Nadran, ngunjungan dan sedekah bumi adalah lambang rasa syukur manusia pada Tuhan. Pada zat yang maha kuasa, yang memberi manusia kehidupan, memelihara bumi tempat kehidupan, dan yang melimpahkan rizki.
Ritual itu semacam bahasa simbolik dari kesadaran yang begitu dalam bahwa manusia hanyalah hamba. Yang tak punya kuasa tanpa kuasaNya. Sebuah laku kolektif yang mungkin susah untuk dipahami kita di zaman ini yang banyak melihat sesuatu dari aspek materialnya belaka.
Tapi bagi orang-orang di kampungku, nadran dan sedekah bumi itu semudah kita memahami bahwa kalau kita mengambil/menerima maka kita juga harus memberi. Kalau kita setiap hari mengambil makanan dari laut dan bumi, maka sudah seharusnya kita juga memberi kepada yang punya laut dan bumi. Ini filsafat masyarakat kita dahulu kala.
“Nadran” atau “nyadran” berasal dari bahasa Sansekerta “sradha” yang berarti keyakinan atau keimanan. Sradha merupakan aspek keimanan yang lekat dengan agama Hindu. Nadran berasal dari upacara dan ritual Hindu kuno di Nusantara yang masih dilestarikan masyarakat hingga Islam datang. Nadran sering diidentikkan dengan ritual melarung kepala kerbau di tengah laut sebagai ungkapan rasa syukur kepada Sang Pencipta. Oleh karenanya nadran biasa dilakukan oleh masyarakat bahari atau para pelaut yang menggantungkan penghidupannya dari hasil laut.
Ritual sejenis, ngunjungan, diidentikkan dengan masyarakat agraris, para petani yang penghidupannya bergantung dari hasil tanah. Ngunjung mungkin berasal dari kata “berkunjung” atau “berziarah” yakni mengunjungi makam leluhur desa, menaburkan kembang, dan memotong kepala kerbau. Beberapa daerah mengubur kepala kerbau di dalam tanah di samping pohon besar.
Seperti namanya, sedekah bumi adalah sedekah yang diberikan para petani di Jawa untuk mengungkapkan rasa syukurnya kepada Sang Pemelihara Bumi (tanah), sebagaimana para pelaut yang mengungkapkan rasa syukurnya kepada Sang Pemelihara Laut (air). Rasa syukur masyarakat ini tumbuh karena kesadaran dan kecintaan mereka terhadap tanah dan air. Oleh karena itu, konsep nadran, ngunjungan, dan sedekah bumi sejatinya adalah upaya manusia di Nusantara untuk menautkan dirinya dengan tanah airnya. Penautan ini bagian dari upaya mereka agar selalu sejalan dengan gerak kosmos.
Kecintaan manusia Indonesia dengan tanah airnya sangat susah untuk dihilangkan. Sebagai contoh adalah saat perayaan Idul Fitri, semua orang berbondong-bondong untuk balik ke kampung halamannya. Ini adalah asal muasal dari rasa cinta kepada bangsa atau nasionalisme. Ritual-ritual rakyat semacam nadran dan ngunjungan akan terus memastikan masyarakat Indonesia selalu terpaut dengan tanah airnya.
Secara praksis dan kasat mata, di pelosok-pelosok kampung, acara nadran, ngunjungan, sedekah bumi dan sejenisnya menciptakan ruang bagi bertemunya masyarakat. Upacara itu membuat anggota masyarakat bertemu, ngobrol, berbasa-basi, bekerja sama, gotong royong, dan akhirnya mempererat tali persaudaraan dan ikatan kolektif masyarakat. Ruang inilah yang tidak muncul dalam masyarakat perkotaan di perumahan-perumahan yang terkotak-kotak.
Salah seorang kuwu yang saya temui pernah mengatakan bahwa upacara rakyat membuat warganya guyub. Pada saat pacara memayu ganti welit (memelihara depok dengan mengganti atapnya yang terbuat dari welit) di komplek makam Syekh Magelung, dia merasa senang karena upacara tersebut mempertemukan warganya. Ada sebagian warga yang menginginkan agar atap depok diganti saja dengan genteng sehingga masyarakat tidak usah melakukan memayu dan mengganti welit setiap tahun. Selain merepotkan juga kalau dihitung-hitung menghabiskan biaya yang lebih mahal. Apalagi membuat welit di zaman sekarang sudah semakin susah.
Usulan tersebut tidak dihiraukan Pak Kuwu dan masyarakat lainnya karena bagi mereka upacara memayu bukan sekadar urusan untung rugi secara material, atau urusan repot dan sibuk. Memayu depok bagi mereka adalah tradisi yang perlu dipertahankan karena bisa menjalin silaturahmi dan mempererat persaudaraan masyarakat. Penggunaaan welit sebagai atap sebenarnya bertujuan agar setiap tahun bisa dilakukan perehaban atau memayu. Sehingga setiap tahun masyarakat Desa Dukuh bisa bersilaturahmi ke Karangkendal, mengetahui sejarah orang-orang tua terdahulu dan memupuk kebersamaan antar warga.
Ada hal lain yang menarik, baik saat nadran ataupun ngunjungan, maupun sedekah bumi. Kenapa yang selalu dikurbankan dalam acara tersebut adalah kerbau? Ini bisa jadi karena kerbau banyak terdapat di Jawa. Denys Lombard dalam Nusa Jawa: Silang Budaya mengatakan upacara kurban kerbau adalah upacara tertua yang ada di Jawa. Bakahn upacara ini tidak hanya ada di Jawa melainkan juga di seluruh Asia Tenggara bahkan hingga ke Tiongkok bagian selatan. Kerbau sebagai hewan yang dikorbankan mirip dengan mitologi India tentang Durga. Dalam patung Durga mahisasuramardini digambarkan Dewi Durga sedang membunuh raksasa dengan wujud kerbau.
Selain dalam upacara tertentu, orang Jawa pra-Islam juga menyembelih kerbau pada saat upacara kematian. Kepala kerbau yang disembelih kemudian ditaruh di atas makam sebagai tanda kuburan. Setelah Islam datang, tanda makam itu diganti dengan batu yang kemudian disebuh maesan. Louis-Charles Damais mengatakan disebut maesan karena bisa jadi penyebutan awalnya adalah maesa atau mahesa yang berarti kerbau.
Saat Islam datang ke Karangkendal, kurban kerbau tidak dihilangkan akan tetapi penyerahan kerbau sebagai persembahan sudah tidak dilakukan. Dari folklor ini kita bisa tahu bahwa kedatangan Islam banyak mengubah ritual masyarakat. Akan tetapi Islam tidak menghilangkan sama sekali ritual tersebut. Cerita mengenai Dewi Durga dan raksasa kerbau sudah hilang sama sekali dari kepala masyarakat, diganti dengan mitos baru tentang Ki Tersana dan demit pemakan kerbau. Mitos lama diganti dengan mitos baru. Sementara kerbau sebagai media utama ritual tetap bertahan hingga sekarang. []