“Ibu, Ayah pergi dengan perempuan lain. Dia pergi dan menitipkanku di rumah nenek.”
Mubadalah.id – Suara di ujung telepon bergetar, lirih, dan pecah di tengah isaknya. Suara Rania, anak semata wayangku yang baru berusia dua belas tahun, menghantam dadaku lebih kuat daripada apa pun yang pernah kurasakan. Aku berdiri terpaku di lorong asrama pekerja, ponsel masih menempel di telinga, sementara tubuhku seperti tidak lagi punya tulang.
Hatiku mencelos. Ada amarah yang membuncah, tapi tak sanggup menemukan suara untuk keluar. Kesal pada suamiku. Geram pada keadaan. Marah pada kenyataan bahwa aku, seorang ibu yang bekerja di negeri jauh untuk masa depan keluarganya, justru harus menerima kabar paling menyakitkan, bahwa suamiku memilih menikah lagi dengan perempuan lain dan pergi begitu saja.
Aku memejamkan mata ketika kata-kata lamanya kembali muncul:
“Kebutuhan seksku tidak terpenuhi, An. Lama-lama aku bisa impotensi. Tolong pahami.”
Ucapan itu muncul beberapa bulan lalu, di sela-sela panggilan videonya yang dingin. Ia memintaku mengizinkannya menikah lagi. Seakan kesetiaanku adalah beban. Seakan pengorbananku tidak cukup untuk menahannya tetap menjadi suami yang bisa dipercaya. Meski aku tak pernah memberi izin, ia tetap melakukannya. Nikah sirri, diam-diam, dengan Soraya, mantan kekasihnya yang belum lama bercerai.
Telepon dari Rania petang ini menjadi batas kesabaranku. Aku terduduk di lantai kamar sempit asrama, memeluk lutut dan membiarkan tangis jatuh tak terbendung. Ujung sajadah ini menjadi saksi. Sajadah kecil di pojok kamar menjadi tempatku tersungkur malam itu. Doa mengalir, tapi tidak lagi sekadar pengharapan. Lebih seperti permintaan agar aku diberi keberanian untuk memilih. Bertahan dalam pernikahan yang rapuh, atau berhenti menyiksa diri.
Tapi ketika memikirkan Rania, hatiku kembali gentar. Bagaimana masa depannya? Bagaimana nanti ketika ia menikah? Siapa yang akan menjadi walinya? Pertanyaan-pertanyaan itu menggantung di udara, membuat napasku sesak.
Hidup Harus Terus Berjalan
Keesokan harinya, aku tetap berangkat kerja. Mengurus lansia yang harus dimandikan, memindahkan tubuh mereka yang ringkih dari kursi roda ke tempat tidur, menyiapkan obat, menenangkan mereka yang linglung. Pekerjaan itu selalu membuatku merasa berguna. Tapi hari itu, hatiku jauh dari tempatku berdiri. Setiap jeda, setiap suara ketukan pintu, mengingatkanku pada telepon dari Rania.
Saat istirahat makan siang, aku duduk di taman kecil belakang panti, menatap daun-daun kering yang tertiup angin. Ponselku bergetar. Pesan dari ibuku, Rania masih menangis. Minta bicara sama kamu nanti malam.
Aku menelan ludah yang terasa seperti batu.
Sore itu, sebelum jam kerja habis, aku memberanikan diri meminta izin pulang lebih awal.
Di kamar, aku langsung menekan tombol panggilan video. Rania muncul dengan mata sembap, rambutnya berantakan, tapi ia berusaha tersenyum.
“Ibu pulang, ya?” suaranya lirih, penuh harap.
Aku menatap wajah kecil itu, lalu mengangguk mantap. “Ibu pulang. Ibu sudah cukup jauh terlalu lama.”
Wajahnya langsung berubah. Ada lega di sana, ada sedikit bahagia yang mulai kembali tumbuh.
Begitu telepon ditutup, aku membuka aplikasi tiket. Tanpa banyak berpikir, jari-jariku menekan tombol pembelian. Air mata kembali jatuh, tapi kali ini rasanya lebih ringan.
Malam itu, aku kembali menangis di ujung sajadah. Namun doaku berubah. Aku tidak lagi meminta agar Mas Salman kembali berubah. Aku meminta kekuatan untuk berubah sendiri.
Pulang
Dua minggu kemudian aku tiba di rumah ibuku. Begitu keluar dari mobil sewaan, Rania berlari sekuat tenaga dan menerjang pelukanku. Tubuh mungilnya yang bergetar di dadaku membuatku ingin menangis lebih keras.
