Mubadalah.id – Nyai Hj. Badriyah Fayumi dalam tulisannya di Kupipedia.id menjelaskan bahwa pembacaan tekstual terhadap al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 282 akan menghasilkan kesimpulan bahwa nilai kesaksian perempuan hanya setengah dari laki-laki. Bahkan membatasi wilayah kesaksian perempuan hanya pada urusan keuangan.
Dari sinilah muncul pandangan bahwa dalam kasus-kasus pidana, seperti hudūd atau qishāsh, kesaksian perempuan dianggap tidak sah.
Namun, menurut Nyai Badriyah, cara baca seperti ini perlu kita kritisi dan buka ruang reinterpretasi. Sebab, ayat tersebut berbicara dalam konteks spesifik yaitu transaksi utang-piutang pada masa ketika perempuan belum banyak terlibat dalam urusan publik, termasuk administrasi keuangan.
Dengan demikian, ketentuan dua perempuan untuk satu laki-laki bukanlah ukuran nilai moral atau intelektual, melainkan langkah antisipatif agar kesaksian menjadi lebih akurat di tengah kondisi sosial saat itu.
Lebih jauh, Nyai Badriyah mengingatkan bahwa dalam al-Qur’an terdapat beberapa ayat lain yang juga berbicara tentang kesaksian, seperti QS. An-Nisa (4):15, QS. Al-Maidah (5):106, QS. An-Nur (24):4, dan QS. Ath-Thalaq (65):3).
Namun, menariknya, ayat-ayat ini tidak menyebutkan adanya pembatasan dalam kesaksian. Dalam konteks ini, dapat kita simpulkan bahwa al-Qur’an sendiri tidak secara universal membatasi kesaksian perempuan. Melainkan berbicara sesuai konteks peristiwa dan kebutuhan sosial yang terjadi saat wahyu turun.
Konstruksi Sosial
Selain cara baca yang tekstual, Nyai Badriyah juga menyoroti konstruksi sosial dan budaya yang telah lama menempatkan perempuan sebagai makhluk kelas dua: dianggap emosional, kurang cerdas, tidak sempurna, dan lebih banyak di ranah domestik.
Pandangan seperti ini kemudian memengaruhi proses pembentukan hukum Islam klasik, yang pada akhirnya menghasilkan kesimpulan-kesimpulan fikih yang bias gender.
Padahal, jika menilik sejarah Islam awal, banyak perempuan yang memiliki kapasitas intelektual yang tinggi, bahkan menjadi saksi penting dalam berbagai peristiwa keagamaan dan sosial pada masa Nabi.
Misalnya, Sayyidah Aisyah ra., yang menjadi salah satu perawi hadis terbanyak dan menjadi rujukan para ulama besar. Hal ini membuktikan bahwa perempuan memiliki kemampuan kognitif dan integritas yang sama dengan laki-laki. []









































