadi kendala bagi penduduk untuk memiliki rumah. Di antaranya adalah harga rumah yang mahal dan pendapatan penduduk yang sulit serta tidak menentu.
Ada sejumlah kriteria untuk menilai kelayakan huni suatu tempat tinggal. Sustainable Development Goals (SDGs) misalnya menentukan bahwa agar suatu bangunan layak huni maka harus memiliki ketahanan bangunan, luasan minimal perkapita.
Lalu adanya akses air minum layak dan akses sanitasi yang layak. Pada prinsipnya hunian yang telah memenuhi kriteria tersebut barulah dapat kita sebut sebagai hunian yang layak untuk kita tinggali sebagai tempat tumbuh kembang suatu keluarga.
Namun demikian, meskipun seluruh kriteria tersebut telah terpenuhi, tidak selalu menjamin keluarga yang tinggal di dalamnya dapat tumbuh dengan baik. Secara faktual kita dapat melihat keluarga yang tinggal di sebuah rumah besar dan mewah berakhir dengan perpisahan dan perceraian.
Kalau kita membaca sejumlah putusan dalam perkara perceraian. Dapat kita temukan salah satu penyebab pertengkaran di antara suami dan istri tidak jarang disebabkan perselisihan mengenai tempat tinggal.
Dambaan Memiliki Rumah Tinggal Sendiri
Putusan 0537/Pdt.G/2023/PA.Bwi tanggal 3 Agustus 2023 misalnya. Fakta ini mengungkapkan bahwa pertengkaran antara Suami (Pemohon) dan istri (Termohon) terjadi karena suami tidak ingin tinggal di rumah orang tua istrinya (mertua suami).
Sebaliknya istri juga tidak bersedia tinggal di rumah orang tua suami (mertua istri). Tanpa membaca putusan pengadilan, rasanya permasalahan serupa banyak kita temukan dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan mungkin keluarga kita mengalaminya juga.
Pada umumnya, baik suami maupun istri mendambakan untuk memiliki rumah tinggal tersendiri terpisah dari keluarga besar masing-masing. Akan tetapi sebagaimana telah tersampaikan sebelumnya, kita membutuhkan modal tidak sedikit untuk dapat memiliki tempat tinggal sendiri yang layak untuk dapat kita tinggali.
Kondisi ini tidak jarang berujung pada pilihan untuk tinggal di rumah salah satu orang tua dari suami atau istri, sembari mengumpulkan pundi-pundi untuk mewujudkan hunian pribadi.
Fiqh Tempat Tinggal
Dalam kajian fiqh, tempat tinggal merupakan salah satu bentuk nafkah yang harus terpenuhi oleh suami terhadap istri. Surat At-Thalaq ayat 6 menyatakan tempatkanlah mereka (istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka.
Meskipun ayat ini berbicara dalam konteks istri yang menjalani masa iddah, namun para ulama tetap menjadikannya sebagai salah satu dasar kewajiban suami untuk memberikan tempat tinggal yang layak bagi istri secara umum.
Wahbah Zuhaili dalam Tafsir Al-Munir menjelaskan bahwa ayat tersebut bermakna agar suami memberikan tempat tinggal yang layak bagi istri. Setidak-tidaknya serupa dengan tempat tinggal istri. Tempat tinggal tersebut harus membuat istri merasa nyaman dan aman. Jangan sampai suami dengan sengaja memberikan tempat tinggal yang tidak nyaman hingga istri terpaksa keluar dari tempat tinggal tersebut dan melepaskan haknya atas nafkah suami.
Masih menurut Wahbah Zuhaili, terdapat setidaknya 3 (tiga) kriteria tempat tinggal yang harus tersedia oleh suami untuk istri. Pertama, tempat tinggal tersebut memang sesuai dengan kemampuan suami. Kedua tempat tinggal tersebut dilengkapi dengan perabot dan berbagai keperluan rumah tangga seperti kasur, bantal, selimut dan lain sebagainya. Ketiga, tempat tinggal tersebut pada prinsipnya harus dihuni sendiri oleh suami dan istri.
Tempat tinggal merupakan hak istri sehingga suami tidak berhak menempatkan orang lain selain sang istri di dalamnya. Kalaupun ada kerabat yang turut tinggal, maka hal itu boleh atas permintaan atau atas izin istri. Bahkan istri berhak menolak untuk tinggal bersama dengan kerabat suami. Kerabat yang tinggal tersebut juga harus menjaga perkataan dan perbuatannya agar tidak menyakiti istri.
Dalam penjelasan Fathul Mu’in, selain menyediakan tempat tinggal yang layak, suami wajib menyediakan tempat tinggal di mana istri merasa aman atas diri dan hartanya, utamanya saat suami tidak ada di rumah. Karenanya, sangat memungkinkan bila suami tinggal di rumah istrinya karena istri tidak mau pindah ke rumah suami. Akan tetapi hal ini bukan berarti suami sedang menyewa rumah sehingga harus membayar uang sewa kepada istri.
Mu’asyarah Bil Ma’ruf
Konsepsi fikih klasik pada pokoknya menempatkan nafkah menjadi sebagai kewajiban suami dan pemenuhan seksual sebagai kewajiban istri. Tidak terpenuhinya kewajiban tersebut akan menimbulkan akibat baik secara hukum maupun sosial. Tidak diberikannya nafkah oleh suami misalnya. Ini dapat berdampak pada timbulnya hak istri untuk mengambil harta suami demi memenuhi kebutuhan istri dan anak.
Dalam hal kewajiban istri atas pemenuhan seksual, masyhur hadis yang kurang lebih menyatakan istri yang menolak ajakan suami untuk berhubungan badan akan dilaknat oleh malaikat.
Namun demikian, menurut Faqihuddin Abdul Kodir, fiqh klasik merumuskan hak dan kewajiban suami-istri tersebut dalam bingkai Mu’asyarah bil ma’ruf (relasi yang baik). Dalam konsep Mubadalah, relasi yang baik tersebut pada prinsipnya kita wujudkan dengan tidak hanya sekedar menuntut tertunaikannya kewajiban, namun juga memperhatikan kondisi pihak yang akan menunaikan kewajiban tersebut.
Suami memang berhak atas pemenuhan seksual dari istri, akan tetapi Ia tetap diharapkan untuk memperhatikan kondisi istri. Permintaan hubungan seksual dalam kondisi istri sedang sakit misalnya tentu amat bertentangan dengan prinsip Mu’asyarah bil ma’ruf.
Sebaliknya, meskipun tempat tinggal merupakan kewajiban suami sebagai bagian dari pemenuhan nafkah kepada istri, namun sudah sepatutnya istri juga memperhatikan kemampuan ekonomi suami. Selain itu suami dan istri juga harus mempertimbangkan tempat tinggal yang terbaik bagi tumbuh kembang anak.
Perkawinan memang menimbulkan hak dan kewajiban antara suami dan istri. Akan tetapi kehidupan berumah tangga bukan hanya sekedar menuntut pemenuhan hak secara membabi buta. Bagaimanapun juga, salah satu manfaat dari perkawinan adalah untuk menciptakan tempat yang tenang (litaskunu) dan penuh kasih sayang (mawaddah) bagi keluarga.
Oleh karena itu, dalam penentuan tempat tinggal dan pemenuhan kewajiban lainnya sudah selayaknya suami dan istri mengikuti anjuran dalam tepuk sakinah saling cinta, saling hormat, saling jaga, saling ridha musyawarah untuk sakinah. []