“Maaf ya, Nak,” bisikku. “Ibu lama pulangnya.”
“Yang penting Ibu sekarang di sini,” jawabnya.
Di rumah, ibuku menjelaskan bagaimana Mas Salman datang beberapa hari lalu. Ia tak tampak menyesal. Tidak menanyakan Rania. Hanya meminta maaf seolah sedang membayar utang kecil yang terlupa. Ibuku berkata ia bahkan sempat tertawa saat bercerita tentang Soraya.
Aku duduk diam, meremas jemariku sendiri. Mungkin saat itu juga aku sadar, aku tidak kehilangan suami yang baik. Aku hanya melepas seseorang yang seharusnya pergi sejak lama.
Memilih Berpisah
Beberapa hari setelah kepulanganku, aku akhirnya menghadap Pengadilan Agama untuk mengajukan gugatan cerai. Ruang tunggu yang ramai membuatku sedikit gugup, tapi ketika melihat Rania duduk di sampingku, menggenggam tanganku, rasa gentar itu perlahan hilang.
“Ibu yakin?” tanya petugas pengadilan saat memeriksa berkas.
“Iya,” jawabku tanpa ragu.
Menulis permohonan cerai bukan hal yang mudah. Ada rasa bersalah, rasa kehilangan, dan rasa takut menghadapi tatapan orang. Tapi ada yang lebih kuat dari semua itu, keinginan untuk hidup dengan tenang bersama Rania.
Prosesnya panjang, melelahkan, dan sering membuatku ingin menyerah. Tapi setiap kali aku ingin mundur, aku mengingat wajah Rania di ujung telepon malam itu. Aku tidak ingin anakku tumbuh menyaksikan ibunya bertahan dalam hubungan yang timpang dan menyakitkan. Berkubang, dan larut dalam kesedihan.
Beberapa bulan kemudian, putusan resmi turun. Aku resmi bercerai.
Aku menangis kembali di ujung sajadah saat menerima kabar itu. Tapi bukan karena hancur. Lebih karena akhirnya bebas. Bebas dari janji-janji kosong. Lepas dari rasa bersalah yang bukan milikku. Bebas dari laki-laki yang hanya menjadikan agama sebagai alasan untuk mengkhianati.
Memulai Lembaran Baru
Hidupku pelan-pelan menemukan bentuk baru.
Aku mendapat pekerjaan di klinik kesehatan dekat rumah. Tidak mewah, tetapi cukup untuk membangun rutinitas yang membuatku merasa berarti. Setiap sore, aku pulang tepat waktu, memasak makan malam bersama Rania, mendengarkan ceritanya tentang sekolah, mengantarnya latihan menari.
Rania tumbuh menjadi anak yang kuat. Ia jarang menyinggung ayahnya. Kadang aku menemukan ia termenung, tapi begitu sadar aku memperhatikannya, ia tersenyum. Anak ini, pikirku, jauh lebih dewasa daripada usianya.
Suatu sore, kami duduk di teras sambil menikmati teh. Hujan baru saja berhenti. Udara terasa lembut.
“Ibu menyesal nggak?” tanyanya tiba-tiba.
Aku menatapnya. “Tentang apa?”
“Cerai dari Ayah.”
Aku menghela napas pendek sebelum menjawab. “Tidak, Nak. Ibu justru merasa baru mulai hidup.”
Rania tersenyum kecil. “Aku juga, Bu. Rumah lebih tenang sekarang.”
Ia menyandarkan kepalanya di pundakku. Tangannya menggenggam tanganku erat, seolah memastikan bahwa kami akan baik-baik saja.
Malam itu, ketika aku kembali menumpahkan rasa di ujung sajadah, aku tidak lagi menangis seperti dulu. Doaku lebih pelan, lebih tenang. Aku berterima kasih pada diri sendiri yang berani memilih jalan yang sulit. Dan aku berterima kasih pada Tuhan, karena akhirnya aku menemukan keberanian untuk melepaskan masa lalu.
Aku tidak tahu apa yang menunggu di depan. Tapi aku tahu satu hal, aku tidak lagi berjalan sendirian. Aku dan Rania melangkah bersama, memulai hidup baru dengan hati yang lebih kuat.
Sajadah yang dulu penuh air mata, kini menjadi tempat aku menaruh syukur. Karena dari runtuhan hidup, aku akhirnya berdiri lagi. Lebih utuh, lebih berdaya, dan siap menjalani hari-hari baru tanpa lagi merasa takut, dan tak sekalipun membuat nyaliku ciut. []











































