Mubadalah.id – Dalam banyak teks keagamaan populer, surga sering digambarkan sebagai tempat penuh kenikmatan tanpa batas. Salah satu bentuk kenikmatan yang sering diglorifikasi adalah kenikmatan seksual bagi laki-laki dengan bidadari-bidadari yang cantik jelita, muda selamanya, dan selalu siap melayani.
Gambaran ini sudah lama hidup dalam pandangan keagamaan sebagian umat Islam, bahkan menjadi semacam “motivasi spiritual” untuk beribadah, berjihad, atau menjalani kehidupan dunia dengan janji balasan di akhirat.
Namun, benarkah surga dalam Islam hanya untuk memenuhi hasrat laki-laki? Di mana posisi perempuan dalam kenikmatan surga ini?
Pertanyaan inilah yang dikaji oleh Dr. Faqihuddin Abdul Kodir dalam buku Perempuan Bukan Makhluk Domestik. Ia menelusuri sejumlah hadis tentang aktivitas seksual di surga yang selama ini menjadi rujukan sebagian orang dalam membangun pandangan yang maskulin tentang akhirat.
Hadis-hadis Seksual dan Kelemahan Sanadnya
Kiai Faqih menyoroti beberapa hadis dalam kitab yang membahas aktivitas seksual di surga. Misalnya, hadis ke-267 dan ke-268 menggambarkan hubungan seksual tanpa henti, penis yang tak pernah lunglai, vagina yang tak pernah kendur, dan orgasme simultan kapan pun ia inginkan.
Sekilas, hadis-hadis ini tampak menawarkan narasi “keabadian kenikmatan” yang sangat fisikal. Namun, menurut penelusuran editor kitab tersebut, Abdurrahim al-‘Asaslah, sanad kedua hadis ini lemah (dha‘if), dan tidak ia temukan dalam kitab-kitab hadis mu‘tabar seperti Sahih Bukhari, Sahih Muslim, Sunan Tirmidzi, Abu Dawud, Ibn Majah, dan Nasa’i.
Hal yang sama juga terjadi pada hadis-hadis berikutnya. Hadis ke-269 sampai 272, misalnya, menceritakan kemampuan laki-laki surga untuk menyetubuhi seratus perawan sekaligus.
Sanad hadis-hadis ini sebagian dha‘if, sebagian lagi diklaim sahih, tetapi tidak ditemukan dalam kitab-kitab yang diakui otoritatif oleh mayoritas ulama hadis.
Begitu pula dengan hadis ke-273 sampai 276 yang menggambarkan laki-laki surga yang “super sibuk” memecah keperawanan ribuan perempuan. Semua sanadnya juga lemah.
Sementara itu, hadis ke-278 hingga ke-289 berbicara tentang kecantikan bidadari surga yang konon mengalahkan cahaya bumi, tidak pernah menua, tidak menstruasi, tidak buang air, dan tidak memiliki anak.
Sekali lagi, sebagian besar sanad hadis-hadis ini pun lemah. Hanya dua hadis yang dinilai kuat, tetapi juga tidak ditemukan di dalam kitab mu‘tabar.
Dari kajian sanad ini, tampak bahwa sebagian besar teks yang menggambarkan surga sebagai ruang seksual bagi laki-laki tidak memiliki dasar hadis yang kuat.
Artinya, narasi tentang “kenikmatan surga” bukanlah sesuatu yang kokoh Islam. Ia lebih merupakan hasil konstruksi imajinatif dan interpretatif yang kemudian berkembang di kalangan masyarakat.
Kritik Sanad dan Matan
Di titik ini, Kiai Faqih mengajak pembaca untuk tidak hanya berhenti pada kritik sanad. Tetapi juga melangkah ke kritik matan—isi dan pesan hadis.
Mengapa sebagian besar teks ini menempatkan laki-laki sebagai subjek dan perempuan sebagai objek kenikmatan? Mengapa surga digambarkan sebagai ruang pelampiasan libido laki-laki, sementara perempuan tampak pasif dan semata-mata menjadi hadiah?
Pertanyaan ini penting karena cara kita membayangkan surga sesungguhnya mencerminkan cara kita memandang relasi gender di dunia. Ketika perempuan hanya hadir sebagai objek kenikmatan seksual dalam kehidupan akhirat. Maka secara tidak sadar kita juga menormalisasi objektifikasi perempuan dalam kehidupan dunia.
Oleh sebab itu, pandangan keagamaan semacam ini memperkuat pandangan patriarkal yang menempatkan perempuan sekadar pelengkap atau alat pemuas hasrat. []