Mubadalah.id – Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LP2M) Universitas Islam Negeri (UIN) Siber Syekh Nurjati Cirebon (SSC) Dr. Faqihuddin Abdul Kodir menjelaskan bahwa Fiqh al-Murunah, ia tumbuh dari kesinambungan intelektual dengan karya-karya ulama progresif sebelumnya. Kiai Faqih menyebut dua nama penting yang menjadi inspirasinya: Dr. Rof’ah dari Muhammadiyah dan Dr. Arif Maftuhin dari Nahdlatul Ulama.
Melalui riset dan pemikiran mereka, keduanya telah menegaskan pentingnya melihat disabilitas dalam perspektif kemanusiaan yang utuh dan berkeadilan.
“Saya banyak memetik inspirasi dari keduanya. Dari buku-buku Fiqh Disabilitas NU dan Muhammadiyah, saya mencoba merumuskan satu kerangka baru yang lebih mudah diingat dan diterapkan. Terutama untuk kerja-kerja advokasi,” kata Kiai Faqih.
Kerangka ini, lanjutnya, penting untuk menjembatani dunia akademik, pesantren, dan gerakan sosial. Bahwa isu disabilitas bukan hanya isu medis atau sosial, melainkan isu keagamaan dan keadilan yang memerlukan respons teologis dan etik dari para ulama.
Fiqh yang Lentur, Partisipatif, dan Memberdayakan
Fiqh al-Murunah yang berarti fiqh kelenturan atau fiqh yang fleksibel menawarkan cara pandang baru terhadap hukum Islam yang lebih adaptif terhadap keragaman manusia. Lentur di sini tidak berarti kompromistis, melainkan mampu menyesuaikan diri dengan konteks tanpa kehilangan substansi moral dan spiritualnya.
Dalam paradigma ini, hukum Islam dipahami sebagai sistem nilai yang hidup dan bergerak bersama manusia. Ia bukan instrumen penghakiman, tetapi sarana pembebasan. “Fiqh seharusnya tidak mempersulit manusia, melainkan memuliakan pengalaman hidup mereka,” ujar Kiai Faqih.
Fiqh al-Murunah juga menegaskan pentingnya partisipasi penyandang disabilitas dalam perumusan hukum. Tidak cukup lagi bagi ulama non-difabel untuk menafsirkan dari luar; harus ada ruang bagi mereka yang hidup dengan disabilitas untuk menafsirkan dari dalam. []






































