Mubadalah.id – Salah satu tujuan pernikahan dalam ajaran Islam adalah untuk menghadirkan cinta (mawaddah), kasih sayang (rahmah), dan ketenangan (sakinah) dalam sebuah keluarga.
Tujuan yang tersirat dalam al-Qur’an surat Ar-Rum ayat 21 ini menjadi fondasi bagaimana relasi rumah tangga yang ideal dapat menghadirkan kasih sayang, ketenangan, dan cinta antara laki-laki dan perempuan.
Namun dalam kenyataan sosial, tujuan pernikahan itu sering kali diubah oleh tafsir keagamaan dan praktik budaya yang masih bias patriarkhi.
Bahkan, banyak ketentuan hukum fikih yang semula dimaksudkan untuk melindungi hak-hak keluarga justru dijadikan legitimasi untuk mendominasi dan mendiskriminasi salah satu pihak, terutama perempuan.
Padahal, sebagaimana dijelaskan oleh Dr. Faqihuddin Abdul Kodir dalam Kupipedia.id, prinsip mawaddah, rahmah, dan sakinah semestinya dirujuk untuk mengoreksi praktik-praktik hukum fikih yang berpotensi menimbulkan ketimpangan relasi dalam keluarga.
Islam hadir bukan untuk memperkuat menguasai satu pihak atas pihak lain, melainkan untuk menegakkan keadilan sosial. Termasuk dalam ranah domestik rumah tangga.
Reaktualisasi Konsep Properti Keluarga
Dalam konteks hari ini, prinsip keadilan ini perlu kita wujudkan melalui reaktualisasi konsep-konsep ekonomi keluarga seperti nafkah, maskawin, dan kepemilikan harta bersama.
Sebab, perubahan sosial telah menggeser peran-peran tradisional dalam keluarga. Perempuan kini banyak yang bekerja di ruang publik. Sementara sebagian laki-laki juga terlibat aktif dalam pengasuhan dan kerja domestik.
Karena itu, tafsir lama yang menempatkan laki-laki semata sebagai pemberi nafkah dan perempuan sebagai penerima pasif sudah tak lagi relevan.
Reaktualisasi diperlukan untuk memastikan bahwa setiap anggota keluarga—baik laki-laki maupun perempuan—memiliki keberdayaan ekonomi dan rasa aman dalam kehidupan rumah tangga.
Kiai Faqih menegaskan, perempuan tidak boleh didiskriminasi hanya karena ia menerima nafkah dari suaminya. Atau memilih untuk tidak bekerja di luar rumah.
Sebaliknya, laki-laki juga tidak selayaknya kita sudutkan ketika tidak mampu sepenuhnya memenuhi kewajiban nafkah karena situasi sosial-ekonomi yang tidak menentu.
Dalam pandangan Islam, keadilan adalah tanggung jawab dengan berdasarkan kesepakatan, kemampuan, dan kasih sayang. []

 
			



































 
					
					






