Mubadalah.id – Media hiburan sedang memberitakan kasus perceraian dua pasangan selebritas: Raisa dan Hamish Daud serta Sabrina dan Deddy Corbuzier. Saya sama sekali tidak mengetahui musababnya, namun saya memaklumi keputusan tersebut. Pastilah itu yang terbaik untuk keduanya. Saya pun memahami komentar para pembaca terkait peristiwa tersebut.
Mereka memiliki kebebasan untuk berkomentar dan bersikap. Ada yang respek terhadap sikap Raisa dan Hamish Daud yang berkomitmen kuat untuk tetap mempertahankan cinta keduanya kepada anak semata wayangnya. Terhadap pasangan Deddy dan Sabrina pun demikian. Ada yang memuji, pun sebaliknya. Seperti manusia yang tidak akan mampu mengatur kapan kematian itu akan tiba, begitulah watak para komentator di media sosial; saya tidak bisa mengatur mereka.
Raisa dan Hamish Daud menikah pada 3 September 2017. Saat itu, ada yang menyebut peristiwa tersebut sebagai “Hari Patah Hati Nasional”. Para penggemar Raisa yang jelita merasa bahwa pernikahan itu telah merebut pujaan hatinya. Pun bagi mereka yang menggemari ketampanan Hamish Daud, seolah lelaki pujaan itu telah hilang dan jatuh dalam pelukan Raisa.
Pernikahan Deddy dan Sabrina
Berbeda dengan pernikahan Deddy dan Sabrina, komentar yang muncul sebatas pada selisih usia mereka yang 16 tahun. Komentar publik sebatas meragukan apakah Sabrina ataupun Deddy mampu beradaptasi dalam perahu pernikahan. Sekali lagi, apa pun komentar publik itu harus kita bebaskan.
Banyak orang berpandangan bahwa pernikahan Raisa dan Hamish Daud adalah wujud dari kesempurnaan pasangan rumah tangga. Perempuan jelita menikah dengan lelaki rupawan yang bertalenta pula. Kesan itu menumpulkan akal sehat, seolah pernikahan itu telah sempurna hanya karena terpenuhinya syarat ketampanan, jelita versus ganteng, lalu klop.
Tidak jauh berbeda dengan pernikahan Deddy dan Sabrina. Seolah pernikahan itu menyempurna ketika Deddy, seorang pesohor berharta banyak, bertemu dengan Sabrina yang juga memiliki kemampuan finansial serupa. Kecukupan harta seolah telah mampu memenuhi semua persyaratan dalam pernikahan. Hemat saya, asumsi itu keliru karena hanya melihat sebagian kecil dari banyak sudut pandang.
Melampaui Asumsi Umum
Jujur, pernikahan setiap pasangan itu tidak seindah cerita dalam buku stensilan atau tontonan drama berseri dalam sinetron. Pasangan suami istri harus mempertemukan dua jiwa dari latar belakang berbeda yang membentuk watak seseorang.
Wujudnya pasti akan berbeda dengan pasangannya. Jangankan dengan pasangan yang berbeda jenis kelamin, latar belakang pendidikan, dan budaya; anak-anak yang lahir dari satu rahim dan dibesarkan dalam kultur pendidikan oleh orang tua yang sama, hasilnya bisa sangat berbeda. Itulah hakikat watak manusia. Jadi, salah satu tahapan pernikahan adalah membijakkan perbedaan dengan penuh kedewasaan.
Selama 23 tahun menjalani masa pernikahan, saya tidak pernah jeda untuk belajar beradaptasi dengan istri. Tidak heran jika pagi-pagi sudah ada teguran yang terus berulang, “Kalau buang air kecil, disiram dengan benar dong, masa brecetan begitu sisanya….” Itu keluh istri. Agar tidak terlalu merasa dipersalahkan, saya membalas, “Kalau habis pakai pantiliner atau pembalut, jangan ditinggal di atas kloset dong, kan nggak bagus….” balasku.
Tidak lama kemudian muncul keluhan lain, “Kalau mencet odol itu dari bawah, lalu nutupnya yang benar. Sebel deh, odol kok selalu dipencet di bagian tengah, lalu nutupnya miring lagi.” Saya memutuskan untuk berhenti membalas. Jika saya teruskan, maka hingga sore aksi berbalas keluhan itu tidak akan ada habisnya.
