Mubadalah.id – Dalam Islam, pernikahan adalah perjanjian kokoh yang diikat oleh kasih sayang, penghormatan, dan saling menumbuhkan kebaikan. Prinsip inilah yang dalam al-Qur’an disebut dengan mu’asyarah bil ma’ruf yaitu hidup bersama dengan cara yang baik, berkeadilan, dan saling menhormati.
Sebagaimana dijelaskan oleh Dr. Faqihuddin Abdul Kodir dalam buku Qiraah Mubadalah, prinsip mu’asyarah bil ma’ruf ini harus masuk ke dalam seluruh ajaran, hukum, dan pandangan keagamaan tentang pernikahan, keluarga, serta rumah tangga.
Artinya, semua pemaknaan terhadap ayat-ayat al-Qur’an, hadis, maupun tafsir dan fikih harus memastikan bahwa relasi laki-laki dan perempuan di dalamnya tidak menegasikan prinsip kesalingan dan kebaikan bersama.
Jika terdapat tafsir atau pandangan fikih yang keluar dari prinsip ini misalnya yang melegitimasi penindasan, paksaan, atau perendahan terhadap salah satu pihak terutama perempuan. Maka pandangan tersebut perlu kita kembalikan kepada nilai dasar mu’asyarah bil ma’ruf.
Sebab, perilaku yang menistakan, menindas, atau memaksa jelas bertentangan dengan akhlak mulia dan tujuan utama syariat Islam. Yaitu menghadirkan kemaslahatan bagi seluruh umat manusia.
5 Prinsip Mu’asyarah bil Ma’ruf
Dengan menjadikan prinsip mu’asyarah bil ma’ruf sebagai dasar, maka akan sejalan dengan maqashid al-syari’ah lima tujuan utama:
Pertama, hifzh al-nafs atau perlindungan jiwa, yang memastikan setiap individu, baik laki-laki maupun perempuan, memiliki hak hidup yang layak serta kualitas hidup yang terus meningkat dalam keluarga. Prinsip ini menolak segala bentuk kekerasan dan penelantaran dalam keluarga.
Kedua, hifzh al-din atau perlindungan agama, yang menjamin setiap anggota keluarga untuk beribadah dan beriman dengan penuh kesadaran. Tanpa ada tekanan, paksaan, atau kontrol berlebihan dari pasangan.
Ketiga, hifzh al-‘aql atau perlindungan akal, yang berarti Islam mendorong setiap anggota keluarga—baik suami, istri. Maupun anak-anak untuk terus belajar, berpikir kritis, dan mengembangkan pengetahuan.
Rumah tangga ideal bukan yang membatasi ruang intelektual perempuan. Tetapi yang justru menjadi tempat tumbuhnya gagasan dan kebijaksanaan bersama.
Keempat, hifzh al-nasl atau perlindungan keturunan, yang mencakup penghormatan terhadap hak-hak reproduksi dan pengasuhan anak secara adil.
Dan kelima, hifzh al-mal atau perlindungan harta, yang memastikan adanya keadilan dalam pengelolaan ekonomi keluarga. Harta dan nafkah keluarga harus menjadi sarana untuk mewujudkan kesejahteraan bersama. Di mana baik laki-laki maupun perempuan berhak atas rasa aman dan cukup secara ekonomi.
Dengan demikian, penerapan prinsip mu’asyarah bil ma’ruf dalam keluarga menjadi jalan untuk mewujudkan rumah tangga yang berkeadilan, berdaya, dan membawa kemaslahatan bagi semua pihak. []