Mubadalah.id – Tren sepuluh ribu di tangan istri yang tepat. sempat menuai hujatan dan cacian di platform media sosial Tik tok. Tren tersebut menampilkan seorang istri yang tengah membelanjakan uang belanja harian yang hanya sepuluh ribu dalam sehari. Tentu saja hal tersebut berhasil membuat para netizen muntab dan mengeluarkan sumpah serapah. Pasalnya, hal itu sama sekali terdengar tidak masuk akal.
Netizen pun terbagi menjadi dua, ada yang menganggap hal tersebut sebagai candaan. Karena dirasa tidak masuk akal untuk memberi makan satu keluarga sehari dengan nominal tersebut. Pastilah hal tersebut hanya dilakukan untuk konten belaka.
Namun, sebagian lagi berpendapat bahwa hal tersebut sangat tidak pantas untuk dilakukan. Selain karena tidak masuk akal nominal tersebut hanya bisa jika hidup sendirian. Dalam artian tidak punya kewajiban menafkahi orang lain.
Bertambah lagi, video tersebut menampilkan seorang perempuan yang tengah hamil. Tentu saja, netizen TikTok muntab melihatnya, bayangkan saja jika benar-benar belanja dengan nominal tersebut untuk kebutuhan pangan, maka sudah pasti bayi yang dikandung terancam mal nutrisi atau stunting.
Hal yang lebih mencengangkan lagi, tren tersebut telah memakan korban. Seorang dokter menceritakan pengalamannya tentang pasiennya yang tengah asma, namun telat terbawa ke rumah sakit.
Menurut cerita, pasien tersebut adalah seorang anak yang tengah mengalami serangan asma tiba-tiba. Namun, sang ibu, tidak bisa membawa anaknya ke rumah sakit tepat waktu saat itu karena tidak ada cukup uang dan menunggu suaminya pulang dari memancing bersama teman-temannya.
Pengaruh Tren Media Sosial
Selepas suaminya pulang, kedua suami istri pun membawa sang anak ke rumah sakit. Sang dokter pun menginterogasi kedua orang tua yang telat membawa anak mereka untuk berobat.
Sang istri menjawab bahwa sang suami pergi memancing selama seminggu dan hanya meninggalkan uang dua ratus ribu untuk keperluan dapur dan rumah. Lalu, saat sang anak tiba-tiba asma, si ibu pun tidak dapat membawa anaknya ke rumah sakit tepat waktu, karena uang nafkah tersebut tersisa hanya dua puluh lima ribu.
Mirisnya, sang suami malah menjawab dengan jawaban yang tidak terpikirkan sebelumnya akan keluar dari mulut seorang suami.
“Kamu itu bukan istri yang tepat, masa uang segitu tidak cukup. Di TikTok aja bisa, kok”.
Sungguh miris sekali, kewajiban menafkahi anak dan seorang istri tidak dapat ditunaikan dengan baik hanya karena terpapar video tren Tik tok, yang bisa jadi hanyalah sebuah konten belaka. Bukan realita.
Meminjam kosakata anak gen z hari ini, “in this economy” rasionalkah nominal tersebut untuk memberi makan satu keluarga dalam sehari? Miris.
Konsep Muasyarah bil Ma’ruf dan Refleksi Tren “Sepuluh Ribu”
Menikah adalah sebuah tanggung jawab yang besar. Berani memutuskan untuk menikah berarti berani dan siap menafkahi dan bertanggungjawab pada pasangan. Bertanggungjawab untuk menghormati, menghargai, menafkahi, mendidik, juga menuntun pasangan pada segala hal yang Allah ridlai. Tentu saja ini merupakan tanggung jawab yang sangat besar.
Menikah bukan seremeh ijab qabul, sah dan selesai. Menikah berarti juga berkomitmen untuk berbuat ihsan pada pasangan seumur hidup. Perbuatan ihsan ini dalam al-Quran, disebut dengan konsep muasyarah bil ma’ruf.
Konsep ini berdasarkan pada penggalan ayat Quran Surah an-Nisa’ ayat 19.
وَعَاشِرُوْهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِۚ
Konsep ini memiliki artian memperlakukan istri dengan baik. Para mufassir sebagian besar menyetujui bahwa ayat tersebut berobjek pada para suami.
