Mubaladalah.id – SALAM Institute menggelar bedah buku #Reset Indonesia: Gagasan tentang Indonesia Baru di aula Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon, pada Jumat, 14 November 2025. Bedah buku itu menghadirkan langsung penulisnya Dandhy Laksono.
Buku #Reset Indonesia setebal 448 halaman ini merupakan buah perjalanan panjang dan kolaborasi lintas generasi antara Farid Gaban, Dandhy Laksono, Yusuf Priambodo, dan Benayu Harobu—hasil dari ekspedisi selama 15 tahun mengelilingi Indonesia untuk memotret realitas sosial, ekonomi, dan ekologis negeri ini.
Sejak awal, diskusi langsung pada persoalan yaitu mengapa tetap menulis buku, padahal sudah ada film? Pertanyaan itu menjadi pintu masuk ke pembacaan yang lebih serius mengenai relasi antara pengetahuan, imajinasi dan arah bangsa.
Dandhy secara tegas menjelaskan bahwa film hanya mampu memotret apa yang kasat mata. Visual memberitahu apa yang terjadi, tetapi tidak mampu menampung keresahan, kegelisahan, dan imajinasi masa depan.
“Masalah terbesar Indonesia bukan visual, tetapi paradigmatik.” ujarnya.
Buku, menurutnya, memaksa pembaca masuk pada ruang perenungan yang tak bisa diwakili kamera. Bahkan ruang untuk membayangkan apa yang seharusnya terjadi.
Ia kemudian membacakan prolog buku itu, sebuah gambaran sederhana tentang mimpi yang justru terasa mustahil di Indonesia.
“Pernahkah kita membayangkan minum air langsung dari keran? Bukan dari botol Nestlé, bukan dari galon, tapi cukup buka keran dan minum.” Sebuah hal remeh di banyak negara, namun terasa seperti utopia di negeri ini.
Indonesia, kata Dandhy, masih terjebak dalam paradoks. Yang secara sederhana di tempat lain menjadi mustahil di sini. Sementara hal-hal yang tak masuk akal di negara lain justru dianggap wajar di Indonesia. Misalnya wacana pengangkatan Soeharto sebagai pahlawan nasional dan terpilihnya Gibran sebagai Wakil Presiden.
“Ada yang salah dan kesalahan itu bukan satu dua, tetapi sistemik,” tegasnya.
Melalui buku ini, Dandhy mengajak publik terutama anak muda untuk berhenti sejenak dari riuh kesibukan dan perdebatan yang seringkali dangkal. Ia mengajak untuk duduk hening, membaca, dan bertanya ulang: apa esensi dari bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara?
Ketika Kemajuan Justru Menjadi Kemunduran
Bagian selanjutnya dari diskusi mengupas pertanyaan krusial: Apa itu maju? Sebuah konsep yang sering digunakan elite politik untuk mengukur keberhasilan pembangunan, namun jarang dipahami secara substansial.
Dandhy mencontohkan ketika warga Cirebon bermimpi memiliki jalan tol seperti Jakarta, itu bukanlah kemajuan melainkan kemunduran.
Negara-negara maju justru menekan penggunaan mobil pribadi, memperkuat transportasi umum, memperluas ruang hijau, dan menciptakan kota yang ramah manusia, bukan menjadikan beton dan aspal sebagai simbol pembangunan.
Indonesia, menurutnya, hanya meniru bagian “manipulatif” dari negara maju, hal-hal yang menguntungkan oligarki dan mengabaikan dimensi pelayanan sosial. Kemajuan sejati menuntut keadilan dan kesetaraan, bukan pembangunan yang hanya mempercantik permukaan.
Untuk memperjelas posisi Indonesia, Dandhy menghadirkan konsep empat kasta negara di dunia:
1. Kasta pertama, negara yang mampu menciptakan kemakmuran tanpa merusak lingkungan. 2. Kasta kedua, negara miskin yang masih memiliki sumber daya alam terjaga—negara yang “pasrah.”
3. Kasta ketiga, negara maju secara industri tetapi merusak lingkungannya, seperti Cina. 4. Kasta keempat, negara yang gagal membangun dan merusak lingkungan—dan di sinilah Indonesia berada.
“Indonesia sungainya habis, hutannya habis, tapi industrinya tidak maju. Ini kombinasi paling buruk dalam sejarah sebuah bangsa,” ungkapnya.
Pertanyaan besar kemudian muncul: Bangsa ini sebenarnya ingin menuju ke mana?
Menuju Arah Baru: Membangun Ulang dari Akar
Buku Reset Indonesia hadir untuk memperkaya imajinasi kolektif bangsa. Arah baru tidak akan lahir dari inisiatif individu semata. Melainkan harus ada dukungan kebijakan publik dan keputusan politik yang serius.
Contoh negara Singapura memang bisa memberikan inspirasi, tetapi Indonesia tidak bisa sekadar meniru. “Kita harus menemukan model kita sendiri,” tegas Dandhy.
Salah satu tawaran paling penting dalam buku ini adalah reforma agraria—jantung dari jantungnya ekonomi rakyat. Data menunjukkan bahwa 60% petani Indonesia hanya memiliki lahan kurang dari setengah hektar.
Lalu, bagaimana mungkin ekonomi rakyat bisa mandiri dan kuat jika fondasi agrarianya begitu timpang?
Reforma agraria bukan hanya persoalan distribusi tanah, tetapi pembenahan total arah pembangunan nasional. Tanpa itu, kemajuan hanya akan menjadi slogan kosong, tidak menyentuh akar permasalahan.
Kritik Sosial
Pada akhirnya, Reset Indonesia bukan sekadar buku laporan perjalanan atau kritik sosial. Ia adalah seruan keras bagi bangsa ini untuk berhenti hidup dalam ilusi kemajuan.
Buku ini mengajak masyarakat untuk melihat realitas dengan jujur, menelusuri kembali akar masalah. Kemudian membangun imajinasi baru tentang Indonesia sebuah bangsa yang tidak menjadikan hal sederhana sebagai kemewahan dan tidak membiarkan hal tak masuk akal menjadi kewajaran.
Diskusi bedah Buku #Reset Indonesia di ISIF Cirebon itu menutup dengan satu pesan besar yaitu perubahan tidak bisa dimulai tanpa keberanian untuk membayangkan ulang. Dan imajinasi yang jernih hanya lahir dari keberanian menatap kenyataan tanpa ilusi. []












