Wajah pernikahan itu memang sangat dinamis dan unik. Ada yang bilang pernikahan itu ibarat orang memasang sekrup untuk merekatkan sebuah benda. Memadukan dua komponen. Mur dan baut agar menjadi satu ikatan yang kuat dan kokoh itu butuh proses panjang dan terkadang tidak mudah. Bahkan ketika keduanya sudah terpasang, eh, belakangan kita ketahui masih terasa kurang kuat.
Setelah kita teliti dengan cermat, ternyata cara memasangnya kurang benar-benar pas, meskipun antara baut dan mur sudah bisa berpasangan dan tampak serasi. Cara memasangkan baut dan mur itu juga tidak selalu sama bagi setiap pasangan. Ada yang prosesnya cepat dan mudah, ada yang butuh waktu lama. Bahkan ada yang gagal sama sekali untuk bisa terpasangkan.
Memperbarui Niat
Kembali pada peristiwa perceraian dua pasangan pesohor yang saya sebut di atas, apa yang kurang dari mereka? Jawabannya hanya mereka berempatlah yang tahu, karena kualitas hubungan pasangan dalam suatu pernikahan itu unik dan sarat misteri. Untuk menjalani keunikan itu, saya selalu berusaha kembali pada niat pernikahan yang terus-menerus saya tinjau dan perbarui setiap saat.
Jika niat seseorang menikah hanya karena ingin menaklukkan kejelitaan dan kerupawanan pasangan, lalu ia hanya akan menjadikannya sebagai objek pemuas hasrat seksual semata, maka tidak butuh waktu lama untuk menerima kekecewaan. Sebab, kecantikan dan kegantengan seseorang itu segera pudar. Tidak butuh waktu lama bagi masing-masing orang untuk menampakkan keasliannya.
Tidak jarang, orang yang dulunya kita persepsi sangat rupawan ternyata kalau tidur ngorok, mulut terbuka lebar, terkadang ngiler. Saat hendak bangun tidur, masing-masing tidak jarang harus beradu kentut. Tapi semua peristiwa itu akan terasa biasa saja, bisa kita terima dengan bahagia, jika niat pernikahannya sudah mampu melampaui batas keelokan wajah dan pesona pasangan.
Ketika niat seseorang untuk menikah hanya karena ingin menikmati harta pasangan yang dipersepsi banyak dan sarat kemewahan, maka ia harus waspada. Jangan-jangan setiap kemewahan yang tertampilkan oleh calon pasangan itu tidak seperti yang terlihat oleh kasat mata.
Apakah kelimpahan harta itu benar-benar miliknya, atau sekadar performa sementara? Harta, pangkat, jabatan bisa sangat mungkin hilang dalam sekejap. Pastinya, semuanya akan berhenti pada batas yang telah ditentukan. Tidak ada yang abadi.
Praktik Kesalingan dalam Rumah Tangga
Ketika sebuah pasangan sudah berusaha memperbarui niat, maka jejak lanjutan yang harus dilalui adalah kesediaan untuk membuka hati dan pikiran dengan lebar untuk menerima semua hal yang terjadi pada pasangan. Kebahagiaan dalam setiap pasangan tidak akan pernah bisa diraih tanpa adanya praktik kesalingan dalam setiap tahapan kehidupan rumah tangga.
Misalnya, sebuah pasangan tentu memiliki hasrat untuk melakukan aktivitas jalan-jalan, makan di luar, menonton bioskop, olahraga, dan sebagainya. Semua aktivitas yang bisa membahagiakan, jika kita lakukan dengan prinsip kesalingan.
Sebaliknya, ketika semua aktivitas yang seharusnya menyenangkan itu dilakukan hanya untuk memenuhi keinginan salah satu pihak, maka hasilnya akan berkebalikan. Terkadang seseorang harus rela untuk saling memahami dan mengalah demi memenuhi harapan dan pilihan pasangan.
Pernikahan itu bukan tentang mencari pasangan yang sempurna, melainkan tentang memadukan dua insan yang bersedia untuk tumbuh, belajar, dan saling menguatkan ketika harus terjatuh hingga rapuh. Cermin pernikahan bisa saja retak, tetapi dari setiap retakan itu selalu ada cahaya kejujuran, penerimaan, kesalingan, dan cinta yang tak berhenti kita perbarui. []











































