Mubadalah.id — Di banyak tempat di Indonesia, tubuh perempuan masih dikontrol oleh tradisi yang menyakitkan. Salah satu praktik paling mengkhawatirkan adalah pemotongan atau perlukaan genitalia perempuan (P2GP), yang hingga kini masih terus dijalankan di sejumlah wilayah.
Bagi sebagian masyarakat, praktik ini sering kali mereka bungkus dengan narasi agama dan adat, seolah menjadi bentuk penyucian diri. Padahal, faktanya, P2GP adalah bentuk kekerasan terhadap tubuh perempuan yang berisiko tinggi dan dapat mengancam nyawa.
Menurut penjelasan Maria Ulfah Anshor dalam Kupipedia.id, praktik P2GP mereka lakukan dengan berbagai cara. Di antaranya mulai dari memotong sebagian hingga seluruh bagian klitoris, bahkan labia minora dan labia mayora. Ada pula yang hanya melukai sebagian kecil klitoris atau melakukannya secara simbolik.
Namun, berbagai penelitian menunjukkan bahwa bentuk seperti itu justru sangat sedikit terjadi. Data PSKK UGM (2017) dan Komnas Perempuan (2017) mengungkapkan bahwa sebagian besar praktik P2GP di Indonesia menyebabkan luka nyata pada alat kelamin perempuan.
Lebih lanjut, penelitian PSKK UGM menemukan bahwa sekitar 60 persen praktik P2GP melibatkan pemotongan atau penggoresan bagian organ genital seperti klitoris dan preputium.
Bahkan 28 persen orang tua melaporkan bahwa bagian klitoris anak mereka yang ia potong, dan 6 persen menyebutkan terjadinya penggoresan di sekitar uretra area yang sangat sensitif dan vital bagi fungsi reproduksi serta sistem kemih perempuan. Hanya 1,2 persen yang mereka lakukan. Fakta ini membantah pandangan umum bahwa P2GP di Indonesia hanyalah “tradisi ringan” yang tidak melukai.
Lebih memprihatinkan lagi, praktik ini banyak dilakukan oleh tenaga medis seperti bidan, perawat, mantri dan dukun anak.
Paket Melahirkan
Dalam konteks layanan kesehatan, sebagian praktik P2GP bahkan menjadi bagian dari “paket melahirkan”, dilakukan ketika bayi baru lahir atau sebelum anak perempuan berusia empat bulan.
Menurut data, hampir setengah dari seluruh kasus orang-orang lakukan pada usia di bawah empat bulan, dan 24 persen sebelum anak mencapai usia tiga tahun.
Padahal, dari sisi medis, P2GP tergolong sebagai praktik berbahaya (harmful practices). Organisasi Kesehatan Dunia (WHO, 2010) menegaskan bahwa pemotongan bagian genital perempuan tanpa alasan medis adalah pelanggaran terhadap hak asasi manusia.
Tindakan ini dapat menimbulkan komplikasi serius seperti infeksi, perdarahan hebat, gangguan kemih, trauma psikologis, dan infertilitas. Bahkan dapat berujung pada kematian anak perempuan akibat kehilangan darah atau infeksi yang tidak tertangani. []







































