Mubadalah.id – Dalam rangkaian peringatan Hari Lahir Fahmina ke-25, Fahmina Institute menggelar Kelas Diskusi Islam dan Demokrasi di Ruang Konvergensi ISIF, Selasa, 25 November 2025.
Kelas diskusi yang difasilitasi Alifatul Arifiati itu dibuka dengan penjelasan mengenai pentingnya membaca ulang kondisi demokrasi Indonesia saat ini.
Sesi diawali dengan perkenalan para panelis yang berasal dari beragam latar belakang, mulai dari komunitas lintas iman, mahasiswa, pendeta, hingga pengusaha dari wilayah Ciayumajakuning. Para peserta juga menceritakan bagaimana mereka pertama kali terhubung dengan Fahmina.
Alifatul memulai diskusi melalui platform menti.com dengan mengajukan pertanyaan mengenai kondisi demokrasi yang dirasakan peserta. Jawaban yang masuk beragam, namun sebagian besar menilai demokrasi saat ini belum berjalan ideal dan cenderung bersifat formalitas.
Basith, jamaah Ahmadiyah Majalengka, menjadi panelis pertama yang menyampaikan pandangannya. Ia menilai demokrasi masih belum memberikan kemerdekaan sepenuhnya bagi kelompok minoritas.
“Belum merasakan kemerdekaan seutuhnya. Saya sebagai bagian dari organisasi minoritas seperti Ahmadiyah mendapat banyak diskriminasi,” ujarnya.
Ia menekankan bahwa kemerdekaan seharusnya dirasakan seluruh warga tanpa pengecualian.
Alifatul menanggapi pernyataan tersebut dengan mengingatkan kontribusi Ahmadiyah dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Ia menyebut adanya tradisi puasa 40 hari yang komunitas Ahmadiyah lakukan secara global sebagai dukungan terhadap kemerdekaan Indonesia.
Refleksi dari Pendeta
Heru, seorang pendeta di Cirebon, juga menyampaikan refleksinya. Ia menilai praktik demokrasi saat ini “hanya basa-basi”, merujuk pada pengalaman diskriminatif yang masih kelompok agama minoritas alami sampai sekarang. Termasuk dalam pemilihan ketua RT yang sering kali pertimbangannya adalah agama mayoritas.
Senada dengan itu, Bayu dari Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) menilai kualitas demokrasi Indonesia berada pada kategori “A-”.
Menurutnya, demokrasi berjalan secara prosedural, tetapi masih memiliki cacat moral, terutama terlihat dari praktik hukum yang “tajam ke bawah dan tumpul ke atas”.
Meski banyak catatan kritis, diskusi juga memunculkan nada optimisme. Aril, salah satu panelis, menilai terdapat perkembangan positif dalam beberapa aspek.
Ia mencontohkan bahwa pengurusan administrasi kependudukan bagi warga Ahmadiyah di Kuningan dahulu sangat sulit, tetapi kini mulai membaik seiring meningkatnya fasilitasi dari pemerintah.
“Orang menganggap sesuatu legal ketika ada konstitusinya. Itu penting, terutama terkait pendirian rumah ibadah,” ujarnya.
Forum ini kemudian merumuskan sejumlah tantangan dan rekomendasi yang diharapkan dapat menjadi kontribusi bagi penguatan demokrasi di Indonesia. Diskusi ditutup dengan ajakan untuk terus memperluas refleksi dan inovasi gerakan demokrasi agar lebih inklusif dan berkeadilan. []






