Abu Ja’far ath-Thabari dalam tafsirnya, Tafsir ath-Thabari menjelaskan bahwa perintah tersebut memiliki artian wa shaahibuuhunna bil ma’ruuf, yang artinya perlakukan dan pergaulilah istri-istrimu dengan baik.
Penafsiran Para Ulama
Hal ini senada dengan pendapat Ahmad Musthofa Al-Maraghi, ayat tersebut mengandung perintah memperlakukan istri dengan baik. Yakni dengan tidak menyusahkan nafkah mereka, tidak menyakiti mereka dengan lisan maupun perbuatan, tidak menemui mereka dengan wajah yang masam dan berperilaku ramah karena perempuan diciptakan dengan hati yang lembut dan sudah qadratnya untuk kita perlakukan dengan baik.
Nawawi al Bantani, dalam Marah Labid menjelaskan ayat tersebut bermaksud pada berlaku adil dalam menginap dan menafkahi (jika istrinya lebih dari satu) juga perintah untuk berbicara dengan baik. Dalam tafsirnya, Quraisy Syihab menjelaskan bahwa kata al-ma’ruf memiliki maksud tidak mengganggu, tidak memaksa dan hal-hal serupa, dalam artian memperlakukan istri dengan sebaik-baiknya.
Jika kita lihat dari konsep muasyarah bil ma’ruf di atas, maka sudah sangat jelas bahwa tren “sepuluh ribu” menyalahi konsep aturan tersebut. Menafkahi adalah kewajiban suami, dan istri berhak mendapatkan nafkahnya.
Kalaupun memang dengan nominal tersebut ternyata dapat mencukupi kebutuhan atau nafkah dalam sehari ya tidak apa-apa, sah-sah saja. Namun, kurang etis jikalau terunggah ke media sosial. Mengingat kita hidup di era post truth, di mana fakta objektif sering terabaikan dan tergantikan oleh keyakinan emosional atau preferensi pribadi.
Fenomena post truth menunjukkan bagaimana opini publik tidak lagi terbentuk oleh fakta-fakta ilmiah atau data yang terverifikasi, melainkan lebih banyak terpengaruhi oleh emosi dan kepercayaan subjektif. Salah satu contohnya adalah korban dari tren “sepuluh ribu” tadi di mana sang suami meyakni bahwa dengan uang sepuluh ribu bisa untuk mencukupi kebutuhan pangan dan dapur dalam sehari. Padahal, bisa jadi hanya konten belaka, bukan?
Cinta Memang dari Hati, tapi Cinta Dirawat dengan Ekonomi
Tren “sepuluh ribu” ini berhasil mengingatkan saya pada sebuah lagu dangdut milik Zaskia Gotik berjuudul Bang Jono dengan penggalan lirik berikut.
Kau fikir hidup ini cuma makan batu
Kau fikir anakmu tak butuh susu
Susu yang inilah susu yang itulah
Susa susi susi susah
Penggalan lirik tersebut sangat menggambarkan bahwa cinta tidak hanya dapat terawat oleh rayuan dan gombalan semata. Ada banyak hal yang juga menjadi fondasi dalam cinta, salah satunya adalah finansial yang matang. Karena kita tidak mungkin makan cinta untuk hidup, bukan? Kalau di sinetron zaman dulu sih, katanya begini “makan tuh cinte!”.
Cinta adalah perasaan tulus yang lahir dari dalam hati—ia tak bisa kita paksakan, dibeli, atau kita buat-buat. Saat dua hati saling tertarik dan menyatu, cinta hadir sebagai kekuatan emosional yang memberi makna pada kebersamaan.
Namun, meski cinta bermula dari hati, mempertahankannya membutuhkan lebih dari sekadar rasa. Dalam realita hidup, cinta teruji bukan hanya oleh emosi, tapi juga oleh kebutuhan sehari-hari yang tak bisa terlepas dari aspek ekonomi.
Pentingnya Literasi Keuangan Keluarga
Dalam hubungan jangka panjang seperti pernikahan atau hidup bersama, faktor finansial seringkali menjadi penyebab utama pertengkaran atau bahkan perpisahan. Bukan karena cinta hilang, tapi karena tekanan hidup yang tak tertopang oleh perencanaan keuangan yang matang.
Rasa sayang memang mampu menenangkan hati, namun tidak akan bisa menggantikan biaya sewa rumah, belanja bulanan, atau kebutuhan anak. Ekonomi bukan pengganti cinta, tapi ia adalah fondasi yang menopang kehidupan bersama agar tetap stabil dan harmonis.
