Mubadalah.id – Berita ambruknya musala di Pondok Pesantren Al Khoziny, Buduran, Sidoarjo meninggalkan luka yang cukup dalam di dunia pesantren. Saat para santri muda itu sedang khusyuk melaksanakan salat Ashar berjamaah, bangunan tiga tingkat tersebut runtuh hingga ke lantai dasar. Beberapa sempat menyelamatkan diri, sementara beberapa santri lainnya terjebak di dalam reruntuhan bangunan.
Peristiwa ini cukup menghebohkan publik. Beberapa pihak menduga bahwa pembangunan tersebut tidak memiliki Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Dugaan ini tersampaikan oleh Bupati Sidoarjo, Subandi, sebagaimana yang saya nukil dari situs bbc.com.
Pakar Teknik Sipil Struktur ITS, Mudji Irmawan juga angkat bicara. Ia menyebut bahwa bangunan ponpes sejak awal perencanaan hanya satu lantai. Namun karena penambahan jumlah santri kemudian mereka paksakan hingga tiga lantai tanpa perencanaan teknis yang matang. Penambahan beban tanpa perhitungan ini menyebabkan konstruksi tidak lagi mampu menahan tekanan sehingga ambruk.
Musala di pesantren sejatinya tidak sekadar bangunan semata. Ia berperan sebagai jantung spritualitas, tempat santri belajar mengenal Tuhannya, melatih kedisiplinan, dan menempa karakter. Nilai-nilai sakral ini penting kita jaga dan terpelihara dengan memperhatikan struktur infrastruktur fisik yang aman dan nyaman.
Mengenal Fikih Infrastruktur
Fikih sebagai sebuah disiplin ilmu keislaman yang mengatur seluruh tindak-laku manusia tidak hanya bercorak vertikalistik, melainkan horizontal dengan merambah ke berbagai persoalan terbarukan.
Pemikiran Fiqhul Bina’ atau Fikih Infrastruktur dalam rangka mengelola dinamika pembangunan infrastruktur. Yakni guna mewujudkan tujuan utama dalam memberikan kenyamanan dan keamanan sebuah bangunan. Ini memiliki posisi urgent di tengah masifnya pertumbuhan demografis, terutama di dunia pesantren dengan pertambahan santri di setiap tahunnya.
Dalam pandangan Fiqhul Bina’ atau fikih infrastruktur, sebuah proyek pembangunan haruslah berpijak pada kajian maslahat dan mafsadah yang nyata. Kemaslahatan itu teraplikasikan dalam bentuk bangunan yang ideal, aman, dan nyaman untuk kita tempati. Hal ini sebagaimana lima prinsip tujuan syariah yang tergabung dalam maqasid al-kulliyah al-khamsah, yakni hifdz ad-din, hifdz an-nafs, hifdz al-mal, dan hifdz an-nasl.
Sebuah proyek pembangunan infrastruktur bisa saja dihukumi haram ketika proyek tersebut tidak mengindahkan aspek maslahah dan mafsadah dalam proses pendiriannya. Pembangunan semacam ini dapat mengancam keselamatan para penghuninya. Terlebih, ketika bangunan tersebut adalah mushalla pesantren yang ditempati oleh ratusan, atau bahkan ribuan santri.
Kaidah Fikih
Dalam hal ini, pihak pesantren perlu untuk mengacu pada kaidah fikih: dar’u al mafasid muqaddam ‘ala jalb al-mashalih. Yakni menghindari kerusakan kita dahulukan atas menarik kemaslahatan.
Bangunan yang belum atau tidak layak pakai hendaknya kita sempurnakan terlebih dahulu sebelum digunakan. Ancaman kehilangan nyawa terlalu besar untuk menjadi resiko yang kita ambil. Pesantren dapat menggunakan bangunan lain sebagai tempat sementara santri beraktivitas.
Selain itu pesantren bertanggungjawab penuh dalam pembangunan infrastruktur seperti asrama, musala, dan madrasah sesuai dengan prinsip-prinsip keamanan sipil. Pesantren berperan sebagai pemimpin yang berkewajiban menjamin kenyamanan dan keamanan para santrinya dalam menuntut ilmu.
Hal ini telah tergariskan dalam kaidah fikih tasharruf al-imam ala al-ra’iyah manuth bi al-maslahah (kebijakan pemimpin berdasarkan pada maslahat rakyatnya).
Di antara bentuk pertanggungjawaban tersebut adalah melakukan pembangunan yang memenuhi standar-standar yang berlaku. Menteri Agama, Nasaruddin Umar berjanji akan memberikan perhatian khusus agar pembangunan pondok pesantren sesuai standar dan aturan yang berlaku.
Belajar dari peristiwa Ponpes Al-Khoziny, sudah selayaknya pondok pesantren menerapkan prinsip fiqhul bina’ dalam menjamin keselamatan dan rasa aman para santri dengan bangunan yang memenuhi standar. []