Mubadalah.id – Hingga saat ini, Fahmina tidak pernah berhenti mempromosikan tradisi intelektual pesantren agar ia terus dibaca, kaji, dan menjadi inspirasi dalam memperjuangkan keadilan sosial. Sebab ribuan santri di Cirebon ini tumbuh dengan tradisi ritual yang kuat seperti haul, akhir as-sanah, dan pengajian pesantren.
Bahkan, Fahmina mendorong agar tradisi-tradisi di pesantren tidak hanya menjadi agenda seremonial. Tetapi juga wadah untuk menumbuhkan kepedulian sosial dan keberpihakan pada kelompok rentan.
Dengan demikian, masyarakat pesantren di Cirebon saat ini menyaksikan bahwa acara-acara besar seperti haul Buntet, Babakan, sampai Arjawinangun, juga diramaikan dengan halaqah, kajian, dan forum kaderisasi.
Begitu pula akhir as-sanah di al-Mizan Majalengka, atau berbagai kegiatan di pesantren Bode Lor, Ulumuddin Susukan, dan Khatulistiwa Kempek.
Tradisi halaqah bahkan semakin ramai di lingkungan organisasi NU. Dalam musyawarah cabang, musyawarah ulama. Hingga peringatan harlah, para santri dan intelektual muda, Fahmina dorong untuk menghidupkan kembali tradisi kajian dan kepedulian sosial.
Pada peringatan Harlah NU ke-82 tahun 2008 misalnya, santri pasca pesantren yang terhimpun dalam Fahmina, Lakpesdam, pesantren Khatulistiwa. Hingga berbagai jaringan lain mengisi acara dengan pengajian kitab, bedah buku, pelatihan kader NU, konferensi kaum muda, sampai safari ulama untuk memperkuat Khittah NU. Tidak lupa ada kegiatan ritual seperti marhabanan, qira’at al-kutub, hingga tahlilan akbar.
Semua itu Fahmina lakukan dengan satu prinsip bahwa gerakan yang tumbuh dari masyarakat semestinya tidak bergantung pada lembaga politik, pejabat pemerintah, atau donor besar. Gerakan itu harus lahir dari kegelisahan, keikhlasan, dan kerja bersama.
Dan begitulah Fahmina berjalan secara konsisten. Dari forum kecil hingga acara besar, dari ruang kajian hingga jaringan sosial, mereka menunjukkan bahwa tradisi pesantren bukan sekadar warisan. Tetapi energi yang terus melahirkan gerakan. []






