Oleh karena itu, merawat cinta berarti juga merawat kestabilan ekonomi. Saling terbuka soal keuangan, punya tujuan finansial bersama, dan saling mendukung dalam mencari atau mengelola rezeki adalah bentuk nyata dari cinta yang dewasa.
Hubungan yang sehat bukan hanya tentang kata-kata manis, tapi juga kerja sama menghadapi kerasnya hidup. Karena cinta yang hanya bergantung pada perasaan, tanpa ditopang oleh tanggung jawab dan kemampuan ekonomi, akan mudah rapuh saat terhantam realita. Maka di sini penting untuk memahami literasi keuangan keluarga.
Menjadi Perempuan yang Berdaya
Dari tren “sepuluh ribu” yang mengguncang jagat media sosial TikTok, banyak sekali pelajaran yang dapat dipetik. Salah satunya adalah pentingnya pemberdayaan perempuan.
Menjadi perempuan yang berdaya berarti memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan, mandiri secara emosional maupun finansial, serta mampu menentukan arah hidup sendiri.
Kemandirian ini bukan hanya soal memiliki pekerjaan atau penghasilan, tapi juga tentang kepercayaan diri dan kesadaran akan nilai diri sendiri. Perempuan yang berdaya tidak mudah didikte oleh tekanan sosial, dan mampu berdiri tegak bahkan ketika menghadapi tantangan dalam keluarga, pekerjaan, maupun kehidupan pribadi.
Dalam banyak konteks, perempuan sering kali berhadapan dengan ekspektasi yang membatasi ruang geraknya—harus lembut, harus patuh, atau harus bergantung pada orang lain.
Padahal, ketika perempuan diberi ruang untuk berkembang dan didukung untuk berdaya, dampaknya tidak hanya dirasakan oleh dirinya sendiri, tapi juga oleh keluarga dan masyarakat luas. Perempuan yang cerdas dan mandiri dapat menjadi pendidik pertama yang kuat bagi anak-anaknya dan penggerak perubahan di lingkungan sekitarnya.
Pemberdayaan perempuan bukan sekadar isu feminisme atau kesetaraan gender, tapi tentang menciptakan dunia yang lebih adil dan seimbang. Saat perempuan memiliki akses pada pendidikan, pekerjaan yang layak, serta ruang untuk menyuarakan pendapat, maka seluruh masyarakat akan ikut tumbuh. Menjadi perempuan yang berdaya adalah bentuk penghormatan terhadap diri sendiri, dan juga kontribusi nyata terhadap masa depan yang lebih baik bagi semua.
Berani, Lepas dan Bebas
Untuk menanggapi tren ini, saya akan mengutip cuitan warga X. Make money, so you can walk away from situatiosn you don’t like. Cuitan anonim ini terasa relevan saat ini, meskipun uang bukan segalanya, tapi di dunia ini apa yang tidak butuh uang? Sudah bukan zamannya, perempuan hanya duduk manis sambil menanti jatah nafkah dari suami.
Perempuan-perempuan hari ini harus berani keluar dari zona yang mengekang dan menggarisi langkah mereka seolah memberi batas. Perempuan bukan diciptakan hanya untuk menikah, melayani suami, melahirkan anak, merawat keduanya lalu mati. Perempuan terciptan di dunia untuk melahirkan peradaban, dan yang melahirkan peradaban sudah sepatutnya memiliki kebebasan atas dirinya sendiri.
Mengutip nasihat Ning Khilma Anis, “Hadiah terhebat kita sebagai perempuan untuk diri kita sendiri adalah kebebasan. Bebas lepas. Punya sayap sendiri untuk terbang. Kalau perempuan mandiri, dia hanya berharap dari apa yang diusahakan sama kaki dan tangannya sendiri. Berdiri di kaki sendiri sebisa-bisanya.”
Maka, mari jadi perempuan yang menghargai dan menghormati dirinya sendiri. Dan bagi laki-laki, jadilah laki-laki yang lakunya lelaki. Menghargai perempuan sesuai perintah Tuhan, karena yang melahirkan peradaban tidak patut kita lecehkan. []










































